Terkait kepentingan nasional, selain aspek kesehatan generasi mendatang, Presiden Jokowi juga akan mempertimbangkan nasib dan kelangsungan hidup petani dan buruh tembakau sebelum Indonesia hendak meratifikasi atau harus menolak FCTC.
Sejak WHO menginisiasi lahirnya FCTC pada Februari 2005, justru muncul paradoks yang barangkali di luar dugaan para pegiat kesehatan masyarakat dunia sendiri. FCTC membawa implikasi terjadinya ekspansi korporasi-korporasi multinasional rokok asing ke banyak negara berkembang, baik melalui perluasan pasar, merger ataupun akuisisi.
Di Indonesia, tanpa terkecuali. Sekalipun Indonesia hingga kini tidak meratifikasi atau mengaksesi FCTC, tapi gencarnya perang anti tembakau dan kurang berpihaknya pemerintah pada sektor ini telah menyebabkan beberapa perusahaan papan atas justru nampak lebih memilih menjual mayoritas sahamnya ke pihak asing. Sebut saja misalnya HM Sampoerna dibeli oleh Philip Morris International (PMI) juga Bentoel yang dibeli oleh British American Tobacco (BAT).
Paradoks ini semakin kuat terasa ketika Amerika Serikat sebagai “ground zero” lokasi berkantornya WHO, saat ini nyatanya juga belum meratifikasi traktat FCTC. Negeri Paman Sam jelas sangat berkepentingan melindungi industri tembakau nasionalnya sebagai salah satu sektor ekonomi yang penting.
Sementara, di sisi lain FCTC yang dibidani oleh WHO terkesan menjadi lebih agresif sejak bergabungnya para filantropis Amerika yang terkenal dalam gerakan anti tembakau global ini. Sebut saja salah satunya ialah Bloomberg Initiative yang dikomandani Michael R. Bloomberg, yang mudah diduga baik secara kelembagaan maupun personal memiliki koneksitas dan jaringan dengan para pengusaha multinasional di sektor industri farmasi. Toh demikian pemerintah Amerika Serikat tetap saja bersikukuh tidak meratifikasi FCTC. Ya, tak salah sekiranya Wanda Hamilton menyebut fenomena traktat FCTC sebagai “Perang Nikotin,” perang memperebutkan pasar nikotin global yang dipelopori oleh perusahaan farmasi multinasional dengan maksud merebut pasar konvensional yang selama ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan rokok multinasional.
Apa yang penting kita catat di sini, bahwa FCTC adalah “rezim standarisasi” tatakelola industri olahan tembakau secara global, dengan cara mengatur kualitas suplai bahan, proses produksi dan distribusi produk olahan tembakau. FCTC bermaksud membangun standarisasi semua produk olahan tembakau di dunia, dan hal ini tentu menjadi persoalan besar bagi produk kretek Indonesia karena notabene memiliki bahan dan proses produksi yang berbeda dari rokok pada umumnya.
Selain itu, mudah diduga skema standarisasi FCTC tentu menuntut adanya teknologi tinggi yang sekiranya regulasi ini diimplementasi di negara berkembang, termasuk Indonesia, pasti tidak dapat dipenuhi oleh para stakeholder industri tembakau nasional. Rekayasa varitas tanaman tembakau dengan kualitas tar dan nikotin rendah jelas tak mudah dipenuhi oleh para petani tembakau. Selain, bahwa eksperimen di bidang rekayasa genetika tumbuhan sudah tentu sarat modal dan menuntut adanya teknologi tinggi, lebih dari itu jenis varitas tanaman tembakau lokal di Indonesia secara umum juga tercatat memiliki kadar tar dan nikotin tinggi.
Seperti kita ketahui dalam FCTC terdapat pasal krusial terkait dengan suplai bahan tembakau dan komposisi produk olahan tembakau. Artikel 17 FCTC, berisi pengendalian sisi suplai tembakau melalui kegiatan ekonomi alternatif, atau singkat kata “alih tanaman” di tingkat petani.
Selama ini tembakau merupakan komoditas perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian nasional. Bagi Indonesia, tembakau ialah komoditas ekspor tradisional yang telah diusahakan sejak 140 tahun lalu, dan hingga kini merupakan salah satu penghasil devisa non-migas.
Bahkan, suka atau tidak suka industri kretek dapat disebut sebagai model industri nasional satu-satunya di Indonesia. Dari hulu ke hilir terintegrasi secara penuh, baik itu aspek penyediaan input produksi, pengolahan hingga pendistribusiannya. Dari data ILO 2003, serapan tenaga kerja sektor ini mencapai bilangan 10 juta orang. Bahkan seandainya ditambah ‘multiplier effec’-nya pada sektor-sektor usaha yang tidak berhubungan langsung dengan industri ini, menurut Serad jumlahnya serapan total tenaga kerjanya bisa mencapai angka 30,5 juta. Ini tentu bukanlah angka kecil, karena kurang-lebih 25% dari total angkatan kerja nasional tahun 2009. Dari total jumlah tersebut, menurut Serad jumlah petani 1,25 juta orang bekerja di perkebunan tembakau dan 1,5 juta orang bekerja di perkebunan cengkih (Roem Topatimasang dkk: 2010).
Ditingkat hulu, bagaimana pun pilihan tanaman yang dipilih petani tentu didasarkan pada pemikiran dan kondisi yang sangat rasional. Berbagai jenis tanaman memiliki sifat lokal dan spesifik. Demikian juga tembakau memiliki sifat dan lokalisasi yang spesifik. Tanaman ini sangat sesuia ditanam di Madura, Bojonegoro, Besuki, Temanggung, Deli, Lombok dan lainnya. Pun, pada prinsipnya petani tidak akan memilih menanam komoditas tembakau apabila tanaman tersebut tidak memberikan nilai keuntungan. Adalah sangat naif apabila petani di daerah-daerah sentra tembakau diminta mengurangi atau bahkan beralih tanaman alternatif, terlebih tanpa disertai kepastian tentang adanya serapan pasarnya.
Kebijakan alih tanaman dalam klausul FCTC jelas akan semakin memperlemah daya saing industri tembakau nasional, baik pada tingkat domestik maupun global. Di tengah-tengah dominasi perusahaan–perusahaan rokok multinasional negara-negara maju, ini jelas akan memicu peningkatan impor tembakau dan produk tembakau.
Seperti kita ketahui, data impor tembakau dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) pada tahun 2011 mencapai 64,8 juta kilogram atau senilai US$ 376,3 juta. Jumlah ini terus meningkat tajam pada 2012 yang sebanyak 104,4 juta kg atau senilai US$ 503,2 juta; dan 2012 sebanyak 133,8 juta kg atau senilai US$ 665,5 juta. Penurunan impor baru terjadi pada 2013 yang menjadi 121,2 juta kg atau senilai US$ 627,3 juta. Namun jumlah itu pun masih terhitung besar. Sehingga posisi sekarang kurang-lebih dari 50% kebutuhan tembakau untuk kebutuhan produksi rokok itu berasal dari impor.
Besarnya tembakau impor yang masuk saat ini menuntut pemerintah segera mencari jalan keluar mengatasi persoalan tembakau impor dan bukan malah mengimplementasikan kebijakan alih tanaman sebagaima pernah dilakukan dulu di beberapa daerah sentra tembakau.
Artikel 9-10 FCTC mengatur keterbukaan kepada publik perihal kandungan atau komposisi produk tembakau. Seperti kita ketahui bersama, produk kretek selain mengandung cengkeh juga mengandung ramuan tradisional berupa rempah atau ekstraksi buah-buahan sebagai penambah rasa dan aroma (taste). Cengkeh dan bahan tambahan ini sudah sejak lama ada dan merupakan kekhasan sekaligus keunikan produk kretek. Dengan begitu ketentuan skema FCTC bukan saja berarti “memaksa” perusahaan-perusahaan nasional membeberkan resep dari masing-masing produk tembakau yang merupakan rahasia dagang masing-masing perusahaan, tapi lebih dari itu juga berpotensi menghilangkan keunikan kretek sebagai produk olahan tembakau khas Indonesia dengan menghilangkan unsur cengkeh dan bahan tambahan lainnya di luar unsur tembakau.
Dengan demikian traktat FCTC lebih merupakan ancaman terhadap kepentingan nasional, ketimbang solusi Indonesia. Terlebih belakangan semakin terbukti bahwa, ancaman gejala degenerasi tubuh karena semata-mata konsumsi tembakau sebenarnya adalah mitos belaka.
Untungnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) meskipun bukanlah perokok, tapi nampaknya beliau sadar bahwa mitos bukanlah fakta. Fakta sesungguhnya adalah adanya ancaman kemiskinan dan pemiskinan di Indonesia, yang justru semakin bertambah prosentasenya sekiranya industri sektor tembakau nasional digerus oleh ratifikasi/aksesi FCTC. Terkait kepentingan nasional, selain aspek kesehatan generasi mendatang, Presiden Jokowi juga akan mempertimbangkan nasib dan kelangsungan hidup petani dan buruh tembakau sebelum Indonesia hendak meratifikasi atau harus menolak FCTC.
Presiden Jokowi mengatakan, benar bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang belum atau tidak menandatangani aksesi FCTC. Dari data WHO sampai Juli 2013 sebanyak 180 negara telah meratifikasi dan mengaksesi FCTC mewakili 90 persen populasi dunia, kata Presiden. Tapi, tegas Presiden: “walaupun demikian, saya juga tidak ingin kita sekadar ikut-ikutan atau mengikuti tren atau banyak negara yang sudah ikut kemudian kita juga lantas ikut.”
Semoga saja, pertemuan rapat terbatas sore kemarin ini merupakan sinyal kesungguhan Presiden Jokowi untuk berpihak kepada kepentingan industri nasional, khususnya sektor tembakau. Solusi Indonesia adalah bukan meratifikasi atau mengaksesi FCTC, melainkan adanya kebijakan yang berpihak pada petani tembakau, khususnya terkait proteksi impor tembakau dan upaya peningkatan jumlah produksi dan mutu kualitas tembakau. Ini tentu sejalan dengan keinginan para petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, yaitu menolak importasi tembakau yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain menolak impor tembakau, APPTI juga meminta pada Presiden Jokowi sekali-kali tidak meratifikasi atau mengaksesi FCTC.
Yuk, wait and see. Kita tunggu sejauh mana keperpihakan Presiden Jokowi.