sejarah tuhan
REVIEW

Sejarah Tuhan

Buku Sejarah Tuhan bukanlah tentang sejarah realitas Tuhan yang tak terucapkan itu, yang berada di luar waktu dan perubahan, tetapi merupakan sejarah persepsi umat manusia tentang Tuhan

sejarah-tuhan

Ada alasan kuat berpendapat, bahwa sejatinya homo sapiens sekaligus homo religius. Konon, manusia mulai menyembah Tuhan segera setelah menyadari dirinya sebagai manusia. Tuhan adalah realitas yang satu, yang transenden, yang tak terjangkau oleh akal budi, bahkan sejatinya juga tak terwakili oleh ekspresi bahasa manusia sekalipun.

Di tengah derita karena keterlemparannya di dunia, lahirnya agama-agama merupakan upaya manusia menemukan makna dan nilai-nilai kehidupan. Bagi sebagian orang kata Tuhan mencakup keseluruhan spektrum makna dan nilai-nilai. Namun begitu konsep Tuhan seringkali hadir lebih karena alasan pragmatis ketimbang filosofis atau ilmiah. Rasa ketakutan, tak berdaya, tak bermakna, atau aspirasi akan kepastian hidup di tengah deraan derita kehidupan, misalnya, sering lebih mengemuka sebagai alasan ketimbang digelorakan oleh hasrat dan kerinduan pencarian dirinya selaku manusia.

Celakanya perbedaan konseptual tentang Tuhan seringkali justru membangun sekat-sekat primordialisme, yang cenderung tak terjembatani oleh proses dialog, memicu konflik atau bahkan jadi sumber legitimasi kekerasan. Banyak fakta tercatat, sejarah agama-agama adalah sejarah yang paling berdarah-darah, baik itu sesama agama atau antar agama. Tak berlebihan dikatakan, sejarah agama adalah sejarah umat manusia yang paling ironis sekaligus tragis.

Buku Sejarah Tuhan bukanlah tentang sejarah realitas Tuhan yang tak terucapkan itu, yang berada di luar waktu dan perubahan, tetapi merupakan sejarah persepsi umat manusia tentang Tuhan. Penulisnya adalah Karen Amstrong, seorang feminis yang pernah menjadi biarawati dari Ordo Society of Holy Child Jesus, pernah pula mengalami fase-fase krisis keyakinan agama hingga kemudian kini memilih menjadi apa yang disebutnya “freelance monotheist”. Buku ini adalah terjemahan dari A History of God: The 4000-Year Quest of Judaism,Christianity, and Islam, sebuah karya menarik karena topiknya universal. Sejarah Tuhan segera jadi best-seller di seluruh dunia sejak penerbitan perdananya tahun 1993.

Apa yang membuat menarik, bahwa tulisan ini sangat greget, paissoned. Bukan berangkat semata dari spirit intellectual exercise, bahkan jauh dari itu. Ditulis dari kegelisahan dan pencarian personal Karen sendiri terhadap keberadaan Tuhan. Juga berangkat dari kegelisahannya menyaksikan kencenderungan menguatnya model tafsir fundamentalisme pada perilaku keberagamaan masyarakat modern. Selain sangat kaya data, baik itu rekaman sejarah maupun literature klasik, karya ini juga menawarkan sebuah cara pandang memaknai Tuhan secara “out of the box”.

Karena luasnya spektrum konsepsi manusia tentang Tuhan, Karen sengaja membatasi subjek pembahasannya pada tradisi Ibrahim, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Meski di sana-sini juga disinggung konsepsi pagan, Hindu, Budha tentang realitas tertinggi sebagai pembandingnya.

Selain itu, Karen menjelajah beragam konsepsi tentang realitas tertinggi yang ditulis oleh para filosof, dari zaman tradisi Helenistik di Yunani hingga senyawanya dengan agama-agama Ibrahim tersebut. Pada titik ini ikhtisar sejarah pemikiran filsafat Islam klasik sejak abad 9, dari Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali hingga Ibn Rusyd, yang secara komparatif disandingkan rumusan para filosof Yahudi dan Kristen. Tak kecuali kita juga diajak menyusuri beragam persepsi tentang Tuhan yang muncul dari konsepsi para mistiskus, para reformis, diajak memasuki zaman pencerahan dan modernisme hingga berujung pada gugatan Nietzschean tentang kematian Tuhan. Lebih jauh, Karen juga mempertanyakan masa depan Tuhan sebagai penutup tulisan buku.

Apa yang menarik dicatat ialah kupasannya tentang fundamentalisme. Menurut Karen, bagaimanapun fundamentalisme—baik Yahudi, Kristen, maupun Islam—sesungguhnya jarang muncul karena pertarungan dari luar; ia biasanya justru bermula dari pergulatan internal memerangi kawan-kawan seagama mereka sendiri yang cenderung sekuler.

Ideologi gerakan ini justru berakar dari ketakutan. Kaum fundamentalis menganggap modernisme dan sekularisme sebagai dunia tanpa Tuhan, yang lambat laun namun pasti akan menggerogoti keimanannya. Seturut Karen, sekularisme itu sendiri adalah eksperimen yang sepenuhnya baru dan belum ada presedennya di dalam sejarah manusia. Sementara hadirnya rasionalisme, ilmu pengetahuan ilmiah dan sains memberikan jenis pemahaman baru terhadap misteri alam semesta yang awalnya didalilkan berasal dari kuasa Tuhan. Walhasil situasi ini membawa konsekuensi menciptakan fase krisis dalam perjalanan sejarah manusia dan berpotensi menjadi serangan balik, yaitu muncul dan menguatnya gerakan fundamentalisme keagamaan.

Celakanya salah satu ambisi kaum fundamentalisme ialah mencari makna harfiah di balik sebuah kitab suci. Tafsir harfiah atau skripturalistik cenderung mendekati teks dengan melepaskan diri dari konteks. Dengan demikian metode tafsir kaum fundamentalisme bukan hanya a-historis, tapi bahkan anti-historis. Firman yang tertuang dalam kitab suci serta merta dianggap perintah atau kata-kata Tuhan secara apa adanya (letterlijk). Terkait itu Karen mengingatkan, bahwa kecenderungan mencari makna harfiah sebenarnya merupakan gejala baru dalam sejarah peradaban. Dulu orang justru tidak suka akan makna harfiah itu, ujar Karen.

Pada titik ini Karen memberikan pandangan penting untuk menganalisis problem kekerasan yang mengatasnamakan agama, yang menurutnya bersumber dari beberapa faktor: “Pertama, kekerasan bukan merupakan fenomena monolitik dan mandiri; Kedua, kekerasan muncul sebagai fenomena sosial politik; Ketiga, kekerasan terjadi karena kondisi internal penganut agama; Keempat, kekerasan agama memerlukan solidaritas dan militansi kelompok; Kelima, kekerasan memiliki basis sistemik dalam sejarah survivalitas agama; Keenam, ekspresi kekerasan lazim terjadi karena berkaitan dengan perasaan superioritas diri atas pihak lain; Ketujuh, kekerasan merupakan ekspresi ketaatan terhadap Tuhan; Kedelapan, kekerasan juga terkait dengan persepsi para pemeluk agama tentang Tuhan yang diyakininya”.

Mencermati hal di atas, tak bisa dipungkiri bahwa salah satu pemicu dari hadirnya konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan Tuhan justru berasal dari unsur epistemologi penafsiran. Untuk mengantisipasi hal itu, menurut Karen tafsir kitab suci itu harus mampu mengembangkan, menebar, dan menghidupkan cinta kasih dan bukan sebaliknya. Dengan begitu tafsir keagamaan tentang Tuhan harus mampu mengembangkan cinta kasih dalam relasi antar pribadi manusia dan antar kelompok. Karena entitas universal daripada semua tafsir agama tentang Tuhan, tak lain dan tak bukan justru Tuhan dilukiskankan memanifestasi pada sebagai cinta kasih universal.

Tinggalkan Balasan