Sebetulnya yang menjadi pokok persoalan bukan pada rokok atau narkobanya. Tapi kampanye dengan data asal comot yang belum terbukti kebenarannya dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi publik.
[dropcap]K[/dropcap]enaikan harga rokok meskipun sudah tidak menjadi isu pokok di jagat maya dan dunia nyata namum nyatanya masih menyisakan perdebatan. Kelompok anti rokok masih mendorong terus kenaikan harga sebagai salah satu prasyarat yang dipenuhi untuk menyehatkan generasi bangsa ini. Setelah rokok 50 ribu dikandaskan oleh bantahan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai, pihak anti rokok mulai melansir lagi isu rokok sebagai pintu gerbang narkoba.
Ya, pada berita yang dilansir oleh sebuah media daring tema rokok sebagai pintu gerbang narkoba menjadi sub-judul dari tulisan bertopik pro dan kontra tembakau. Kalau kita mau menelisik lebih jauh lagi sebetulnya ada beberapa tema yang diangkat sebagai materi kampanye dalam gerakan anti rokok di Indonesia. Salah satu yang rutin hampir setiap tahun, isu yang dimunculkan adalah perihal kandungan darah babi pada filter rokok. Meskipun isu tersebut hanya diperoleh dari ilmu othak-athik mathuk, namun tetap saja isu itu didengungkan terus dan terus. Jelas di negara yang mayoritas penduduknya muslim, isu darah babi pada filter rokok akan efektif untuk menimbulkan keraguan di kalangan perokoknya. Bagaimanapun, kategori haram atau halal suatu barang masih efektif mempengaruhi perilaku konsumsi di negeri ini. Wajar saja sekiranya dulu Muhammadiyah melalui lembaga Majelis Tarjih dan Tajdid pernah juga diorder oleh Bloomberg Initiative menyatakan bahwa rokok itu haram, sekalipun dalil pada waktu itu bukanlah isu darah babi pada filter melainkan lebih pada dalih sebagai perilaku merusak kesehatan dan bunuh diri perlahan.
Isu yang tak kalah menariknya dan selalu didengungkan oleh kelompok anti rokok adalah rokok sebagai pintu gerbang narkoba. Dr. Hakim Sorimuda Pohan, anggota Komisi Nasional Penanggulangan Tembakau sebagai narasumber dari berita tersebut. Guna membuktikan keabsahan teorinya, Hakim Sorimuda Pohan mengutip hasil survei reaksi perokok dan non-perokok terhadap suntikan zat narkoba. Dari survei yang entah dilakukan oleh siapa dan berlokasi di mana tersebut, tokoh pegiat anti-rokok garda depan itu menyimpulkan bahwa tubuh perokok ternyata lebih akomodatif terhadap narkoba. Dari kesimpulan yang dibuatnya sendiri, kemudian ditarik kesimpulan lebih jauh lagi, bahwa 60 juta perokok adalah orang yang siap menyantap narkoba seberapapun besarnya zat terlarang itu dipasarkan ke Indonesia. Entah apa yang mendasari kesimpulan ngawur tersebut.
Ya, kesimpulan Hakim Sorimuda Pohan dapat dikatakan ngawur karena sudah dibantah langsung oleh Kabag Humas BNN, Kombes (Pol) Slamet Pribadi. Beliau menyatakan “Kalau perokok jadi pintu masuk untuk narkoba iya. Tapi itu tidak absolut.”
Karena menjadi sebab yang tidak absolut berarti kesimpulan Hakim Sorimuda Pohan masih sangat relatif. Penulis mencoba untuk menggali lebih jauh lagi, bagaimana keterkaitan rokok sebagai pintu gerbang narkoba. Kali ini untuk meyakinkan diri sendiri bahwa pernyataan Hakim Sorimuda Pohan adalah kesimpulan yang terlalu awal dan ngawur sekadar bermaksud menyudutkan perokok, di sini penulis mencoba membandingkan angka prevalensi konsumsi rokok dan konsumsi narkoba.
Menurut laporan UNODC (United Nations Office of Drugs and Criminals) angka prevalensi konsumsi narkoba jenis kokain, Skotlandia (2,4%) menempati urutan pertama, kemudian disusul oleh Amerika Serikat (2,3%), Spanyol (2,3%), Australia (2,1%), dan Inggris Raya (1,9%). Sedangkan narkoba jenis opium, yang 93% stok dunia disuplai dari Afganistan justru prevalensi pengguna tertingginya adalah Afganistan (2,65%), disusul Rusia (1,64%), Ukraina (1,16%), Iran (1,13), dan Makau (1,1%). Dari prevalensi pengguna narkotika jenis opium dan kokain saja jelas tidak berbanding lurus dengan prevalensi perokok. Dan menariknya, meskipun ini baru pengamatan sepintas, ada kecenderungan negara-negara yang semakin ketat memberlakukan pelarangan rokok maka prevalensi tingkat konsumsi narkoba menjadi semakin tinggi. Australia, misalnya, di mana rokok dijual per bungkus mencapai 240 ribu rupiah ternyata prevalensi pengguna kokain adalah urutan ke-4 di dunia. Dari data tersebut sudah jelas tidak ada kaitan sama sekali antara konsumsi rokok dengan konsumsi narkoba.
Namun apa yang dikemukakan Hakim Sorimuda Pohan mungkin ada benarnya. Hukum formal di Indonesia pada kenyataannya telah mencampuradukkan antara narkoba dengan rokok dalam satu pengertian frasa yang sama yaitu, “zat adiktif.” Melalui celah UU Narkoba dan UU Kesehatan inilah kampanye dengan tema rokok adalah pintu gerbang narkoba dilakukan. Meskipun asumsi itu nyata-nyata telah dibantah oleh banyak kalangan, termasuk akademisi dan pegiat gerakan anti-narkoba.
Sebetulnya yang menjadi pokok persoalan bukan pada rokok atau narkobanya. Tapi kampanye dengan data asal comot yang belum terbukti kebenarannya dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi publik. Jika kesalahpahaman itu hanya berhenti pada persepsi publik saja barangkali bukan jadi soal. Meskipun ini sudah membodohi publik. Tapi jika kesalahpahaman ini kemudian menimbulkan reaksi yang berujung konflik horizontal di masyarakat, lantas siapa yang harus bertanggung jawab?
Sebagai penutup penulis perlu menenkankan bahwa ini bukan semata asal membantah usaha kampanye rokok untuk menyehatkan masyarakat. Namun, ada hal yang lebih substansial dari sekedar menakuti masyarakat dengan opini bahaya rokok yang tidak terlalu jelas sumber ilmiahnya. Masyarakat yang sehat tentu tidak bisa lahir dari kebohongan-kebohongan yang disampaikan berulang-ulang dan dipaksakan menjadi kebenaran.