rokok
PERTANIAN

Anti Rokok dan Kedudukannya dalam Penentuan Tarif Cukai

cukai-003-feat

Ketentuan tersebut jelas mengartikan bahwa dalam rangka menaikan tarif cukai, ada parameter yang harus menjadi perhatian pemerintah, yaitu: 1). kondisi industri. 2). aspirasi pelaku usaha industri. Tolok ukur tersebut jelas tidak boleh dilanggar oleh Pemerintah, dan harus menjadi perhatian Pemerintah. Saya meyakini bahwa sejak UU Cukai ini berlaku, ketentuan ini tidak pernah dilanggar oleh Pemerintah.

Mengkaji lebih lanjut ketentuan tersebut, dalam penjelasan Pasal 5 (4) UU Cukai disebutkan: “Persetujuan DPR RI pada ayat ini antara lain sebagai upaya perlindungan dan keberpihakan terhadap industri hasil tembakau yang padat karya terutama yang proses produksinya menggunakan cara lain daripada mesin”.

Di sini menarik untuk mencermati penejelasan Pasal 5 ayat (4) UU Cukai tersebut. Walau hampir semua kalangan akademisi baik hukum maupun ekonomi bahkan kesehatan, meyakini bahwa cukai adalah sebagai instrumen pengendali konsumsi terhadap barang-barang yang dianggap berbahaya konsumsinya bagi kesehatan, akan tetapi UU Cukai juga meberikan perlindungan dan jaminan akan keberlangsungan industri hasil tembakau yang padat karya. UU Cukai tidak semata-mata memberikan jaminan terhadap hak kesehatan sebagai akibat dari konsumsi barang yang berbahaya. Oleh karenanya, sangat relevan jika ketentuan dalam UU Cukai mengatur bahwa kenaikan tarif cukai hanya boleh paling tinggi 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran. Dengan demikian kenaikan cukai diatas ketentuan tersebut jelas tidak bermaksud mematikan industri tembakau yang padat karya, dan sekiranya ketentuan itu dilanggar maka bisa dipastikan efek domino yang dasyat akan menimpa perekonomian bangsa ini.

Kedudukan Hasil Survei dalam Keputusan Tarif Cukai

Sebagaiamana dikemukakan Prof. Hasbullah Thabrany dalam acara ILC, bahwa survei tersebut adalah agar terjadi kenaikan tarif cukai, sehingga harga rokok dapat naik menjadi kurang lebih Rp. 50.000 per bungkus. Tujuannya, seperti yang sudah Prof. Hasbullah Thabrany sampaikan sendiri baik dalam acara ILC maupun dalam publikasi hasil survei dan pemberitaan media, tentu dimaksudkan untuk memberi masukan kepada pemerintah dalam rangka mengkaji dan menerapkan kenaikan tarif cukai.

Pada titik inilah saya tertarik membahasnya. Dalam menentukan cukai pemerintah harus menggunakan parameter sesuai ketentuan UU, yaitu 1). kondisi industri. 2). aspirasi pelaku usaha industri. Ketentuan tersebut membatasi subyek yang bisa memberikan masukan kepada Pemerintah dalam rangka mengkaji kenaikan tarif cukai. Siapa subyek tersebut? Pelaku industri atau biasa disebut dengan stake holder industri tembakau. Siapa sajakah mereka, Pabrik rokok, petani tembakau dan perokok. Pertanyaan yang menarik, di manakah letak kedudukan hukum (legal standing) Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia berkaitan dengan kebijakan kenaikan tarif cukai?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya akan mengkaji dari regulasi yang paling mendasar, yaitu konstitusi. Kenapa konstitusi? Ya, jelas karena konstitusi adalah Hukum Dasar (staat fundamentally norm) yang memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Utamanya, adalah Hak Berpendapat (freedom of speech).

Dalam Konstitusi Indonesia (UUD 1945 amandemen), ada 3 (tiga) Pasal yang mengatur akan jaminan atas Hak Berpendapat (freedom of speech) adalah Pasal 28, Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (1). Ketentuan tersebut bermakna bahwa Kebebasan Berpendapat (freedom of speech), adalah hak asasi yang paling mendasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Tidak boleh ada pembatasan terhadap Kebebasan Berpendapat (freedom of speech) baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Akan tetapi, menariknya dalam Konstitusi Indonesia, diatur juga kewajiban saling menghormati dalam menjalankan hak asasi manusia, di mana agar dapat saling hormat menghormati dalam rangka menjalankan hak asasi, maka perlu dilakukan pembatasan terhadap hak asasi tersebut melalui undang-undang.

Berdasarkan ketentuan konstitusi tersebut, maka jelas bahwa sekalipun Hak Asasi Manusia mendapakan jaminan dan perlindungan dari Konstitusi, senafas dengan hal tersebut Hak Asasi Manusia juga mendapat pembatasan dalam implementasinya diatur dengan berdasarkan Undang-undang. Ini berarti, bahwa Kebebasan Berpendapat (freedom of speech) sebagai Hak Asasi yang telah dijamin dalam konstitusi, juga harus mendapatkan pembatasan dalam implementasinya. Kebebasan itu bukan bermakna bebas yang sebebas-bebasnya. Sebagai Negara Hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945), maka sudah selayakanya Kebebasan Berpendapat (freedom of speech) dilakukan dengan mendasarkan pada undang-undang.

Kembali kepada kedudukan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia, berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) dalam menyampaikan pendapat terhadap kenaikan tarif cukai rokok, jelas lembaga survey itu tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Pembatasan atas kelompok anti rokok terhadap hak untuk menyampaikan pendapat berkaitan dengan dengan kenaikan tarif cukai, telah dibatasi oleh UU Cukai. Hanya para stakeholder Pertembakauan lah yang memiliki legal standing untuk memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka mengkaji tarif cukai rokok.

Pendapat saya tersebut jelas akan menimbulkan pertanyaan, lantas apakah kelompok anti rokok dengan begitu tidak boleh berpendapat mengenai kenaikan tarif cukai rokok? Dalam tulisan ini, saya tidak mengatakan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU Cukai tersebut lantas membatasi anti rokok untuk berpendapat. Silakan saja melakukan penelitian terhadap tarif cukai rokok. Akan tetapi, yang patut dicatat bahwa Pemerintah hanya boleh memperhatikan dua hal dalam mengkaji tarif cukai rokok, yaitu kondisi industri dan aspirasi dari stake holder pertembakauan.

Dengan demikian hasil survey Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia (PKEKK-FKM UI) pimpinan Prof. Hasbullah Thabrany, berkaitan dengah harga rokok Rp. 50.000 hanya merupakan wacana dalam jurnal ilmiah saja, tidak boleh dijadikan rujukan bagi Pemerintah untuk mengkaji kenaikan tarif cukai rokok. Dan bahkan, jika nantinya Pemerintah akan mengundang representasi masyarakat untuk meminta aspirasi (masukan) dalam rangka mengkaji kenaikan tarif cukai rokok, yang boleh diundang terbatas dan sebatas pada industri rokok dan stakeholder pertembakauan. Bagiamana dengan anti rokok? Silakan menonton tv atau berdemo.

Ilustrasi foto oleh: Eko Susanto

Tinggalkan Balasan