PERTANIAN

Bungkus Rokok Polos dan Kematian Ekspresi Budaya Kretek

Desain yang diekspresikan di bungkus rokok ini adalah sentuhan kepribadian yang meyempurnakan penciptaan kretek. Dan jika disesuaikan dengan kaidah WHO tentang kebijakan bungkus rokok polos maka kretek bagaikan pribadi yang tidak jelas.

tembakau&merapi

[dropcap]H[/dropcap]ari tanpa Tembakau Sedunia diperingati setiap 31 Mei. Ini salah satu hari peringatan yang digagas dan dicanangkan WHO selain 7 peringatan lainnya, dan mulai disahkan oleh Majelis Kesehatan Dunia pada 1988. Seperti yang sudah-sudah peringatan Hari tanpa Tembakau se-Dunia tahun 2016 mengangkat tema pemberlakuan bungkus rokok polos (plain packaging). Pemilihan tema kampanye bungkus rokok polos (plain packaging) tahun ini tentu tak lepas dari paket-paket agenda mereka dalam rangka pengendalian tembakau dari tahun ke tahun.

Secara sederhana, logika bungkus rokok polos yang dikehendaki WHO adalah memperbesar gambar peringatan kesehatan dan mengecilkan merk rokok. Bahkan merk dagang yang tadinya berupa ilustrasi dan tulisan sudah tidak boleh lagi. Kebijakan rokok polos mengharuskan warna bungkus rokok semuanya sama dari perusahaan apapun. Merk dagang hanya boleh dicantumkan dengan ukuran kecil. Bungkus rokok polos adalah satu kesatuan kebijakan dengan pelarangan iklan. Ketika iklan rokok dibatasi sedemikian rupa sampai pelarangan sponsor maka hanya perusahaan-perusahaan multinasional dengan startegi komunikasi mutakhir saja yang masih bisa mengkomunikasikan produknya dengan konsumen. Terlebih produk-produk yang sudah berekspansi ke seluruh dunia.

Dalam Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya (Rudy Badil, 2011) kekhasan merk kretek sebagai alat komunikasi antara produsen dengan konsumen diangkat dalam satu bab tersendiri. Hal ini menujukkan keunikan merk kretek  yang tercantum di bungkus rokok sebagai alat komunikasi visual dengan audiens yaitu konsumen. Desain bungkus rokok adalah ekspresi budaya dari penciptanya entah disadari atau tidak. Sebagai benda budaya tentu dengan sendirinya dapat menjadi penanda lintasan zaman yang telah dilalui oleh kretek sebagai komoditas unggulan bangsa ini.

Desain yang diekspresikan di bungkus rokok ini adalah sentuhan kepribadian yang meyempurnakan penciptaan kretek. Dan jika disesuaikan dengan kaidah WHO tentang kebijakan bungkus rokok polos maka kretek bagaikan pribadi yang tidak jelas. Pameo “apalah arti sebuah nama” tentu tidak berlaku bagi produk kretek. Kretek menjadi ada karena keunikannya. Sampai sekarang keunikan desain dan ekspresi budaya di bungkus kretek banyak dikoleksi oleh para penggemar keunikan bungkus kretek ini. Butet Kertarajasa adalah salah satunya.

Bungkus rokok polos pertama kali dikampanyekan di Australia. Di negeri Kanguru tersebut pemberlakuan regulasi bungkus rokok polos (plain packaging) sudah dimulai sejak tahun 2012. Kebijakan ini kemudian diikuti oleh Irlandia dan Turki. Parlemen Inggris sudah mengesahkan peraturan pemberlakuan bungkus rokok polos ini pada tahun 2017. Negara-negara di ASEAN sampai saat ini belum ada yang mengaplikasikan regulasi ini. Di Indonesia memang belum diaplikasikan regulasi ini. Meskipun wacana itu selalu didengungkan. Dapat dikatakan demikian karena sebelum kemasan bungkus rokok polos, kampanye mereka dengan gencar adalah peringatan kesehatan berupa gambar. Kanada adalah negara pertama yang menerapkan regulasi ini. Namun hingga saat ini Amerika dan beberapa negara Eropa juga tidak menerapkan peringatan kesehatan berupa gambar di bungkus rokoknya.

Aturan tentang bungkus rokok di Indonesia diatur melalui UU 36/2009 tentang Kesehatan pasal 114. Melalui peraturan sejak ditetapkan peraturan pelaksanaannya berupa PP 109/2012 dan Permenkes 28/2013 maka bungkus produk tembakau di Indonesia harus mencatumkan 40% perigatan kesehatan berupa gambar (pictorial health warning). Pasal ini pernah digugat di Mahkamah Konstitusi. Namun Mahkamah Konstitusi tidak memenangkan gugatan itu, salah satu alasan MK adalah bahwa seluruh masyarkat Indonesia harus bisa memahami bahaya merokok, karena di Indoensia masih ada orang yang buta huruf maka peringatan kesehatan berupa tulisan saja tidak cukup.

Saat itu penerapan regulasi peringatan kesehatan berupa gambar mengundang protes dari kalangan industri kretek kecil. Industri kecil yang menyiasati pembuatan bungkus rokoknya dengan meminimalisir banyaknya warna untuk memperkecil ongkos pencetakan harus mengeluarkan biaya lebih untuk mencetak gambar peringatan kesehatan tersebut. Kebijakan bungkus rokok polos jelas akan lebih mematikan mereka. Keunikan dan ekspresi yang bisa mereka tunjukkan lewat bungkus produknya untuk bisa bersaing dengan para pabrikan besar sudah tidak memungkinkan lagi mereka gunakan cara itu. Kebijakan bungkus rokok polos adalah lonceng kematian yang lain bagi kretek untuk melintasi zaman.

Tinggalkan Balasan