logo boleh merokok putih 2

LGBTI: Mereka juga Manusia

LGBTI

Dan naga-naganya keliyanan (baca: LGBTI) itu baru dianggap sebagai “masalah” dan common enemy sesudah para elit dan ormas atau pejabat publik sengaja mulai mempersoalkannya.

mereka-juga-manusia

Pada 16 Desember 2015 puluhan komedian diundang Presiden Jokowi makam malam di Istana Negara. Sepintas, agenda itu hanya acara ramah tamah belaka. Tapi bagi yang paham budaya Jawa, pertemuan itu dapat ditafsir sebagai ‘political jokes’ tingkat tinggi. Apa sebab? Mengingat, pada waktu bersamaan berlangsung sidang etik MKD atas kasus Setya Novanto terkait “Papa Minta Saham Freeport”. Hal lain yang membuat pertemuan itu jadi lebih menarik adalah turut sertanya Dorce Gamala, artis perempuan serba bisa dan multi-talenta. Apa pasal? Mari kita simak.

Diundangnya Dorce dapat ditafsir sebagai bentuk pengakuan sekaligus penerimaan Presiden Jokowi, secara utuh dan apa adanya pada pribadi Dorce. Meski secara runutan waktu momen ini lebih dulu berlangsung, akan tetapi tetap saja menarik sekiranya fenomena diundangnya Dorce didudukan pada konteks ‘koor’ penolakan para pejabat publik pada keberadaan komunitas atau kelompok LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseksual) belakangan ini. Dari Menristek M Natsir, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Anggota DPR Reni Marlinawati hingga Mendikbud Anies Baswedan.

Artinya, sikap Presiden Jokowi mengundang Dorce bisa ditafsirkan sebagai wacana politik progresif. Bagaimana tidak, pasalnya Dorce Gamala dulunya bernama Dedi Ashadi dan berjenis kelamin ‘laki-laki’ kemudian salin rupa jadi perempuan. Dorce adalah kasus kongkret perihal individu yang termasuk kelompok LGBTI, transeksual male to female. Tentunya Presiden Jokowi menyadari keberadaan Dorce masuk kelompok LGBTI jauh hari, dan itu tak menjadi persoalan kan? Toh Dorce juga manusia, simpel.

Setidaknya fakta di lapangan mudah ditemui bahwa masyarakat kita sesungguhnya cenderung tak mempersoalkan secara serius, apalagi dengan nada kebencian, sekiranya ada ragam perbedaan di lingkungan sekitarnya. Sekalipun aspek itu nyata-nyata berada di luar kredo arus kuat sistem keyakinannya. Dan naga-naganya keliyanan itu baru dianggap sebagai “masalah” dan common enemy sesudah para elit dan ormas atau pejabat publik sengaja mulai mempersoalkannya. Walhasil, aspek keliyanan yang notabene manifestasinya begitu beragam akhirnya tumbuh menjadi polemik yang memanas, meruncing dan tak jarang bahkan berujung konflik.

Sejarah Masa Lalu

Pada masa lalu lenturnya budaya pergaulan masyarakat Indonesia menerima pribadi-pribadi kelompok LGBTI tercatat justru lebih tebal lagi. Prof Dr Saskia E. Wieringa, ahli kajian gender dan seksualitas sekaligus dosen di Universitas Amsterdam Belanda, mencatat banyak ditemukan kasus di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, di mana mereka yang berada pada kondisi liminalitas gender dan seksualitas justru mengisi berbagai peran religius tertentu dan penting.

Saskia menyebutnya dengan istilah “gender ketiga”, yang dalam kontruksi budaya masalalu malah cenderung diasosiasikan dengan kekuatan spiritual yang lebih tinggi, seperti kemampuan mediasi antara dewa dan manusia. Blackwood (2005) menyebut fenomena tersebut dengan istilah “gender sakral”.

Pada kasus Indonesia, bissu di Bugis dan warok di Ponorogo, menurut Saskia merupakan contoh kasus sekaligus sisa-sisa bukti dari tradisi masalalu yang bisa jadi dulunya lebih tersebar luas pada era sebelum kolonialisme dan revolusi keagamaan di Asia.

Saskia mengutip mitos Bugis mengenai penciptaan dalam kitab I La Galigo, epik terpanjang di dunia dan konon lebih tua ketimbang Mahabharata. I La Galigo menceritakan bahwa para dewa pada muasalnya bersifat “androgini” yang menciptakan berbagai makhluk sakral, salah satunya adalah bissu. Dalam fase penciptaan berikutnya, kesatuan primordial itu terbelah dan lalu terciptalah makhluk laki-laki dan perempuan. Pasangan laki-laki dan perempuan ini menjadi nenek moyang yang menurunkan Raja Bugis. Keberadaan bissu dianggap penting untuk menjaga kesatuan kosmologi awal itu, yakni melalui partisipasinya dalam ritual adat Bugis kuno. Selain itu, bissu juga ditugasi menjaga pusaka-pusaka keramat kerajaan.

Dulu masyarakat Ponorogo mengenal istilah gemblak untuk menyebut laki-laki feminim, yang didandani dengan pakaian dan sebagai wanita, ikut menari (jathil) dalam seni pertunjukan Reok. Konon, laku spiritual seorang warok harus berpantang hubungan seks dengan perempuan. Gemblak adalah gantinya. Sayangnya Saskia tak mengupas lebih jauh tradisi warok ini. Namun demikian dia mengingatkan adanya istilah “wandu” dalam bahasa Jawa untuk laki-laki feminim (baca: waria) yang berhubungan dengan laki-laki.

Sementara, dari jagad pantheon Dewa-Dewi jejaknya juga masih terlacak. Saskia menyebutkan keberadaan Ardhanarishwari sebagai Dewa setengah-laki-laki setengah perempuan. Konon ia menggabungkan karakteristik dan atribut laki-laki (sisi kanan, Siwa) dan perempuan (sisi kiri, Shakti). Mitos ini berasal dari India, Dewa yang sekaligus Dewi ini pun dikenal di Indonesia. Museum Nasional di Jakarta setidaknya memiliki tiga arca Ardhnarishwari.

Patut dicatat juga tokoh Semar. Saskia barangkali lupa memasukkan tokoh ini dalam eksplorasi tulisannya. Seperti diketahui, Semar digambarkan sebagai laki-laki tapi berpayudara besar seperti perempuan. Semar merupakan simbol laki-laki sekaligus perempuan, atau bisa juga bukan laki-laki sekaligus bukan perempuan. Dalam filosofi Jawa, Semar disebut dengan nama lain Badranaya. Berasal dari kata bebadra yang artinya membangun sarana dari dasar, dan naya atau nayaka yang berarti utusan. Kerena itulah posisi Semar yang juga berarti samar seringkali dianggap representasi Tuhan dan leluhur orang Jawa.

The Yogyakarta Principles

Pada tanggal 6 – 9 November 2006, Kota Yogyakarta yang diprakarsai Universitas Gajah Mada mendapat kehormatan selaku fasilitator pertemuan ahli hukum internasional dari 25 negara. Forum itu membahas isu HAM pada tingkat internasional terkait keragaman orientasi seksual dan identitas gender. Benar, bahwa para ahli hukum tersebut bukanlah perwakilan resmi masing-masing negara, namun mereka bertemu karena memiliki komitmen yang kuat dan sama terhadap isu dan realisasi HAM.

Agenda Yogyakarta itu menghasilkan dokumen berisi 29 prinsip yang diadopsi dengan suara bulat. Para ahli HAM bersepakat bahwa setiap manusia terlahir bebas dan setara dalam hak dan martabat yang dimilikinya. Oleh karena itu, atas nama harkat kemanusiaan manusia segala bentuk pelecehan dan diskriminasi harus ditiadakan. Orientasi seksual dan identitas gender adalah bagian integral dari martabat dan hak setiap orang.

29 prinsip itu memang bukanlah dokumen resmi. Juga bukanlah traktat atau konvesi internasional. Tetapi, dokumen itu dapat menjadi panduan implementasi HAM dengan standar hukum internasional, terkait kasus keragaman orientasi seksual dan identitas gender. Dokumen yang kemudian dikenal sebagai The Yogyakarta Principles itu patut ditujukan sebagai rekomendasi untuk sistem HAM PBB, kewajiban negara melindungi HAM warganya, masyarakat sipil, media, donatur, institusi nasional HAM dan aktor-aktor lainnya.

Dalam konteks itu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, kali ini patut diacungi jempol. Tak seperti pada isu rokok dan Kartu Jakarta Pintar, sikap Ahok terhadap isu LGBTI nampak lebih rasional. Ahok meminta agar jangan ada yang menghakimi kelompok LGBTI. Lebih jauh seturut Ahok, perihal soal moral tidak bisa diukur dari pilihan hidup seseorang. Pemprov DKI sendiri dikatakannya akan lebih memilih fokus pada program pendampingan dan pencegahaan penularan HIV/AIDS ketimbang harus melakukan pelarangan pada keberadaan komunitas atau kelompok LGBTI.

Sepertinya Ahok paham soal itu juga Jokowi, meski keduanya barangkali sesungguhnya juga belum tentu sudah membaca dokumen The Yogyakarta Principles. Tapi, barangkali Jokowi-Ahok memang lebih rasional dan jujur pada logika kemanusiaan dan paham akan tugas manusia adalah memanusiakan manusia.

Bukankah, mengakui keberadaan LGBTI adalah bagian dari pelajaran tentang memanusiakan manusia itu (?).

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Waskito Giri

Waskito Giri

Penulis, pemilih Jokowi, dan meyakini Nusantara sebagai asal-usul peradaban dunia. Kolektor keris.