Proses sosial politik yang begitu dinamik ini langsung atau tidak tentu tak terlepas dari keberadaan basis industrial batik di Pekalongan, yang secara iklim sosiologis membuat orang menjadi lebih rasional dalam melihat dan memaknai dunianya. Walhasil, tak aneh analisis Marxisme dan identitas Islam dapat dengan mudah bersenyawa membangun kerangka gerakan politik yang berujung pada momen revolusi dalam revolusi pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu.
[dropcap]P[/dropcap]ekalongan adalah kota batik. Jika kita beranjangsana ke sana lazimnya kita hanya mengenal pasar grosir Sentono, sebuah pasar batik dengan lapak lebih dari 600-an kios. Ya, umumnya kita memang hanya tahu itu. Kita sering luput mengunjungi tiga kampung batik yang juga menjadi sentra industri batik sekaligus ikon destinasi wisata di kota pesisir utara itu.
Setidaknya terdapat tiga kampung batik yang sudah mahsyur namanya: Kliwon, Pesindon dan Kemplong. Lokasi kampung batik Kauman dan Pesindon tidak berjauhan. Secara geografis kedua kampung batik ini sangatlah strategis karena berada dipusat kota Pekalongan yang mudah diakses dari berbagai penjuru. Sementara Kemplong terpaut agak jauh, kampung batik ini sudah berada di kabupaten Pekalongan, tepatnya berlokasi di kecamatan Wiradesa.
Batik Pekalongan yang notabene motif pesisiran sudah tentu berbeda dengan batik Jogjakarta dan Solo yang motif pedalaman. Apa yang menjadi karakter batik Pekalongan ialah, kombinasi warnanya cenderung atraktif dibandingkan komposisi warna batik dari dua daerah Vorstenlanden tersebut. Warna-warna cerah biasanya cenderung mendominasi batik Pekalongan, seperti merah, biru, hijau, ungu dan oranye. Juga pada motif batik Pekalongan terlihat lebih realis dan terkesan kontemporer ketimbang motif batik Jogjakarta dan Solo yang dianggap banyak orang cenderung mempertahankan corak klasiknya.
Seperti kota Jogjakarta dan Solo, Denys Lombard mencatat, bahwa industri batik di Pekalongan sudah tumbuh sejak abad ke 19. Menurutnya tak jauh beda dari industri kretek, industri batik juga merupakan perusahaan-perusahaan pertama di Indonesia, yang muncul dan tumbuh dari usaha keluarga yang sama sekali tidak mengandalkan bantuan modal dari perbankan.
Artinya sekiranya kita bicara kemunculan “indigenous industries” di Indonesia, ya batik dan kretek-lah prototipe awalnya. Sayangnya kini hampir sepenuhnya bahan baku batik justru diimpor. Menurut Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kota Pekalongan, Supriyono mengatakan bahwa hampir 98 persen bahan baku batik seperti mori dan lilin didatangkan dari luar negeri.
Sementara, bicara aspek historiografi khususnya dalam arti sejarah asal usulnya, sekali lagi batik mirip dengan produk kretek, sesungguhnya asal usulnya tak sepenuhnya jelas. Bahkan, masih mengutip Denys Lombard, sejarahnya hampir tidak diketahui, sekalipun ia sendiri nampaknya memilih mengikuti sejarawan Belanda, JLA Brandes, yang menduga seni tradisi ini asli berasal dari Indonesia atau Jawa. Namun demikian menurut Rouffaer, sangat mungkin teknik membatik ini diperkenalkan oleh bangsa India atau juga bisa jadi malah dibawa masuk oleh bangsa China.
Bicara sebutan tertua tentang batik ditemukan di Cirebon, berangka tahun 1518. Meski kata batik sendiri belum tersebut, yang ada adalah kata ‘tulis’ yang umum digunakan untuk menyebut pembubuhan malam ke atas kain. Sementara dalam tulisan orang Eropa tercatat pada 1622, yakni saat duta Belanda (VOC) beranjangsana ke kraton Mataram ia memerikan pakaian raja paling agung dinasti Mataram itu yakni Sultan Agung, sebagai “dilukis biru putih menurut cara negerinya” yang tentu dimaksud adalah produk batik itu. Demikian catatan Denys Lombard.
Tapi, Pekalongan bukan hanya batik. Sisi menarik lain ialah mengenang zaman pergerakan kebangsaan dan momentum revolusi kemerdekaan. Orang mengenang peristiwa itu dengan istilah yang keren dan jelas terminologi Kiri: “Revolusi Tiga Daerah.” Kenangan akan peristiwa itu terdokumentasikan dalam buku sejarah tulisan Anton E Lucas, seorang sejarawan dari Australia. Yang menjadi objek penelitian Lucas di karesidenan Pekalongan ini adalah Brebes, Tegal dan Pemalang dalam kurun waktu yang sangat pendek, yaitu antara bulan Oktober sampai Desember 1945. Ya, status Pekalongan dulu adalah kota karesidenan, status ini diakhiri memasuki zaman Republik pada 1950.
Dalam studi ini Anton Lucas menggunakan metode tafsir verstehen-nya Max Weber. Dia menggunakan kombinasi sumber tertulis dan sumber lisan. Khusus untuk sumber lisan, Anton Lucas telah menempuh prosedur sejarah lisan secara mengagumkan. Jumlah informannya sangat besar yaitu 324 orang, berasal dari berbagai kelompok dan lapis sosial, baik mereka yang terlibat dan mengalami langsung maupun mereka yang sekadar mengetahui jalannya peristiwa itu.
Gerakan yang oleh Anton Lucas disebut “revolusi dalam revolusi” itu dikenal dengan nama “Aksi Pendaulatan,” yakni gerakan massa rakyat yang memberhentikan secara paksa seluruh jajaran pejabat birokrasi atau pemerintah setempat, seperti para lurah, camat, wedana, bupati, atau para pejabat pemerintah lainnya. Apa pasalnya? Menurut laporan JW Meijer Ranneft dalam Faderzolk der Belestingdruk of de Inlandische Bevolking (1926), penghasilan pokok 40% dari kepala desa di Karesidenan Pekalongan kurang lebih sekitar 600 – 1200 Gulden setiap tahunnya. Sementara pendapatan penduduk rata-rata perkapita hanya 25,79 Gulden setiap tahun. Jomplangnya pendapatan antara pangreh praja pada tingkat terbawah itu mengakibatkan kepala desa menjadi tersisih atau bahkan terpisah dari massa-rakyatnya.
Sudah tentu jalannya revolusi sosial di Karesidenan Pekalongan itu berlangsung keras. Para pangreh praja yang didakwa sebagai koruptor ini gantian dipaksa memakai baju karung goni, lehernya dikalungi gabah, diarak beramai-ramai menuju alun-alun kota sambil massa-rakyat menabuhi alat-alat rumah tangga atau apapun yang bisa ditabuh menjadi musik pengiringnya. Di-“dombreng” istilah mereka waktu itu. Maka segera setelah segala kesalahan masalalunya ditunjukkan, lantas si pejabat lama itu diberhentikan dan penggantinya segera ditunjuk. Pemerintahan baru setempat pun dibentuk, orang-orang dari berbagai kelompok politik Islam, Sosialis dan Komunis mengisi jabatan baru itu. Jelas tentu juga ada aksi perampokan, pembunuhan dan membakar rumah-rumah pejabat-pejabat lokal yang selama ini dianggap telah bekerjasama dengan kolonial baik Belanda maupun Jepang.
Walhasil, pemerintah pusat segera turun tangan dan menghentikan revolusi dalam revolusi itu. Tentara Indonesia yang waktu itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) daerah plus dibantu laskar Hizbullah/Sabilillah segera didatangkan ke Karesidenan Pekalongan untuk mengakhiri revolusi sosial dan mengakhiri kekuasaan revolusioner yang hanya berjalan tiga bulan saja. Amir Sjarifuddin, penganut Marxisme terkemuka yang belakangan mendaku diri anggota PKI itu, bahkan turut mengutuk kerusuhan dan keonaran sebagai dampak dari revolusi sosial di karesidenan Pekalongan sebagai “infantile disease of leftisme” (penyakit kekanak-kanakan paham Kiri).
Ya, sebenarnya mudah diduga bahwa, selain karena realitas kemiskinan dan penindasan di akar rumput, juga bisa dipastikan sejarah gerakan Kiri di Karesidenan Pekalongan sudah memiliki akar kuat sejak lama. Ya, seperti kita tahu organisasi SDI (Sarekat Dagang Islam) yang kemudian salin nama menjadi SI (Sarekat Islam) berkembang kuat di Pekalongan. Tak kecuali berbagai manifestasi gerakan Kiri, dari SI Merah, PKI, Pesindo dan masih banyak lagi lainnya juga nampak mekar di sana. Menariknya, dalam derajat tertentu gerakan Kiri di Pekalongan sanggup membangun sinergi dengan gerakan kaum keagamaan atau sebaliknya.
Proses sosial politik yang begitu dinamik ini langsung atau tidak tentu tak terlepas dari keberadaan basis industrial batik di Pekalongan, yang secara iklim sosiologis membuat orang menjadi lebih rasional dalam melihat dan memaknai dunianya. Walhasil, tak aneh analisis Marxisme dan identitas Islam dapat dengan mudah bersenyawa membangun kerangka gerakan politik yang berujung pada momen revolusi dalam revolusi pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu.
Kembali ke kampung batik Pesindon. Khusus untuk kampung batik Pesindon, sentra industri ini pernah dikunjungi oleh Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono beserta rombongan. Selain itu, kampung Pesindon juga telah ditetapkan menjadi Wisata Desa Nasional oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif beberapa tahun lalu juga masih pada zaman Presiden Keenam tersebut.
Pada titik ini bukan tidak mungkin nama Pesindon itu merujuk pada jaringan organisasi Pesindo di bawah kepemimpinan Amir Sjariffudin yang dibentuk pada masa awal kependudukan Jepang. Saya mendengar narasi ini dari sumber lisan. Hipotesanya didasarkan pada asumsi etimologis, Pesindon yang berasal dari kata Pesindo plus akhiran “n” yang dalam bahasa Jawa berubah semantik merujuk pada penamaan identitas masyarakat setempat sesuai dengan kecenderungannya, seperti istilah Kauman yang berasal dari kata Kaum plus “an” sebagai penamaan lokasi yang penduduknya tak sedikit berprofesi sebagai Pak Kaum (agamawan).
Ya, melihat latarbelakang sejarah gerakan Kiri di Pekalongan, bukan tak mungkin istilah Pesindon itu dulunya merujuk pada masyarakat di sana yang secara politik menjadi basis gerakan organisasi Kiri, yang pada zaman pendudukan Jepang Pesindo adalah bentuk organisasi yang terpopuler. Bagaimana fakta sejarahnya? Ya, tentu dibutuhkan riset sejarah tersendiri untuk membuktikan hipotesa tersebut. Tentu kombinasi sumber tulisan dan sumber lisan dapat menjadi kata kunci penelitian sejarah di sana, di mana Anton Lucas sudah mempelopori model riset sejarah semacam itu.