Kerenkamp menyebut strategi Hurgronje itu sebagai ‘splitsingstheorie’, yaitu teori yang membedakan dan memilah antara Islam dalam arti “ibadah” atau ‘Islam-religius’ di satu sisi dan Islam dalam arti “kekuatan sosial politik” atau ‘Islam-politik’ di sisi lain.
[dropcap]B[/dropcap]icara korelasi antara kuasa dan pengetahuan, suka atau tidak-suka ilmu antropologi adalah contoh paling aktual di mana kepentingan kuasa kolonialisme turut mendesain model dan tujuan penelitian ilmiah. Yaitu bagaimana memahami orang-orang terjajah dengan cara lebih baik dalam kerangka menundukkan mereka secara hegemonis dan juga efisien.
Pengetahuan perihal seluk-beluk penduduk pribumi ini kemudian diterjemahkan dalam bentuk kebijakan pemerintah bagi negeri jajahan. Tentunya demi status quo kolonialisme. Atau dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “rust en orde”: ketertiban dan keamanan.
Indonesia, tentu tak luput jadi obyek kajian. Salah satu literatur yang menandai dimulainya penelitian etnografis secara serius ialah History of Java, karya Thomas. S. Raffles di masa penjajahan Inggris. Memasuki lagi masa penjajahan Belanda, berbagai upaya untuk memahami masyarakat jajahan secara komprehensif terlihat dilakukan secara lebih terorganisir dan terlembagakan. Pada 1850 dibentuklah KITLV (Koninklijk Instituut Vor Taal-, Land- En Volkenkunde Van Nederlanche Indie). Lembaga riset berkedudukan di Leiden ini dimaksudkan dapat memberi sumbangan berarti dalam membangun pengetahuan ilmiah perihal masyarakat pribumi bagi pemerintah Belanda.
Di sini penjajah Belanda menghadapi kenyataan bahwa mayoritas penduduk yang dijajahnya beragama Islam. Timbulnya perlawanan bangsa terjajah seperti Perang Cirebon (1821 – 1830), Perang Padri (1821 – 1827) atau Perang Diponegoro (1825 – 1830), misalnya, jelas tak terlepas dari faktor keberadaan agama Islam. Dan pada kenyataannya Islam memang selain berfungsi sebagai titik identitas sekaligus perekat kesadaran pribumi juga jadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan Belanda yang Kristen dan asing. Sehingga bagaimana soal menjinakan pribumi dan menghadapi Islam, itulah persoalan utama bagi pemerintah Belanda.
Namun segera memasuki awal abad ke-20 pemerintah Belanda tercatat nisbi terhitung cakap mengemudikan negeri jajahannya. Capaian prestasi ini, sekalipun tak berlangsung seberapa lama, toh sempat menimbulkan decak kagum kolega kolonialnya: Inggris dan Perancis.
Kata kunci di balik kesuksesan itu ialah hadirnya seorang antropolog Belanda, Prof Dr Christiaan Snouck Hurgronje. Dia datang pertamakali ke tanah Hindia Belanda meniti karir sebagai adviseur bagi Gubernur Jendral. Pada 1899 berdirilah Kantoor voor Inlandsche zaken di Batavia, sebuah kantor penasehat urusan Pribumi dan Arab. Lembaga ini sengaja didirikan pemerintah Belanda untuk merealisasikan ide-ide dan proyek ‘social engineering’ Hurgronje.
Keahlian dan kedalaman pengetahuan Islam-nya konon hanya sedikit sekali tertandingi oleh sarjana Barat dan bahkan sarjana Islam sendiri pada kurun waktu itu. Sehingga boleh dikata dialah peletak dasar kebijakan pemerintah Belanda untuk menangani masalah-masalah terkait pokok-soal Islam. Di atas panggung Hurgronje segera nampak muncul sebagai negarawan besar dan seorang ahli mengenai masalah penjajahan. Saking kuatnya dasar-dasar kebijakan yang telah dibangunnya tersebut, para adviseur penggantinya terlihat sekadar mengikuti jejak langkahnya. Tak berlebihan sekiranya seorang Indonesianis dari Amerika, Harry J Benda, menyebut Hurgronje sebagai “arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris”.
Ya, Hurgronje memang berhasil melengkapi pengetahuan pemerintah Belanda tentang Islam, terutama bidang sosial dan politiknya. Juga berhasil memberi gambaran perihal bagaimana pola mentalitas ketimuran masyarakat pribumi Indonesia. Lebih dari itu, Hurgronje merupakan salah satu inisiator penting yang membuka zaman baru dan munculnya model baru hubungan Belanda-Indonesia. Reorientasi politik pemerintah Belanda terkait Islam dan strategi-taktik penyelesaian Perang Aceh adalah beberapa prestasi gemilangnya. Selain itu, “politik etis” di tanah Hindia yang resmi dimulai 1901 pada awal pelaksanaannya jelas tak bisa dilepaskan dari kiprah Hurgronje selaku adviseur.
Keberhasilan “resep”-nya tersebut merupakan buah ketekunan dan keberhasilan penelitian lapangannya selama ini. Tercatat, Hurgronje pernah melakukan penelitian lapangan di negeri Arab (1885), bahkan ia adalah orang asing yang diperkenankan menginjakkan kakinya di tanah suci, Mekkah; juga pengalaman penelitian lapangannya di Jawa (1889 – 1890) dan Aceh (1891); serta ditambah dia pernah menjabat sebagai penasehat urusan bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam (1891) serta sebelumnya juga pernah studi doktoralnya tentang bahasa Semit; maka lengkap sudah piranti intelektual Hurgronje untuk benar-benar memahami Islam sebagai ‘subject matter’-nya. Ini segera terbukti di lapangan politik di tanah Hindia, penyelesaian Perang Aceh (1873 – 1903) oleh pemerintah Belanda adalah racikan resepnya.
Kerenkamp menyebut strategi Hurgronje itu sebagai ‘splitsingstheorie’, yaitu teori yang membedakan dan memilah antara Islam dalam arti “ibadah” atau ‘Islam-religius’ di satu sisi dan Islam dalam arti “kekuatan sosial politik” atau ‘Islam-politik’ di sisi lain. Bagi Hurgronje musuh kolonialisme itu bukan Islam sebagai ritus keagamaan, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Lebih jauh menurut analisis Hurgronje, Islam di sini karakteristiknya bersifat damai, memiliki kadar toleransi tinggi dan cenderung tidak fanatik. Sehingga dengan begitu sebenarnya masih mungkin adanya politik koeksistensi atau bahkan model kerjasama antara pribumi dan pemerintah Belanda yang Kristen. Syaratnya, asalkan pihak pemerintah Belanda bersikap netral alias tidak melakukan campur tangan terhadap fenomena keagamaan dalam artian ibadah itu.
Sementara, terkait dengan pribumi Islam yang cenderung dogmatis dan fanatis sehingga mudah terpengaruh oleh gerakan Islam dari luar, seperti Pan Islamisme, pemerintah Belanda harus bertindak tegas dan mengelimir pengaruhya ketika mereka terbukti menghasut serta menyebarkan propaganda politik anti kolonialisme. Kata kunci mengatasi persoalan ini adalah memajukan proses pendidikan pribumi, yaitu dengan proses pembaratan dan politik asosiasi di mana pihak Belanda menjadi pamong bagi kemajuan budaya pihak pribumi. Sebuah ide strategi ‘social engineering’ yang senafas dengan agenda Politik Etis dan spirit filsafat liberalisme sebagai gagasan termaju pada zamannya.
Karena itulah Hurgronje membagi masalah Islam dalam tiga kategorisasi, yakni: 1) bidang agama murni atau ibadah; 2) bidang sosial kemasyarakatan; 3) bidang politik; di mana masing-masing bidang membutuhkan alternatif solusi yang berbeda.
Analogi paling tepat untuk bicara peran Hurgronje dan Kantoor voor Inlandsche zaken ialah “Rumah Kaca”, sebuah novel keempat dari serial tetralogi Pramodya Ananta Toer. Sementara Snouck Hurgronje, meski tak terlalu tepat adalah padanan Pangemanan, tokoh pribumi yang bekerja sebagai intel untuk mengawasi semua gerak-gerik Minke.
Ya, di kantor “rumah kaca” Hurgronje itu banyak terdapat tenaga ahli yang bertugas meneliti dan mencatat secara cermat dan detail berbagai aktivitas warga pribumi khususnya terkait agama Islam. Mengamati berbulan-bulan atau malah berbilang tahun dan lantas menganalisisnya secara dingin, sehingga nasihat yang diberikan Kantoor voor Inlandsche zaken pada pemerintah Belanda bernilai obyektif dan tepat sasaran. Walhasil, resep Hurgronje berhasil memperpanjang usia penjajahan Belanda di negeri ini.
Titik kontroversi Snouck Hurgronje selaku ilmuawan sosial adalah proses konversi keagamaannya, yaitu dari Kristen salin rupa memeluk Islam. Banyak orang menduga, proses ke-Islam-an Hurgronje hanyalah siasat belaka, dan bukan karena proses keimanan terhadap ajaran-ajaran Islam. Sekadar siasat untuk memudahkan ia belajar dan memahami perihal Islam dari logika tangan pertama, baik itu dari masyarakat Arab, Jawa maupun Aceh.
Namun demikian terlepas bahwa Hurgronje telah berlaku ‘khianat’ karena telah bersikap bohong pada masyarakat yang ditelitinya, tapi bicara soal dedikasi nasionalisme-nya selaku orang Belanda ia patut diacungi dua jempol sekaligus. Suka atau tidak suka.
Dalam refleksi kekinian, dapat dsimpulkan bahwa strategi ‘social engineering’ Hungronje dapat turut mendesain kontruksi sosial Keindonesiaan secara sekular. Ini mengisyaratkan tak semua produk kebijakan kolonial itu serta merta “buruk”.
Ya, baik atau buruk seringkali memang berbeda makna dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Kebenaran, lebih-lebih itu domain sosial-politik, tentu tak pernah hadir mutlak hitam-putih. Ada relativisme di sana, yang tergantung konteks tafsir zaman dan sudut pandang yang dikenakan. Sementara, kini bicara sekularisme sebagai kebijakan pemisahan antara nalar agama dan kuasa negara kini justru terlihat semakin memperlihatkan relevansi kebenarannya. Terlebih, mengingat pluralisme keagamaan dan kebudayaan adalah sebuah realitas aktual di Indonesia.