Jika dulu Sumpah Palapa dimaksudkan sebagai ikhtiar Gajah Mada menyatukan Nusantara, sementara Satelit Palapa dimaksudkan sebagai cara modern menyatukan Indonesia.
Mungkin sebagian kita masih ingat, pada 1976 Indonesia meluncurkan satelit yang pertamakali. “Satelit Palapa” demikian disebut, atau Palapa A1, buatan Hughes (sekarang Boeing Satellite Systems). Ini merupakan satelit komunikasi jenis geostasioner. Dia mengelilingi bumi dengan kecepatan sama dengan rotasi bumi, sehingga posisi satelit itu akan tetap sama pada satu titik tertentu dari permukaan bumi (fixed satellite).
Presiden Soeharto mengambil istilah Palapa dari sebuah sumpah, “Sumpah Palapa”. Sebuah sumpah yang diucapkan Gajah Mada, seorang Patih dari Kerajaan Majapahit abad ke-14, dan tercatat dalam naskah Pararaton. “Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”. Konon, Gajah Mada bersumpah tak akan makan “kelapa” (rempah-rempah) sebelum berhasil menyatukan Nusantara.
Di sini tentu banyak tafsiran filologis tentang makna “amukti palapa”. Meski demikian tentang tujuan sumpah Gajah Mada itu sendiri terang benderang. Jika dulu Sumpah Palapa dimaksudkan sebagai ikhtiar Gajah Mada menyatukan Nusantara, sementara Satelit Palapa dimaksudkan sebagai cara modern menyatukan Indonesia.
Momen peluncuran satelit itu mencatatkan Indonesia sebagai negara ketiga di dunia, sesudah USA dan Kanada, dalam hal mengunakan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD). Indonesia adalah negara berkembang pertama jauh mendahului negara-negara berkembang lainnya seperti India, Cina, Brazil, Meksiko, dan negara-negara Arab, yang mengembangkan sistem komunikasi dengan basis kepemilikan satelit sendiri. Mengingat kondisi perekonomian saat itu, suka atau tidak-suka keputusan Orde Baru memiliki satelit sendiri jelas sebuah kebijakan yang berani dan visioner.
Ya, lapak bisnis informasi dan komunikasi jelas merupakan domain yang sangat basah dan strategis sejak memasuki era post industrial society, hal yang belum sepenuhnya terbayang pada 1976. Fenomena penggunaan teknologi komunikasi secara massal, seperti micro-processor, telivisi, komputer/PC, HP/smartphone dan lain sebagainya, kini terbukti telah membawa transformasi sosial yang sangat besar. Bukan saja pada bidang ekonomi dan politik, melainkan juga merambah pada pembentukan identitas kultural dan gaya hidup yang melintas batas-batas nation state. Dampak secara global ialah munculnya fenomena yang dikenal dengan istilah “revolusi informasi dan komunikasi”, yang konon telah menghadirkan pola gerak sejarah peradaban secara baru. Ya, sebagai sebuah diskursus, mondialisme atau globalisasi telah mekar menjadi isu dominan memasuki tahun 1990-an dan hingga kini semakin bertambah-tambah. Fenomena itu juga mendera Indonesia.
Karena itu peluncuran Satelit Palapa 1976 adalah ‘mile-stone’ sejarah Indonesia memasuki sektor bisnis informasi dan komunikasi beserta berbagai bisnis turunannya seperti sektor industri jasa berbasis pengetahuan atau ide, industri kreatif, dsbnya. Dari ceruk binis basah ini, nantinya sejarah juga mencatat lahirnya PT Indosat dan PT Telkomsel yang merupakan provider terbesar di Indonesia. Selain itu, kepemilikan satelit sendiri sudah tentu bermakna strategis dalam kerangka keamanan nasional (national security), yakni menjaga lalu lintas dan penyimpanan (data base) informasi dan komunikasi, salah satunya terkait rahasia negara, agar sepenuhnya dikontrol orang Indonesia sendiri.
Pada awalnya, pengelolaan satelit dan jasa komunikasi di Indonesia berada di bawah monopoli Perumtel (sekarang Telkom). Perusahaan BUMN ini tercatat telah meluncurkan delapan satelit (termasuk Palapa-A1), yaitu Palapa-A2 (1997-1985), Palapa- B1 (1983-1992), Palapa B2P (1987- 1996), Palapa-B2R (1990-1999), Palapa-B4 (1992-2004), dan terakhir adalah Telkom-1 (1999-2008). Adapun satelit yang telah beroperasi dari generasi pertama hingga saat ini tercatat ada 18 satelit, sementara yang kini masih berfungsi 9 satelit.
Akan tetapi belakangan sejalan kebijakan liberalisasi ekonomi, yakni berdasarkan UU No.3 Tahun 1989 mengenai Telekomunikasi, pengelolaan satelit dan jasa komunikasi tidak hanya menjadi monopoli perusahaan plat merah, melainkan juga terbuka bagi swasta baik domestik maupun asing. Trademark Palapa juga tidak lagi menjadi arus utama penamaan satelit-satelit baru. Alih-alih spirit Sumpah Palapa mendasari rumusan kebijakan pemerintah, belakangan yang terjadi pasca reformasi 1998 justru nampak semakin kendor.
Kasus penjualan PT Indosat adalah buktinya. PT Indosat, yang awalnya merupakan PMA (1967) di bidang penyelenggaraan jasa telekomunikasi internasional dan pada 1980 seluruh sahamnya dibeli Pemerintah, tapi pada tahun 2002 di masa kekuasaan Presiden Megawati malah dijual kembali. Pemerintah Megawati menjual 8,10% saham Indosat kepada publik dan selanjutnya menjual 41,94% kepada Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT), yang merupakan anak usaha Temasek Holding Company, sebuah perusahaan MNC asal Singapura. Akibatnya pemerintah Indonesia kini hanya memiliki saham 15%, STT memiliki 41,94% dan publik memiliki 43,06%.
Asset penting negara ini dijual oleh Presiden Megawati dengan harga USD 627 juta atau sekitar Rp 5,7 triliun (kurs pada saat itu USD 1 = Rp 8.940). Sebuah harga yang sangat murah, mengingat implikasi hukumnya bahwa PT. Indosat boleh dikata hakikatnya sudah tidak lagi menyandang status BUMN.
Lagi-lagi celakanya, masih pada tahun 2002 dan juga masa kekuasaan Presiden Megawati, Temasek melalui anak usahanya yang lain yaitu Singtel (Singapore Telecommunication) juga berhasil membeli saham PT. Telkomsel yang notabene milik pemerintah (BUMN). Sejak itu hingga kini, kepemilikan saham Singtel terhadap PT. Telkomsel sekitar 35%.
Menoleh pada sejarah, akhir 1980-an atau tepatnya tahun 1987, Iwan Fals merilis sebuah lagu berjudul “Lancar”. Liriknya menyinggung Satelit Palapa, yang oleh Bung Iwan dimaknai satir sebagai proses bangsa Indonesia memasuki pintu kemajuan. Sejauh mana bangsa kita bergegas menyongsong fajar pencerahan sains dan teknologi? Bukankah satelit-satelit itu adalah produk impor dan Indonesia hanya bisa bertindak sebagai konsumen? Ya, itu benar. Akan tetapi sesungguhnya hanya separuh kebenaran.
Pasalnya dalam teknologi peroketan, Indonesia sebenarnya pernah dicatat sejarah sebagai negara kedua di Asia dan Afrika setelah Jepang, yang sukses meluncurkan produk roket buatannya sendiri. Pada 14 Agustus 1964 produk LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) yang bernama “Roket Kartika I” berhasil diluncurkan. Tentu tak bisa dipungkiri, keberhasilan ini tak lepas dari bantuan teknis Rusia yang waktu itu masih berbentuk Soviet Union. Sayangnya angin politik nasional berubah haluan dratis, sehingga proyek itu macet. Seandainya Indonesia konsisten mengembangkan teknologi roket luar angkasa bukan mustahil kini perkembangannya sudah melesat jauh.
Tapi, bagaimanapun harapan itu harus senantiasa disemai. Kabar baik tentang penguasaan teknologi oleh orang Indonesia masih terdengar nyaring.
“Tahun 2025, kita sudah akan bisa meluncurkan satelit sendiri. Setelah itu kita menuju program ke Bulan,” kata Kepala LAPAN, Bambang S. Tedja, pada 27 November 2012. Meski masih sebentuk asa belaka, namun optimisme LAPAN sedikit banyak kembali mengingatkan kita pada Sumpah Palapa Gajah Mada. Ya, semoga saja nanti jadi kenyataan sejarah.
Problem Indonesia toh memang bukanlah kekurangan orang-orang pintar yang berintegritas diri, namun senyatanya lebih pada lingkar kuasa dan para penentu kebijakan Republik yang selama ini justru nampak mengingkari spirit amukti palapa.