Ada teman pernah berujar, pariwisata itu adalah bersenang-senang. Dia harus memberikan kesenangan bagi tamu, juga kesenangan bagi pelaku wisata (pelaku bisnis), dan memberi kesenangan bagi masyarakat di lokasi wisata. Kesenangan itu bisa yang paling sederhana, pemerataan ekonomi.
Ada kabar menggembirakan, rasanya, ketika pemerintah serius akan menggenjot pembangunan kawasan wisata Danau Toba. Kawasan Wisata Dunia. Itulah rebranding untuk Danau Toba yang menjadi salah satu dari 10 kawasan target pemerintah untuk menggenjot kunjungan wisatawan. Mampukah wisata Danau Toba kembali berjaya seperti di masa lalu?
Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa teman mengunjungi Danau Toba. Ada yang membuat kami terheran-heran di sana, yaitu di Kota Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir. Hanya ada satu SPBU atau pom bensin di sana. Kata warga setempat, SPBU itu usaha milik sebuah keluarga yang juga menguasai akses transportasi penyeberangan danau. Jadi ceritanya, jalur distribusi bahan bakar Pertamina harus melewati Kota Parapat di sisi barat danau, menyeberang danau ke Pulau Samosir, lalu disebar ke berbagai daerah di Samosir. Nah, kalau hanya satu orang yang menguasai akses penyeberangan dan memiliki SPBU, bisa dibayangkan apakah kamu mau coba-coba berbisnis SPBU?
“Nanti kita akan isi bensin di sana, dan Abang bisa lihat sendiri macam apa kondisinya”, kata seorang pemuda setempat yang menjadi guide kami. Dua kali pada hari yang berbeda kami harus mengisi bensin di SPBU itu, antreannya minta ampun. Bukan karena stok bahan bakar yang kurang. Apalagi kalau hari pasar tiba, saat masyarakat berjubel di kota, yang datang dari pedesaan membawa hasil bumi, yang datang dari mana saja untuk berbelanja. “SPBU itu akan tutup cepat pada siang hari, karena stok cepat habis”, lanjut pemuda tadi.
Itu baru persoalan bahan bakar. Bisa jadi ada hal lain dengan cerita serupa yang benang merahnya jelas, soal ego berlebihan. Teringat ada cerita mengatakan kalau orang Batak itu, setiap marga, menganggap sebagai raja. Nah kalau aku raja, berarti hanya aku yang boleh atau bisa. Kurang lebih seperti itu.
Jadi kalau Presiden Jokowi memuji kekompakan para pemimpin daerah serta seluruh pemangku kepentingan yang sepakat membangun Danau Toba, jelas beliau harus mencari tahu cerita soal SPBU itu.
Cerita berikutnya soal kesiapan masyarakat sendiri terkait Danau Toba sebagai kawasan wisata dunia. Suatu kali di kawasan Parbaba, masih di Samosir. Mungkin kami datang bukan di saat liburan, sehingga tampak sepi-sepi saja di sana. Parbaba ini adalah area tepi danau yang berpasir putih, tempat yang oke jika digarap serius. Ada seorang pemilik warung yang juga mengelola beberapa jet ski dan perahu yang bisa dipakai sebagai atraksi wisata di danau.
Pemilik warung tadi bilang, ada dilema di masyarakat soal wisata. Jika mendatangkan kesejahteraan tentu masyarakat mau Danau Toba berkembang. Tapi ada kekuatiran kalau nanti banyak turis asing, dengan budaya dan kebiasaan yang mereka bawa. Yang perempuan berenang di danau pakai bikini, yang lelaki bertelanjang dada sesukanya. Seperti di Bali. Nah loh, kalau nanti Danau Toba menjadi kawasan wisata dunia, kemudian ribuan turis asing akan datang, apakah akan jadi masalah buat masyarakat? Atau biarkan terus saja seperti saat ini, dan warung bapak ya segini-segini saja pengunjungnya. Kami memancing dia.
“Ya itu persoalan. Ada yang bisa terima, ada yang tidak. Semua masyarakat harus duduk bicara. Rapat adat dululah”, kata bapak itu sambil berharap pemerintah bisa memfasilitasi dan mendengarkan masalah ini. Sekali lagi, tentunya orang Batak harus bisa menyelesaikan persoalan ego tadi. Soal budaya ini menjadi penting. Beberapa kawan, orang Batak, merasa resah ketika mendengar Danau Toba akan menjadi Monaco-nya Asia. “Kita masih punya banyak PR terkait budaya orang Batak. Sudah banyak yang tergerus”, kata kawan itu.
Persoalan lain yang juga menjadi masalah klasik, yaitu siapa saja yang akan mendapat manfaat dari Wisata Dunia Danau Toba? Ada teman pernah berujar, pariwisata itu adalah bersenang-senang. Dia harus memberikan kesenangan bagi tamu, juga kesenangan bagi pelaku wisata (pelaku bisnis), dan memberi kesenangan bagi masyarakat di lokasi wisata. Kesenangan itu bisa yang paling sederhana, pemerataan ekonomi.
Sejauh ini, dan pola yang terjadi selama ini, pembangunan wisata menurut pemerintah adalah soal membangun akses jalan, membangun hotel, restoran, dan segala bentuk kenyamanan yang hendak ditawarkan ke pengunjung. Membangun dan memperbaiki akses jalan adalah kewajiban pemerintah. Membangun hotel, restoran, dan segala bentuk kenyamanan adalah bujuk rayu kepada pemilik modal untuk berinvestasi, yang ujung-ujungnya keuntungan terbesar akan kembali pada si investor. Lalu bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di lokasi wisata?
Di kampung Sianjur Mulamula yang kami kunjungi, rencana pemerintah tentang Danau Toba juga sudah terdengar. Selama ini, Sianjur Mulamula ramai dikunjungi wisatawan domestik yaitu orang-orang Batak yang berwisata ziarah ke kampung asal mula orang Batak ini. Dengan adanya rencana Jokowi, bukan tidak mungkin akan lebih banyak lagi kunjungan turis ke kampung ini untuk mengenal sejarah dan budaya orang Batak.
Seorang pemuda di kampung itu saat ini sedang gencar mendorong masyarakat untuk bersiap, untuk ikut terlibat. Kami menyaksikan pemuda itu membangkitkan semangat anak-anak muda setempat untuk tidak melupakan sejarah dan budaya Batak. Dia juga mencoba mengajak orang-orang tua untuk membangun kampung wisata adat. Sejauh ini dia mendapat respon yang cukup baik dari masyarakat.
“Kalau pariwisata Danau Toba akan kembali bergairah, tentunya kami ingin bisa terlibat di dalamnya. Bukan sekedar menjadi tontonan, atau sekedar menjadi pekerja bagi orang lain, tapi membangun kampung sendiri”, begitu kata pemuda itu.
Jadi buat Bapak Jokowi, setidaknya tulisan ini ingin mengingatkan dua hal mendasar saja. Pertama, ada baiknya rencana pembangunan itu diawali dari menangkap persoalan di masyarakat. Janganlah meneruskan gaya pembangunan di masa lalu yang sekedar dari atas ke bawah. Beri kesempatan dulu bagi masyarakat mencari jalan terbaik membenahi dan mempersiapkan diri. Kemudian, libatkan masyarakat. Jangan sampai pengembangan wisata ini hanya soal urusan menarik investasi/investor yang besar-besar, promosi, jualan dan berharap pajak besar yang akan kembali ke kas negara. Tengok juga apa keinginan masyarakat untuk bisa merasakan juga kesenangan dari aktivitas pariwisata itu. Supaya masyarakat tidak lagi sekedar menjadi penonton di tengah keriuhan industri wisata.
Kalau semua senang, kan enak.