Artinya tak semua fenomena kesamaan budaya itu terjadi melalui mekanisme difusi, tapi bisa jadi muncul karena persamaan fungsi untuk menjawab tuntutan kondisi lingkungan yang ada.
[dropcap]S[/dropcap]eperti ditulis pada artikel sebelumnya, LSM RAYA mengumumkan penolakannya atas kretek sebagai warisan budaya bangsa. Dasar asumsi penolakan kelompok anti-tembakau ini terang reduksionistik dan “kacamata kuda”.
Apa pasal? Mari kita simak.
Jika selama ini reduksionisme mereka mendalilkan bahwa, produk olahan tembakau yaitu kretek adalah satu-satunya sebab determinan dari gejala penurunan kualitas kesehatan masyarakat modern; kini giliran reduksionisme mereka menolak kretek sebagai tradisi warisan budaya bangsa juga sekadar didasarkan pada fakta bahwa tembakau bukan tanaman asli Indonesia. Ya, semata karena hal itu.
Silogisme penolakannya sederhana: bahwa semua warisan budaya Indonesia harus berasal dari atau asli Indonesia. Sementara catatan sejarah menyebutkan tanaman tembakau diduga kuat datang dari luar, dibawa masuk dan diperkenalkan oleh bangsa Barat (Portugis atau Spayol atau Belanda), sejalan dengan proyek kolonialisme. Lebih jauh, karena tanaman tembakau bukan berasal dari Indonesia maka produk olahan tembakau berupa kretek sekalipun asli Indonesia juga berarti bukan warisan budaya bangsa Indonesia.
Ya, terkesan silogisme mereka seolah-olah anti Barat, anti kolonialisme! Bagaimana tidak, mereka bermaksud membuat demarkasi tajam dan kaku pada sebuah lanskap kebudayaan. Mereka sengaja secara induktif merumuskan kriteria “asal-usul” atau “asli dan ‘tidak-asli” (the origin, the originality), sebagai dasar ukuran sekaligus penentu utama apakah sebuah produk budaya patut dianggap warisan budaya bangsa ataukah tidak. Di sini ide atau gagasan berasal dari atau asli Indonesia adalah kata kunci pentingnya.
Dari argumen penolakan kretek itu, sekiranya ditarik kesimpulan secara generalis: mereka mendalilkan bahwasanya sebuah produk budaya baru dapat dianggap sebagai warisan budaya bangsa setelah tervalidasi secara historis memenuhi prasyarat (sine qua non) berasal dari atau asli Indonesia. Masih mengikuti konsekuensi logis perspektif mereka, hal itu juga berarti bahwa unsur-unsur pembentuk sebuah produk budaya itu harus sepenuhnya imun dari pengaruh, ataupun asal-usulnya di masa lalu, dari bangsa asing. Luar biasa, sangat chauvinistik!
Akan tetapi, pada titik inilah persoalan sebenarnya segera muncul. Selain susah divalidasi kebenarannya secara ilmiah, sesungguhnya tak sepenuhnya jelas dan pilah (clear and distinc) makna kerangka atau istilah dari “the origin” atau the originality tersebut. Lazim terjadi dalam disiplin ilmu sejarah dan kebudayaan, pertanyaan perihal “asal-usul” dan “asli atau tidak-asli” sering berakhir pada perang klaim. Di sisi lain, sebenarnya juga bukan mustahil muncul kasus adanya kesamaan budaya antara dua atau tiga atau lebih masyarakat berbeda sekalipun di antara mereka sama sekali tidak pernah berinteraksi satu sama lain.
Artinya tak semua fenomena kesamaan budaya itu terjadi melalui mekanisme difusi, yakni menyebar dari satu titik sebagai pusatnya ke titik-titik lain, tapi bisa jadi muncul karena persamaan fungsi untuk menjawab tuntutan kondisi lingkungan yang ada.
Ambil contoh kasus batik, yang notabene sudah mendapat predikat warisan budaya bangsa dari UNESCO sekalipun. Sekiranya pokok-soal “asal-usul” dan “asli dan tidak-asli”-nya didedah sebegitu rupa pasti juga berakhir pada kontroversi dan perang klaim. Orang Indonesia tentu bersikukuh batik berasal dari dan asli Indonesia; tapi juga ada hipotesa lain yang mengatakan tradisi batik diperkenakan oleh bangsa China; yang lain lagi mungkin mengatakan kita belajar dari bangsa India; dsbnya. Bisa jadi hipotesa kita benar, bahwa tradisi batik nusantara muncul bukan dari proses difusi kebudayaan. Tapi, juga bisa saja hipotesa difusi kebudayaan-lah yang benar, bahwa tradisi batik dibawa dan diperkenalkan ke Indonesia oleh bangsa China atau India. Lalu, mana yang benar? Semua hipotesa tersebut jelas susah divalidasi kebenarannya secara obyektif dan historis.
Namun sekiranya ditanyakan apakah seni batik memilki keunikan dan capaian estetis tersendiri, yang bukan saja berbeda dari model China dan India tapi lebih juga bernilai simbolik bagi masyarakat nusantara, maka semua pihak yang tadi berbeda tafsiran pasti segera bersepakat. Saya yakin itu.
Pada kasus tembakau, tak kecuali. Benar, bahwa tafsir sejarah dominan merujuk tembakau masuk ke Indonesia dibawa oleh bangsa Barat. Ada beberapa asumsi, bisa bangsa Portugis, Spayol atau Belanda. Tapi, sekiranya kita mau mendedah tradisi lisan atau folklore masyarakat di sekitar sentra budidaya tembakau, atau juga pada beberapa komunitas masyarakat adat, maka segera kita temui tafsiran subaltern yakni suara lokal yang meyakini tanaman tembakau adalah endemik nusantara. Mana yang benar? Sama halnya kasus batik di atas, keduanya susah divalidasi kebenarannya sekiranya kita mau berendah hati mendengarkan suara-suara lokal yang bukan tradisi literal.
Terlepas daripada itu. Sementara kini bicara pada konteks perdebatan historiografi muthakir justru muncul kecenderungan untuk mendedah sejarah yang-lokal pada skala kajian regional atau yang-global. Walhasil, fakta di lapangan justru ditemukan banyak saling pengaruh budaya dan saling keterkaitan ekonomi satu sama lain, di mana hubungan antar kawasan atau wilayah ternyata sudah terjalin selama berabad-abad lalu dan membentuk sebuah pola jaringan tersendiri. Berbagai penelitian historiografi muthakir justru menemukan adanya fenomena ‘cultural hybrid’ sebagai pola kebudayaan di banyak masyarakat dan banyak tempat berbeda. Sudah tentu termasuk Indonesia. Pada titik ini pokok-soal “the origin” dan “the originality” jelas tak terlalu penting untuk dipersoalkan.
Bagi saya, logika penolakan berbasis asumsi “asal-usul” dan “asli atau tidak-asli” tentu sungguh mengejutkan. Saya terkejut bukan karena mereka menolak. Kelompok anti tembakau menolak budaya kretek, itu sudah umum. Saya terkejut lebih karena begitu ‘daluwarsa’-nya kerangka pendekatan dan bangunan teoritis mereka. Selain terdapat bias kolonialisme yang tak mereka sadari sepenuhnya, secara epistemologis juga sangat lemah. Singkat kata, saya terkejut pada kebodohan mereka sekaligus khawatir jika kebodohan ini berkecambah dan bermutasi menjadi pembodohan publik secara luas.
Untuk itu marilah kita dedah kebodohan komunitas atau pegiat anti-tembakau, khususnya terkait pandangan historiografi dan kebudayaan yang implisit tercermin pada sikap penolakan mereka terhadap tradisi kretek. Di sini ada beberapa hal penting patut kita catat:
Pertama, seperti sudah saya singgung di muka. Saya katakan asumsi kerangka teoritis mereka reduksionistik. Ini kasat mata dari pendekatan historiografi mereka yang sekadar mempersoalkan “asal-usul” tanaman tembakau — “asli atau tidak-asli” Indonesia — sebagai kriteria menilai dan menentukan status kretek, tanpa perduli kompleksitas proses sosiokultural di balik terbentuknya tradisi tersebut. Titik tekannya sekadar pada asal usulnya, tanaman tembakau berasal dari mana, asli Indonesia atau bukan. Titik!
Kedua, saya juga katakan pendekatan mereka “kacamata kuda”. Benar, mereka telah menggunakan pendekatan historiografi, tapi secara metodelogis sebenarnya mengabaikan berbagai kajian ilmu humaniora dan berbagai penelitian sebelumnya di Indonesia, baik itu disiplin sosiologi, antropologi, etnografi, dsbnya. Artinya pendekatan historiografi mereka cenderung monodisipliner dan bukan multidisipliner. Wajar saja mereka gagal memahami apa yang dimaksud dengan “tradisi” atau “kebudayaan” dalam konteks kajian historigrafi. Implikasinya, seturut prasangka mereka, sekalipun kretek secara substantif berbeda dari rokok-putih dan, karena itu, dapat dianggap sebuah capaian budaya ‘local genuine’, tapi tetap saja mereka anggap bukan warisan budaya bangsa.
Ketiga, teori historiografi mereka sangat jauh dari koherensi yang adekuat, terlebih sekiranya dibandingkan dengan perkembangan teori historiografi muthakir seperti telah dikembangkan oleh Anthony Reid dan Denys Lombard terhadap kajian Indonesia. Saya yakin mereka tahu kajian kedua sejarawan ini, tapi mereka memang sengaja mengabaikannya begitu saja.
Seperti diketahui, baik karya Reid maupun Lombard pada dasarnya bertitik tolak dari tradisi historiografi yang sama, yakni tradisi Perancis atau lebih populer disebut “mazhab Annales” atau “sejarah baru”. Perspektif filosofis yang menjadi pijakannya menandaskan, bahwa perkembangan histori suatu wilayah tertentu tidaklah terjadi dan berlangsung dalam ruang kosong dan terisolasi dari pengaruh luar. Sebaliknya, proses sejarah suatu wilayah justru harus dilihat dalam kerangka peristiwa-peristiwa pada kawasan lainnya. Dengan demikian bicara sejarah Indonesia justru juga harus ditempatkan dalam kerangka sejarah dunia pada umumnya. Selain itu, pendekatan historiografi baru ini juga memadukan berbagai ilmu humaniora secara interdisipliner, sehingga secara metodelogis juga jauh dari skema “kacamata kuda”.
Apa yang menarik dicatat, menurut Azyumardi Azra (1997) pendekatan sejarah baru ini secara tidak langsung merupakan revisi terhadap dua model historiografi yang populer di Indonesia: yaitu pendekatan Euro-sentris atau Neerlando-sentris di satu sisi dan pendekatan Indo-sentris di sisi lain.
Menurut Azra, pada historiografi Neerlando-sentris atau populer disebut perspektif “sejarah kolonial”, wacana tafsir sejarah dibuat dengan meminggirkan perspektif sejarah masyarakat pribumi atau suara lokal. Perspektif sejarah masyarakat pribumi atau suara lokal dipandang sebelah mata secara pejoratif. Sedangkan perspektif historiografi Indo-sentris bermaksud membalik semua perspektif tafsiran historiografi kolonialisme, yakni dengan mendudukkan orang Indonesia sebagai pusat subyek tafsiran sejarah. Perspektif Indo-sentris menjadi tandingan pendekatan historiografi Neerlando-sentris atau Euro-sentris.
Nah, pada titik ini mudah kita lihat bahwa pendekatan historiografi komunitas anti-tembakau tidak menganut perspektif Neerlando-sentris maupun Indo-sentris, tapi juga jelas bukan menganut paradigma mazhab Annales.
Bagaimana bisa?
Dengan mengacu semata pada aspek “asal-usul” dan “asli dan tidak-asli”, tanpa disadari sebenarnya mereka tengah mendalilkan bahwa entitas kretek sebagai produk olahan hasil tembakau hanyalah semacam ‘imitasi’ atau ‘reproduksi’ dari model rokok-putih, dan bukan sebuah capaian kreasi tersendiri yang secara subtansial jauh berbeda dari rokok Barat tersebut. Artinya sekalipun kini tercipta kemajuan terkait sektor industri kretek di tanah air, penguasaan pasar dalam negeri oleh kretek, maka hal itu sekadar dilihat sebagai buah kemajuan dari kebijakan kolonial dulu. Dengan demikian kemajuan industri kretak bukan hasil dari daya kreasi dan adaptasi, etos nasionalisme dan kinerja bangsa Indonesia sendiri.
Sementara, di sisi lain mereka juga jelas tidak bermaksud membangun tafsiran historiografi Indo-sentris. Aspek “asal-usul” atau “asli atau tidak-asli”-nya tanaman tembakau yang menurut tafsiran mereka adalah bukan dari nusantara, jelas secara eksplisit bermaksud membungkam wacana subaltern atau suara lokal bahwa tembakau asli Indonesia yang dipercaya oleh sebagian masyarakat. Jadi, mudah diduga konseren mereka terkait warisan budaya bangsa Indonesia haruslah juga berasal dari atau asli Indonesia hanyalah siasat belaka, sekadar upayanmengganjal pengakuan masyarakat luas terhadap budaya kretek di Indonesia.
Seandainya, oh, seandainya saja, komunitas anti-tembakau khususnya LSM RAYA ini mau mengikuti kajian historiografi termuthakir dari sejarawan besar Denys Lombard, tentu mereka akan tiba pada kesimpulannya lain. Bahwa posisi geografis kawasan nusantara yang sangat khusus menyebabkan fungsinya sebagai persilangan atau titik pertemuan berbagai budaya sejak berabad-abad yang lalu. Adanya realitas ini tentu membuat pertanyaan semacam “asal-usul” dan “asli atau tidak-asli” menjadi sebuah pertanyaan artifisial belaka. Saya yakin, sekiranya mereka sudah membaca “karya agung” Lombard demikian disebut A. Teeuw, saya pastikan mereka dapat melihat sejarah dan kebudayaan Indonesia secara lebih baik dan utuh. Selamat belajar!