logo boleh merokok putih 2

Dalang Abyor dan Ajip Rosidi

Ya, pada Batara Kresna-lah — yang adalah sosok manusia namun mengemban fungsi kenabian dan bukan pada mahkluk Dewata (Supreme Being) — justru Rikmadenda berhasil beroleh pencerahannya. Demikianlah sinopsis roman itu.

dalang-abyor-dan-ajip-rosidi

[dropcap]S[/dropcap]alah satu roman yang berkesan mendalam bagi saya adalah novel “Rikmadenda mencari Tuhan”. Ya, bagaimana tidak, roman yang setahu saya adalah karya Ajip Rosidi itu berisi kisah kegigihan anak manusia yang gelisah-rindu mencari Tuhan. Roman itu ditulis pada 1962, sementara saya berkesempatan membaca dari publikasi Yayasan Obor Indonesia terbitan 1991. Saya membacanya pada fase ‘genting’ psikologis usia remaja, tepatnya ketika masih duduk dibangku SMA.

Roman ini ditulis dalam lanskap dunia pewayangan. Berangkat dari mengemban titah ayahnya, Prabu Mustakaluhur, tokoh novel yang bernama Rikmadenda ini pergi berkelana mencari tahu perihal hakikat Tuhan. Diawalinya dari bertanya kepada ulama, brahmana, dan banyak ahli agama lainnya di seluruh negeri. Tak tanggung-tanggung, bahkan semua agama dipelajarinya demi memahami hakikat Tuhan sebenarnya. Tapi, semua itu belum jua memuaskan hati Rikmadenda.

Demi mencari jawab semua tanya itu alkisah Rikmadenda pergi ke Kahiangan. Dia bermaksud mencari tahu makna hakiki Tuhan dengan bertanya langsung kepada Dewata. Usaha pencarian Tuhan yang tak kenal lelah ini menuntunnya menemui Batara Guru. Setelah berhasil menemui Raja dari Para Dewata itu maka segera saja dia tumpahkan gusar hatinya tentang misteri Tuhan. Batara Guru menjawab gusar hati Rikmadenda, berkata:

“Tuhan itu tak berwarna tak berbentuk, karena itu tidak dapat dilihat dan tidak pula dapat diperumpamakan.” Lebih jauh ujarnya lagi: “Tuhan itu bukan lelaki juga bukan perempuan.”

Akan tetapi, jawaban Batara Guru tak cukup menenangkan hatinya. Lantas, dia pergi ke Kahiangan Pitungwiung menemui Sanghiang Tunggal, ayah dari Batara Guru. Jawaban yang diberikan Sanghiang Tunggal malah jadi pertanyaan kembali pada diri si-penanya sendiri, semacam isyarat sekaligus ‘teka-teki’ yang mesti disingkap terlebih dulu.

“Ya, kalau engkau menanyakan sesuatu, sebelumnya engkau sudah harus mengetahuinya. Kalau engkau mencari sesuatu, sebelumnya engkau sudah harus tahu apa yang kau cari. Kalau engkau menghendaki sesuatu, sebelumnya engkau harus sudah mempunyainya. Kalau tidak engkau akan kecele.”

Maksud dari jawaban Sanghiang Tunggal adalah meminta Rikmadenda memahami dan mengendapkan dulu segala luapan pertanyaan-pertanyaannya, sebelum ia hendak melangkah lebih jauh dan bertanya kepada orang lain. Ini setidaknya supaya ia tidak mudah dibodoh-bodohi orang lain atau malah tersesat berputar-putar pada permainan logika serta pengandaian buah pikirnya sendiri yang tak sepenuhnya tersadari. Jawaban Sanghiang Tunggal sekalipun mengenai palung hatinya, tapi tetap saja belum sepenuhnya memuaskan batin Rikmadenda.

Maka segera pergilah ia ke kediaman Sanghiang Wenang, ayah dari Sanghiang Tunggal dan juga kakek dari Batara Guru itu. Tapi di sana ia justru berwawan muka dengan Batara Kresna, yang sebelumnya telah hadir di sana juga untuk meminta wejangan dari Sanghiang Wenang. Singkat cerita, seperti kisah percerahan Arjuna dalam Bhagavad Gita, roman ini juga diakhiri dengan wejangan ilmu hakikat ketuhanan oleh tokoh titisan Dewa Wisnu itu. Ya, pada Batara Kresna-lah — yang adalah sosok manusia namun mengemban fungsi kenabian dan bukan pada mahkluk Dewata (Supreme Being) — justru Rikmadenda berhasil beroleh pencerahannya. Demikianlah sinopsis roman itu.

Dulu saya menduga roman ini karangan Ajip sendiri. Belakangan baru saya tahu, roman yang ditulis Ajip ternyata berasal dari sebuah lakon carangan ciptaan seorang dalang masyhur di telatah Sunda. Dikenal dengan nama Abyor. DalangnAbyor membuat cerita lakon carangan dalam bentuk lisan, sementara Ajip mengubahnya menjadi bentuk tulisan. Saya tahu hal ini setelah membaca tulisan Ajip yang berjudul “Dalang Abyor.”

Siapakah dalang Abyor? Dalam artikelnya Ajip tak hanya bertutur tentang kedekatan personalnya dengan dalang Abyor, tapi juga secara etnografis menulis perihal latarbelakang multi keahlian yang dituntut oleh profesi dalang. Ajip juga memberi catatan tentang bagaimana cerita dari mulut ke mulut beredar di tengah masyarakat perihal kebiasaan adu sakti di antara para dalang, juga cerita seputar laku spiritual mereka untuk tujuan memperoleh ilmu sebagai prasyarat menjadi seorang dalang. Tak luput diceritakan pula keluarga Abyor selaku pewaris seni tradisi, termasuk peristiwa penangkapan Abyor karena dituduh sebagai seniman Lekra pasca G30S1965.

Ajib mengenal nama Abyor ketika umurnya sendiri belum genap lima tahun. Kakeknya, seorang kuwu desa Ciborelang, dulu mengadakan hajat khitanan Ajip secara besar-besaran. Hajatan itu berlangsung tiga malam. Pada malam kedua digelar pementasan wayang kulit semalam suntuk. Dalangnya masih muda dan tengah naik daun. Menurut informasi kakek Ajip, itulah dia si-dalang Abyor.

Ya, Abyor adalah pewaris seni tradisi pedalangan di Sunda. Lahir pada kisaran 1914. Ayahnya tentu juga seorang dalang. Dalang Cita demikian namanya dikenal, menurut Ajip adalah dalang sohor di daerahnya. Bukan hanya piawai mendalang, tapi konon juga dikenal sangat sakti.

Sebagai anak dalang terkemuka Abyor tentu mendapat kesempatan belajar pada guru pedalangan terbaik. Sejak kanak-kanak dia sering diajak ayahnya mendalang. Dengan cara begitulah secara tradisional Abyor belajar seni pedalangan. Dia belajar mengenali ratusan tokoh wayang beserta perwatakannya; belajar memahami warna dan langgam suara tokoh-tokoh wayang berikut belajar mengolah kemampuan vokalnya untuk memberi ciri pembeda pada satu tokoh dan tokoh lainnya; juga harus menghapal semua cerita wayang babon baik Mahabarata maupun Ramayana; dan tak kecuali juga belajar menembang dan memainkan semua alat musik sehingga praktis selain sebagai dalang sekaligus jadi dirigen gamelan pada sesi pementasannya nanti. Menjadi dalang dalam arti ‘klasik’ ini, sungguh sebuah profesi yang kasat mata sangat sulit.

Tak khayal dalang Abyor juga sangat pandai mendalang. Ia dinilai banyak pihak bukan saja dapat menggantikan peranan ayahnya, tapi bahkan jauh mengunggulinya. Menurut penilaian Ajip, Abyor boleh dikata berhasil melanjutkan tradisi yang dilakukan oleh Wali Sanga ketika menyebarkan agama Islam dahulu.

Selain itu, Abyor juga dikenal sangat piawai mengarang cerita lakon carangan. Sementara, perlu diketahui bahwa seorang dalang profesional baru dianggap absah membuat cerita lakon carangan setelah dia teruji kemampuannya mengetahui dan menghapal semua lakon babon yang ada. Jadi, lakon carangan jelas bukan cerita yang dibuat asal-asalan. Lakon Rikmadenda mencari Tuhan, seturut penilaian Ajip memiliki struktur cerita yang memuat uraian pengertian tentang Tuhan sebagaimana disampaikan oleh kitab-kitab suluk Jawa, misalnya seperti termaktub dalam suluk Kitab Sabda Jati.

Ajip juga menyebut lakon carangan lain. Judulnya tentu bakalan mengundang perhatian banyak orang: “Gareng mengaku jadi Tuhan”. Dari judulnya itu sedikit atau banyak mengingatkan kita pada perdebatan tafsir teologis antara Syeh Siti Jenar dan Wali Sanga. Sayang seribu sayang, Ajip sedikitpun tidak memberikan informasi tambahan terkait struktur cerita lakon carangan tersebut.

Pada masa puncak popularitasnya, dalang Abyor dianugerahi oleh Lekra Jawa Barat gelar “profesor” seni pedalangan. Ini dilakukan bersamaan dengan peresmian sanggar yang dibentuk Lekra di daerah Cirebon. Dalam sanggar itu sedianya hendak dibuat semacam sekolah buat para seniman dan para dalang. Tentu saja dalang Abyor begitu gembira mendengar kabar itu. Pasalnya mendirikan sekolah pedalangan adalah cita-citanya selama ini. Ya, dalang Abyor ingin mendirikan semacam sekolah pedalangan di daerahnya, tempat di mana para dalang bisa belajar dan berbagi pengetahuan bersama perihal seni pendalang mereka.

Tapi, karena gelar profesor seni pedalangan itulah dalang Abyor bernasib naas. Awal tahun 1967 dalang Abyor diciduk tentara dan ditahan. Ajip lobi sana-sini mencari cara agar dalang Abyor dibebaskan. Ajib meyakinkan pihak-pihak terkait, bahwa dalang Abyor bukanlah komunis. Setelah lebih dari dua tahun disekap tanpa kejelasan, dalang Abyor akhirnya dibebaskan dengan syarat ia tak diperkenankan mendalang sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Keluar dari penjara kondisi kesehatan tubuhnya memburuk. Menurut Ajip, selain penyakit paru-parunya sudah parah juga terkena penyakit diabetes. Semakin lama kondisi kesehatannya justru semakin memburuk. Ini tak terlepas dari ketidakdisiplinan dalang Abyor sendiri menuruti nasehat dokter. Hingga suatu ketika Ajip mendengar kabar duka, bahwa dalang Abyor meninggal dunia.

Jelas itu berita duka bagi Ajip, tapi bagaimana cerita kronologis dalang Abyor menyambut proses kematiannya nampaknya membuat penulis roman “Anak Tanah Air” itu terpukau sebegitu rupa. Ajip mengatakan bahwa cara meninggalnya sangat orisinal dan khas! Hah, apa pasal?!

Beginilah ceritanya: Sebelum meninggal dalang Abyor memanggil anak istri dan adik-adiknya semua. Hari itu dia nampak bugar sehingga semua yang datang merasa gembira. Tapi, ternyata pada dinding tembok kamarnya dia sudah menulis pesan: “Aku mau mati, tetapi kamu sekalian tak boleh menangis. Lebih baik menembang sajalah.”

Demikianlah dalang Abyor menyuruh anak dan adik-adiknya, satu persatu bergantian menembang, sementara dia sendiri berbaring di atas kasur yang digelar di lantai menunggu ajal sembari menatap para kerabatnya dengan senyum bahagia. Meminjam perspektif filsafat eksistensialisme, bagaimanapun kematian merupakan momen paling kritis sekaligus paling ontentik bagi pengalaman kesadaran setiap manusia. Ya, dalang Abyor si-penggubah lakon Rikmadenda mencari Tuhan itu jelas sanggup menguasai momen situasi batas-batas eksistensialnya itu sebagai manusia. Tak salah sekiranya Ajip mengatakan bahwa cara meninggalnya dalang Abyor sangat orisinal dan khas!

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Waskito Giri

Waskito Giri

Penulis, pemilih Jokowi, dan meyakini Nusantara sebagai asal-usul peradaban dunia. Kolektor keris.