Teluk Benoa adalah kawasan konservasi dan kawasan yang disucikan oleh penganut Hindu-Bali, khususnya masyarakat adat di Bali bagian selatan. Karena itu, rencana reklamasi Teluk Benoa harus ditolak.
[dropcap]R[/dropcap]encana reklamasi Teluk Benoa adalah persoalan yang sangat serius bagi Bali. Ada banyak faktor yang membuat rencana itu menimbulkan kontroversi berkepanjangan. Pro dan kontra tajam.
Para pendukung reklamasi yang berpikiran praktis dan pragmatis bermimpi bahwa reklamasi akan membuka banyak lapangan pekerjaan. Namun, barisan penolak reklamasi bersikukuh bahwa Bali tidak memerlukan reklamasi. Reklamasi yang berkedok revitalisasi hanya akan berdampak buruk terhadap alam, sosial, dan budaya Bali.
Bali pernah menelan pil pahit berkaitan dengan reklamasi dan kebohongan investor. Pada 1996, Pulau Serangan yang berlokasi tak jauh dari Teluk Benoa, direklamasi. Namun, hingga kini proyek reklamasi Pulau Serangan mangkrak total, tak terurus, tak berkelanjutan. Yang sisa adalah kehancuran alam, sosial, dan budaya. Reklamasi Pulau Serangan mengakibatkan abrasi di berbagai pantai di kawasan Bali selatan. Selain itu terjadi perubahan sosial-budaya yang sangat drastis di sana. Penduduk asli kehilangan pekerjaannya sebagai nelayan.
Reklamasi Pulau Serangan yang dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto adalah contoh nyata kerakusan dan kebiadaban investor yang berkongsi dengan penguasa dan preman. Pulau yang indah tempat penyu bertelur itu kini tak berbentuk lagi. Janji-janji investor membuka lapangan pekerjaan bagi warga pun tak terbukti.
Kini, media massa, terutama medsos, diramaikan dengan pro-kontra rencana reklamasi Teluk Benoa yang akan dilakukan PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI), tentu atas seijin Gubernur Bali. Masih dengan pola lama, investor berkongsi dengan penguasa, menebar janji-janji ini-itu, menyebar bujuk rayu pragmatisme. Namun, aksi penolakan bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat.
Belajar pada kasus yang menimpa Pulau Serangan, rakyat Bali tak mau kecolongan lagi. Bali menghimpun kekuatan, melakukan aksi-aksi damai dan gerakan budaya untuk menolak rencana reklamasi itu. Teluk Benoa adalah kawasan konservasi dan kawasan yang disucikan oleh penganut Hindu-Bali, khususnya masyarakat adat di Bali bagian selatan. Karena itu, rencana reklamasi Teluk Benoa harus ditolak.
Gerakan berbagai elemen rakyat Bali yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) secara berkala melakukan aksi demonstrasi damai di depan kantor Gubernur Bali. Masyarakat Bali yang berada di perantauan, baik di luar Bali maupun luar negeri juga melakukan aksi penolakan. Pada Minggu 20 Maret 2016, ribuan massa dari berbagai lapisan masyarakat Bali dan 27 desa adat melakukan demonstrasi tolak reklamasi di kawasan patung Ngurah Rai, Tuban, tak jauh dari pintu tol Bali Mandara dan kawasan Teluk Benoa. Gerakan penolakan juga gencar dilakukan di media sosial dengan berbagai cara dan strategi.
Mengapa gerakan tolak reklamasi begitu massif? Sejak masa kepemimpinan Gubernur Ida Bagus Oka pada 1980-an, Bali ibarat kue yang dihidangkan secara terbuka untuk investor dalam dan luar negeri. Mereka beramai-ramai berebut kue, dan sebagian besar rakyat Bali hanya menjadi penonton. Atas nama pembangunan dan pariwisata, Bali dieksploitasi habis-habisan. Tanah sawah, tegalan, pantai, lembah, jurang banyak yang beralih fungsi menjadi hotel dan berbagai sarana pendukung pariwisata. Atas bujuk rayu pragmatisme, orang Bali ramai-ramai menjual tanah warisan leluhurnya. Dan, kini, orang Bali seperti tamu di rumahnya sendiri. Bahkan lebih parah lagi, orang Bali menjadi terasing di kampung halamannya sendiri. Sejak jaman dulu, penguasa memang cenderung berpihak pada pengusaha (investor). Rakyat hanya menjadi alat dan sapi perah dengan janji-janji semu.
Memang, tak bisa dipungkiri, pariwisata banyak membawa perubahan pada wajah Bali. Perekonomian menjadi berkembang. Pola pikir tradisionil perlahan bergeser menjadi pola pikir modern yang bersifat pragmatis. Bali menjadi gula yang dikerubungi semut. Orang-orang luar Bali berbondong-bondong datang ke Bali untuk mencari pekerjaan atau mengadu peruntungan. Urbanisasi meningkat pesat. Kawasan Bali selatan menjadi sangat padat penghuni. Kemacetan lalu lintas terjadi tiap hari. Belum lagi premanisme dan kriminalitas setiap saat menghantui Bali. Permasalahan Bali menjadi sangat kompleks. Dan kini ditambah lagi dengan kontroversi rencana reklamasi Teluk Benoa.
Sejatinya Bali tidak memerlukan reklamasi. Rencana reklamasi Teluk Benoa adalah salah satu bentuk keserakahan investor yang didukung penguasa. Bali tidak anti pembangunan. Bali bisa menerima investor dengan syarat peduli pada lingkungan, adat istiadat dan budaya Bali. Namun, Bali menolak keras para investor serakah yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan kroninya.
Sebenarnya di belahan Bali yang lain masih banyak lahan kosong yang bisa dikembangkan untuk pembangunan dan pariwisata. Misalnya, kawasan Karangasem (Bali timur), Buleleng (Bali utara), Jembrana (Bali barat), Bangli (Bali tengah). Namun, mengapa investor memaksakan kehendaknya mereklamasi Teluk Benoa?
Teluk Benoa adalah kawasan sangat strategis, kawasan emas di Bali selatan. Kawasan Teluk Benoa sangat dekat dengan bandara Ngurah Rai, dekat dengan Kuta, Nusa Dua, Sanur, dan Denpasar. Investor melihat peluang bisnis yang sangat besar di sana. Teluk Benoa akan disulap menjadi kawasan elit berbasis pariwisata. Investor serakah hanya memikirkan peluang bisnis, namun tak peduli efek yang muncul di kemudian hari, seperti abrasi pantai, kemacetan, kriminalitas, urbanisasi, dan berbagai konflik sosial yang menyertainya.
Orang Bali sudah terlalu sering dipecundangi di rumahnya sendiri. Aksi-aksi dan gerakan tolak reklamasi Teluk Benoa adalah wujud kulminasi kemuakan dan kemarahan orang Bali terhadap berbagai bentuk eksploitasi yang terjadi di Bali. Gerakan itu adalah amarah suci, demi menyelamatkan Bali dari kehancuran yang lebih parah.