logo boleh merokok putih 2

Budi Utomo dan Kebangkitan Nasional

Menyimak rekam jejak BU, wajar jika banyak pihak yang kritis terhadap sejarah merasa bahwa sesungguhnya tidaklah tepat mendudukan Budi Utomo sebagai penanda, lebih-lebih sebagai representasi, dari sebuah ide atau gagasan Kebangkitan Nasional.

budi-utomo-dan-kebangkitan-nasional

Setiap 20 Mei Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Ini mengacu pada berdirinya Budi Utomo: 20 Mei 1908. Ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada momen 40 Tahun Hari Kebangkitan Nasional, pertamakali digelar pada 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan di Yogyakarta.

Pertanyaannya ialah, apakah tepat menetapkan BU sebagai representasi Kebangkitan Nasional? Lebih jauh, apa yang sebenarnya mendasari penetapan itu? Mari kita simak catatan kronik sejarah.

Dikisahkan lahirnya BU bermula dari kegelisahan Wahidin Soedirohoesodo, seorang dokter Jawa yang nanar menatap masa depan bangsa Jawa. Dia menjelajahi kota-kota besar di pulau Jawa, bergerak mempersuasi banyak tokoh muda untuk bergerak membangkitkan kembali kebesaran masalalu Jawa.

Ya, sejak awal berdiri BU memang belum mengemban ruh nasionalisme Hindia. Seperti nanti kilah lihat, proses identifikasi nasional atau keindonesiaan BU tumbuh sangat lambat. Butuh dua dekade lamanya. Sekiranya disebutkan ada nasionalisme dalam sejarah awal BU, jelas ruhnya masih mengambil artikulasi nasionalisme Jawa.

Sering disebutkan selain moderat dan kooperatif, BU juga cenderung berorientasi gerakan kultural ketimbang sebuah gerakan politik. Menurut R Van Niel (1984) dalam buku “Munculnya Elit Modern Indonesia,” mayoritas anggota dan pemimpin BU adalah pegawai-pegawai pemerintah Belanda. Selain itu juga tercatat memiliki kedekatan hubungan dengan kalangan bangsawan kraton. Akibatnya bukan hanya cenderung “main aman”, bahkan celakanya unsur-unsur konservatif kalangan kaum tua justru terlihat dominan ketimbang unsur progresif di kalangan kaum muda. Kecenderungan ini bahkan sudah terlihat sejak kongres BU pertama, Oktober 1908.

Kelompok kecil berpikiran maju yang dipimpin oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, bermaksud mendorong BU berubah haluan menjadi organisasi politik yang bukan semata berjuang memajukan kepentingan golongan priyayi, melainkan juga bagi seluruh rakyat Hindia. Tjipto juga mengusulkan kegiatan organisasi BU seharusnya meliputi seluruh tanah Hindia dan bukan sebatas Jawa dan Madura. Mudah diduga, pandangan Tjipto gagal mendapat dukungan luas dalam kongres BU pertama itu.

Tak menunggu lama, pada 1909 Tjipto segera saja hengkang. Tiga tahun berselang, akhir 1912 Tjipto bersama Suwardi Surjaningrat dan Douwes Dekker atau yang dikenal dengan julukan “tiga serangkai” itu kemudian mendirikan Indische Partij. Organisasi multi-etnik sekaligus partai politik pertama di Hindia Belanda ini jelas lebih memiliki karakter progresif dan radikal. Indische Partij bergerak maju mempropagandakan “nasionalisme Hindia” jauh melampaui gagasan nasionalisme Jawa BU.

Ide nasionalisme Hindia dari Indische Partij ini nantinya pertama-tama disambut hangat oleh Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia, sebuah organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di negeri Belanda yang berdiri pada tahun yang sama dengan BU, 1908. Namun kemajuan organisasi yang belakangan nanti salin nama Perhimpunan Indonesia ini, bagaimanapun baru terjadi setelah aktivis tiga serangkai itu dibuang ke negeri kincir angin pada 1913.

Ide nasionalisme Hindia dari Indische Partij ini diekspor masuk ke Indonesia oleh para aktivis Perhimpunan Hindia. Soekarno, salah satu aktivis Jong Java, anak organisasi BU, dengan penuh antusias menerima ide nation atau nasionalisme Hindia tersebut.

Satu bulan sebelum Indische Partij lahir, pada November 1912 Sarekat Islam berdiri. SI adalah metamorfosis organisasi Sarekat Dagang Islam yang berdiri di Solo setahun sebelumnya, 1911. Pendirinya adalah Haji Samanhoeddhi, dibantu oleh R.M. Tirtoadhisurjo sebagai penyusun Anggaran Dasar pertama organisasi ini.

Cukup lama berselang setelah SI berdiri pada 1912, barulah menyusul organisasi keagamaan muncul ke atas panggung sejarah. Pada 1918 berdirilah Muhammadiyah di Yogyakarta. Menariknya, selaku pendirinya Kyai Ahmad Dahlan sendiri adalah anggota BU dan SI sekaligus.

Sementara, bicara nama R.M. Tirtoadhisurjo sebenarnya ia pada 1906 pernah mendirikan organisasi Sarekat Prijaji, dua tahun mendahului BU. SP, meskipun secara organisasional boleh dikata lebih maju karena memiliki suratkabat Medan Priyayi (1907) sebagai alat perjuangan, namun sayangnya SP layu sebelum berkembang. Tercatat, R.M. Tirtoadhisurjo sendiri juga anggota BU dan SDI/SI.

Maka seiring munculnya organisasi-organisasi baru tersebut BU terkesan mengalami kemandegan atau malah kemunduran. Selain tidak bergerak dalam bidang keagaman, BU juga tidak bergerak dalam bidang politik. Walhasil BU nampak sebagai organisasi yang lemah dan juga terlalu sempit cakupan keanggotannya karena terbatas pada daerah berbudaya Jawa.

Akira Nagazumi dalam The Dawn of Indonesian Nationalism : The Early Years of Budi  Utomo, 1908 – 1918, ternyata mencatat bahwa sejalan gelombang pasang sejarah pergerakan di Hindia maka mulai muncul pergeseran orientasi BU menjadi lebih bersifat politis ketimbang pada fase sebelumnya. Meski demikian hal ini bukan berarti bahwa BU telah meninggalkan karakter kooperasinya. Pergeseran BU menjadi lebih politis ini setidaknya nampak pada isu:

Pertama, terkait momen Perang Dunia I tahun 1914. Dalam rapat umum di Bandung pada 5 – 6 Agustus 1915, BU mengeluarkan mosi: mendorong dibentuknya milisi bagi bangsa Indonesia melalui sebuah persetujuan parlemen. Belanda dan Hindia Belanda sendiri sebenarnya sama sekali tak terlibat PD I, namun atmosfir peperangan tetap saja mencemaskan penduduk Hindia Belanda. Kekhawatiran bukan berasal dari tentara Jerman namun intervensi pasukan Jepang.

Kedua, BU menjadi bagian dari Indie Weerbaar yaitu komite yang dibentuk dengan misi melakukan lobi ke negeri Belanda dengan tujuan membentuk milisi pertahanan di Hindia Belanda. Dwidjosewoyo, wakil BU, berhasil melobi pejabat Belanda di sana. Meski UU wajib militer atau pembentukan suatu milisi gagal dipenuhi, tapi parlemen Belanda ternyata menyetujui usulan pembentukan Volksraad di Hindia Belanda. Tak berlebihan seandainya dikatakan ide pembentukan Volkraad adalah kontribusi terbesar BU.

Volksraad dibuka resmi oleh Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum pada Sabtu 18 Mei 1918, pukul 09.00. Mengutip tulisan Hans Van Miert (2003) tercatat komposisi Volksraad: 39 anggota, di mana 20 orang adalah wakil kelompok penduduk Eropa, 15 orang wakil penduduk pribumi, dan 3 orang wakil “Vreemde Oosterlingen” atau Timur Asing. Dari 15 wakil penduduk pribumi, tercatat 5 petinggi BU menjadi anggota Volksraad.

Tahun 1924 – 1935 adalah tahun-tahun reorientasi dan reorganisasi BU. Dasawarsa ini juga merupakan periode gelombang pasang kebangkitan nasionalisme Hindia yang saat itu sudah mulai berganti penyebutan dengan istilah “nasionalisme Indonesia.” Kelahiran PKI dan pemberontakan PKI atas pemerintah Belanda juga terjadi pada tahun-tahun ini.

Maka pada kongres BU pada bulan April 1926, dibahas kembali persoalan konsep non-kooperasi secara mendalam. Menurut catatan Slamet Muljana (1986), BU bersikap kompromistis. Sebagai organisasi BU bersikap non-kooperasi terhadap pemerintah. Tapi di sisi lain, BU tidak memaksakan anggotanya untuk bersikap non-kooperasi. BU membebaskan anggotanya mengambil sikap pribadi.

Pada 1927 BU masuk dalam wadah bersama PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang dipelopori Soekarno.

Dinamikanya lebih dari itu. Sejak 1928 BU juga menambahkan asas perjuangan organisasinya yaitu: medewerking tot de verwezenlijking van de Indonesische eenheidsgedachte (ikut berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia). Ini mengisyaratkan, BU mulai bergerak meninggalkan gagasan nasionalisme Jawa dan berubah menjadi nasionalisme Indonesia. Butuh waktu dua dekade lamanya, sungguh sebuah proses pertumbuhan yang sangat lama.

Langkah ini diteruskan mengadakan fusi dengan PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), sebuah partai yang dipimpin Soetomo. Menarik dicatat di sini. Soetomo adalah mantan Ketua BU yang pertama, tapi pada 1924 karena kecewa dengan kejumudan nasionalisme Jawa maka dia memilih hengkang. Sementara fusi BU dan PBI terjadi pada 1935. Hasil fusi melahirkan Parindra (Partai Indonesia Raya), sehingga berakhirlah riwayat BU sebagai perhimpunan para priyayi di Indonesia.

Menyimak rekam jejak BU, wajar jika banyak pihak yang kritis terhadap sejarah merasa bahwa sesungguhnya tidaklah tepat mendudukan Budi Utomo sebagai penanda, lebih-lebih sebagai representasi, dari sebuah ide atau gagasan Kebangkitan Nasional. Salah satu yang menggugat ialah Pramodya Ananta Toer. Bahkan, dia pernah mengatakan: “Kebangkitan Nasional yang disenafaskan dengan kelahiran BU terasa menyesatkan.” Pram menyarankan hari kelahiran partai politik pertama yaitu Indische Partij. Dasar argumentasi Pram karena sejak kelahirannya Indische Partij telah menggagas masalah dan nasionalisme Hindia.

Dari jurusan lain juga muncul gugatan. Sekelompok kecil aktivis Islam yang dipelopori oleh Tamat Djaja mengemukakan bahwa SDI didirikan pada 16 Oktober 1905. Klaim ini juga dikukuhkan oleh Haji Samanhoeddhi. Kelompok ini selanjutnya menuntut agar 16 Oktober 1905, dan bukan 20 Mei 1908, haruslah diakui sebagai permulaan Kebangkitan Nasional di Indonesia. Sehingga Hari Kebangkitan Nasional juga jatuh setiap tanggal 16 Oktober dan bukan 20 Mei.

Pada 1956 kelompok ini memperingati ulang tahun ke 51 momen Kebangkitan Nasional versi mereka sendiri. Dalam kesempatan itu Samanhoeddhi dan Harsono Tjokroaminoto, seorang tokoh PSII yang juga wakil perdana menteri waktu itu, turut hadir. Tamat Djaja terlihat mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak. Ahmad Timur Jaylani dalam tesis MA-nya, The Sarekat Islam Movement: Its contribution to Indonesian Nationalism, 1958, memasukan isu agar Kebangkitan Nasional disenafaskan dengan kelahiran SDI/SI .

Tapi problem utamanya di sini: benarkah SDI lahir tahun 1905 dan bukan tahun 1911?

Dari serangkaian wawancara dengan berbagai pelaku sejarah terkait SDI/SI, Deliar Noer dalam desertasinya yang berjudul “Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942” menyimpulkan, bahwa SDI tetap lahir pada tahun 1911. Pramodya Ananta Toer juga seiya sekata.

Sementara, satu pertanyaan yang tetap menggelitik ialah apakah alasan mendasar Presiden Soekarno menetapkan Budi Utomo sebagai penanda sekaligus representasi dari ide atau gagasan Kebangkitan Nasional?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Rinanda

Rinanda

Hobi jalan-jalan dan jajan. Bercita-cita punya butik.