Setelah bernegoisiasi dengan pihak otoritas di Mekkah, keinginan “berumah masa depan” di Mekah gagal terpenuhi. Keinginan Sultan Agung ditolak oleh penguasa di negeri gurun itu.
[dropcap]K[/dropcap]onon, raja paling agung dari wangsa Mataram-Islam, Sultan Agung, saking taatnya memeluk Islam maka saban minggu ia masih selalu menyempatkan diri berkunjung ke kota suci. Mekah. Ya, tiap jumat cucu Panembahan Senapati ini selalu mengkhususkan diri untuk sembahyang dua rakaat di depan Ka’bah. Sembahyang jemuahan.
Pada zaman revolusi transportasi seperti sekarang, jelas sembahyang jemuahan di Mekkah setiap minggu bukanlah hal mustahil. Sangat mungkin, asal ada uangnya apa sih yang enggak mungkin. Tapi, pada zaman dulu konon hanya pada orang-orang sakti dan keramat sajalah kemampuan teleportasi itu dimiliki, ilmu melintasi bentangan jarak ribuan atau bahkan ratusan ribu kilo jauhnya dalam sekejab mata. Konon, itulah salah satu kesaktian Sultan Agung.
Selain sembahyang jemuahan, sebagai raja tentu juga senang beranjangsana-sini. Hingga suatu saat di Mekah ia menemukan suatu lokasi yang tanahnya mengeluarkan wewangian, yang barangkali saja setiap ia berkhalwat di sana sekaligus merasakan sensasi kekhusukan mendalam. Atau barangkali juga saking cintanya Sultan Agung pada kota kelahiran sekaligus makam Nabi Muhammad itu, maka ia pun berharap ketika meninggal nanti jasadnya dapat dikubur di tanah suci, khususnya di lokasi yang tanahnya tercium harum semerbak tersebut.
Tapi sayang seribu sayang, tak semua titah raja serta merta jadi sabda panditha ratu. Setelah bernegoisiasi dengan pihak otoritas di Mekkah, keinginan “berumah masa depan” di Mekah gagal terpenuhi. Keinginan Sultan Agung ditolak oleh penguasa di negeri gurun itu. Menurut sumber cerita tutur yang ditemui di desa-desa sekitar makam raja-raja, nama penguasa itu ialah Syeh Safingi. Maka marah besarlah Sultan Agung. Atas bantuan tokoh gaib yang konon istri gaibnya yaitu Ratu Kidul, segera dikirimlah tuah pagebluk ke tanah suci. Akibatnya kota itu pun segera dilanda wabah mematikan. Masyarakat banyak yang mati. Pagi sakit, sore mati. Sore sakit, pagi mati.
Pada momen kritis itu datanglah Sunan Kalijaga membawa solusi. Untuk mengatasi pagebluk dipasanglah umbul-umbul warna hijau di sepanjang jalan kota itu. Konon, bendera Arab Saudi yang berwarna hijau tak terlepas dari sejarah itu. Sementara, menjawab keinginan Sultan Agung, Sunan Kalijaga mengambil segumpal tanah harum itu dan dileparkannya ke arah selatan, ke arah Pulau Jawa, sembari berkata bahwa lokasi jatuhnya segumpal tanah itu adalah tempat di mana nantinya Sultan Agung beserta sanak keluarganya akan dimakamkan.
Melenting tinggi dan jauh melewati lautan dan daratan dengan menempuh jarak 8 juta kilo lebih, segumpal tanah harum itu akhirnya jatuh di daerah Imogiri, lebih tapatnya di Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul dan terletak 17 km dari kota pusat kota Yogyakarta ke arah selatan. Tepatnya, jatuh pada sebuah pegunungan kecil bernama Gunung Merak, yang kini kita dapati menjadi kompleks pemakaman raja-raja wangsa Mataram beserta sanak keluarganya. Pada lokasi tertinggi gunung itu bersinggasana makam Sultan Agung.
Ya, demikianlah cerita tutur yang kita temui hidup di kampung-kampung sekitar makam raja-raja di Imogiri. Mungkin ada beberapa versi. Tapi, secara umum struktur narasinya satu sama lain cenderung memiliki kemiripan dan tidak berbeda signifikankan.
Catatan Sejarah Arus Utama
Apa yang menarik disimak ialah bagaimana kuatnya aspek anakronistik dalam tuturan cerita sejarah itu. Ya, Syeh Safingi yang disebutkan dalam folklore sebagai penguasa Mekah itu merujuk pada sosok Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi al-Qurasyi atau yang populer disebut Imam Syafi’i (150 H/767 M – 204 H/819 M). Dia seorang mufti besar Sunni Islam sekaligus juga pendiri mazhab Syafi’i. Menilik bentang waktu historis Imam Syafi’i hidup antara pertengahan abad ke-8 hingga awal abad ke-9, jelas sangat mustahil Sultan Agung yang lahir di akhir abad ke-16 dan meninggal memasuki pertengahan abad ke-17, pernah bertemu dengan sosoknya.
Tak kecuali keberadaan Sunan Kalijaga. Wali kharismatis dari Kadilangu ini, oleh banyak sejarawan ditaksir hidup membantang pada kisaran abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Banyak kisah menceritakan sosok yang berjasa menetapkan arah kiblat Masjid Agung Demak itu, konon juga Guru Mursid dari Panembahan Senapati, Kakek Sultan Agung itu, ketika umurnya masih belia. Pada konteks Panembahan Senapati saja fakta historisnya bisa kita curigai kebenarannya, lebih-lebih bagaimana mungkin Sunan Kalijaga bisa turut hadir dalam babak kisah sejarah cucunya, Sultan Agung.
Seperti diketahui, keberadaan Sunan Kalijaga diceritakan hidup pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Banyak narasi babad menceritakan tentang keterlibatannya pada masa ontran-ontran transisi kekuasaan, dari Kerajaan Majapahit yang Hindu ke Kerajanan Demak yang Islam, di mana Raden Patah adalah raja pertamanya. Sementara, dari periode Raden Patah ke Panembahan Senapati dan berdirinya Mataram-Islam itu, setidaknya terpaut tiga atau empat generasi.
Melihat alur waktu ini, mudah diduga masa hidup Sultan Agung jelas bukan berada pada zaman dan masa hidup Sunan Kalijaga. Lantas, pertanyaannya apakah maksud penyusunan sejarah secara anakronistik ini? Jelas, bahwa kebenaran faktual sejarah nampaknya bukanlah tujuan dari penulisan babad maupun tuturan folklore itu sendiri. Sejarah yang anakronistik jelas bukanlah sejarah. Jika demikian, lalu apa? Apakah hal ini sekadar narasi sejarah yang bermaksud memberi legitimasi kekuasaan Sultan Agung yang pada zamannya dimulai proses penulisan babad itu, ataukah sebenarnya juga memiliki makna diskursif yang lain?
Sejarawan Belanda, H. J. De Graaf dalam penelitiannya mengemukakan beberapa hal yang menarik disimak. Menurut De Graaf (1986), gelar Sultan bukanlah gelar yang sejak awal digunakan oleh cucu Panembahan Senapati itu. Awalnya ia menggunakan gelar Sunan atau Susuhunan. Menurut Anthony Reid (1999), pun gelar ini dikenakan sejak 1624 setelah ia berhasil menaklukan Jawa lebih luas dari penguasa manapun sejak surutnya Majapahit. Gelar ini sekaligus juga menandaskan bahwa secara spiritual ia berdiri sejajar dengan para Wali.
Namun semenjak Raja Banten beroleh gelar Sultan dari otoritas Mekah pada 1638, sejak itu segala daya dan upaya dilakukan oleh Mas Rangsang, nama ketika ia masih belum menjadi Ratu, untuk memperoleh atribut gelar Sultan tersebut. Dalam catatan De Graaf, disebutkan Raja Mataram itu meminta bantuan kapal Inggris untuk bisa membawa utusannya meminta gelar Sultan ke Arab. Walhasil, pada 1641 kepada Sunan dipersembahkan sebuah gelar Sultan dari Arab. Merujuk dokumen Belanda, nama gelar itu lengkapnya ialah: Sultan Abdul Mahomet Moulana Matavani. Yang dalam dugaan De Graaf ialah: Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani. Dalam Daghregister 1 Juli 1641 ia disebut dengan nama “Sultan Mataram.”
Apa yang menarik dalam catatan De Graaf, dikatakan bahwa Sultan Agung pernah bermaksud menunaikan ibadah haji tapi karena ia tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berangkat sendiri, maka ia mengirim 18 orang Jawa sebagai pengganti proses ziarahnya ke Mekah itu. Namun perjalanan ritual haji bagi Sultan Agung ini mengalami kegagalan. Bukan karena ditolak oleh otoritas penguasa Mekah sebagaimana cerita tutur setempat, melainkan seturut catatan De Graaf justru karena kapal Inggris itu diserang oleh orang Belanda. Kapal Inggris, Reformation, dicegat oleh orang Belanda di sebelah barat Pulau Onrust pada 11 Juli 1642. 15 dari 18 orang Jawa yang sedianya hendak mewakili Sultan Agung menunaikan ibadah haji, mati terbunuh.
Artinya sekiranya kita mengikuti catatan sejarah De Graaf, Sultan Agung sendiri selama hayatnya sebenarnya belum pernah ke Mekah, dan sama sekali tidak memiliki konflik dengan pihak otoritas di Mekah sana. Pertanyaannya ialah, mengapa sejarah tutur justru menceritakan sebaliknya? Susah dijawab secara pasti. Tapi, sekiranya kita menyimak warna Islam-Jawa adalah Islam pinggiran yang notabene berbeda dari Islam di Timur Tengah, maka bukan tak mungkin hal itu terkait adanya tafsiran lokal Jawa terhadap ajaran Islam.
Mari kita simak ritual kubur orang Jawa, khususnya pada kasus makam Imogiri. Ada hal unik dan menarik yang cukup penting dicatat. Banyak di antara orang Jawa yang dalam melakukan ritual, selain timpuh sembari dzikir juga tak sedikit di antara mereka yang berjalan mengitari tembok makam searah dengan arah jarum jam. Lazimnya jumlah putaran yang mereka lakukan selalu hitungan ganjil. Bisa tiga, tujuh, sembilan, sebelas atau bahkan sepuas hatinya (manteb), asalkan jatuh pada angka ganjil.
Selidik punya selidik, bagi orang Islam-Jawa yang sosiokulturalnya cenderung berwarna pedesaan ketimbang perkotaan, ternyata mereka punya anggapan bahwa melakukan ritual kubur dan mengelilingi makam raja-raja di Imogiri nilai atau maknanya tidak berbeda dengan orang pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Sudah tentu anggapan umum orang Islam-Jawa ini tak terlepas atau bisa dipisahkan dari cerita tutur atau folklore tentang sejarah pembangunan makam Imogiri itu. Sehingga dari cerita tutur atau folklore itu juga bisa dilihat adanya tarik-menarik pemaknaan antara tafsir yang-lokal dan yang-global, di mana pada masa Sultan Agung budaya Islam adalah salah satu entitas yang-global atau dominan.
Anthony Reid dalam bukunya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 – 1680 pada bab tiga mengulas perihal konversi keagamaan di Asia Tenggara. Dia memberi judul untuk bab itu “Revolusi Agama.” Apa yang menarik ia mendudukan Jawa sebagai kasus khusus. Kekuatan Kejawen yang menurutnya bersifat langgeng menyebabkan banyak daerah yang berbahasa Jawa tampak unik di antara budaya-budaya Islam lainnya. Dalam konteks pembentukan Islam-Jawa, sebutlah demikian, Reid mencatat bahwa Sultan Agung berhasil membangun sintesis kebudayaan antara nalar Jawa dan Islam, hal yang tidak berhasil dilakukan oleh Sultan Akbar di India.