logo boleh merokok putih 2

Rokok Sudah Mahal, Nggak Usah Dinaikkan!

Jika menilik pendapatan negara dari sektor cukai yang didominasi dari pendapatan cukai rokok, maka pertanyaanya ialah apakah masih relevan menaikkan harga rokok dengan menaikkan cukainya?

Perbandingan besaran pajak-02

[dropcap]B[/dropcap]elum lama terbetik kembali wacana agar pemerintah menaikkan harga rokok menjadi 50 ribu rupiah. Wacana ini didorong oleh Kepala Pusat Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany. Ya, memang selama ini Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia adalah salah satu garda depan kampanye anti rokok di Indonesia. Sejak dulu mereka aktif menyuarakan diperketatnya peraturan pengendalian tembakau di Indonesia. Mereka memproduksi wacana menyesatkan tentang keburukan tembakau dari hulu ke hilir seolah sama sekali tiada sisi positif dan manfaat tembakau diciptakan oleh Tuhan. Padahal pada 2015 saja jelas rokok menjadi satu-satunya penopang pendapatan bea dan cukai negeri ini.

Wacana harga rokok pernah diulas sangat bagus oleh Iqbal Aji Daryono. Dalam tulisan itu secara logis sudah dijelaskan bahwa harga rokok di Indonesia itu sesungguhnya tidaklah murah. Terlebih kita ingat, beberapa tahun belakangan setiap tahunnya kebijakan pemerintah selalu mendorong kenaikan harga rokok melalui instrumen cukai.

Seperti kita tahu, pihak anti rokok selalu menggembar-gemborkan fakta sesat bahwa harga rokok di Indonesia sangatlah murah sekiranya dibandingkan harga rokok di Australia atau Singapura. Celakanya oleh pihak anti rokok, perbedaan harga rokok antar negara ini tidak pernah disajikan secara utuh, yakni dengan memberikan tabel perbandingan perihal rata-rata pendapatan penduduk dan tingkat daya belinya di masing-masing negara. Padahal harga sebuah komoditas apapun, termasuk rokok, tentu tak bisa dilepaskan dari daya beli riil masyarakat yang hal ini ditentukan oleh performa ekonomis dari sebuah negara. Artinya jika kita mau melihat variabel ekonomi masing-masing negara dan bukan hanya membandingkan nilai tukar semata, jelas harga rokok di Indonesia sebenarnya sudah sangat mahal.

Jika menilik pendapatan negara dari sektor cukai yang didominasi dari pendapatan cukai rokok, maka pertanyaanya ialah apakah masih relevan menaikkan harga rokok dengan menaikkan cukainya? Untuk menjawab pertanyaan ini, di sini perlu dilihat sekaligus dipertimbangkan beberapa poin penting berikut:

Pertama, perlu dipertimbangkam struktur harga rokok di Indonesia. Struktur harga rokok di Indonesia dibentuk dari Harga Jual Eceran ditambahkan dengan 57% cukai, dan 8,4% Ppn. Selain cukai dan Ppn, masih ada ketentuan 10% pajak daerah yang diambil dari harga yang tertera pada cukai, di mana ketiga instrumen tersebut menjadi kalkulasi penentuan harga rokok di tangan konsumen. Dari skema itu negara sudah memperoleh pendapatan 60-65% dari sebatang rokok.

Kalau dilihat dari variabel ini saja adakah komoditas legal yang memberikan keuntungan pendapatan kepada negara dengan prosentase sebesar ini? Dan perlu diingat negara tidak mengeluarkan sepeserpun untuk memperoleh pendapatan ini. Tak berlebihan jika muncul keluhan dari pelaku usaha nasional, bahwa perusahaan rokok itu sebenarnya ialah perusahaan BUMN yang pengelolaannya diberikan kepada pihak swasta.

Kedua, juga perlu dilihat bagaimana daya beli masyarakat Indonesia. Untuk kasus rokok sudah terbukti dari penurunan produksi rokok ketika pemerintah menaikkan cukai sebesar 8,75 pada 2015 lalu. Tahun 2015 produksi rokok turun 7,16% menjadi 191,41 miliar batang. Pendapatan negara dari cukai rokok juga turun 0,13% menjadi Rp 64,45 triliun pada semester 1 – 2015. Padahal periode yang sama tahun sebelumnya Rp 64,53 triliun.

Ketiga, dampak negatif dari kenaikan harga rokok adalah munculnya rokok ilegal. Benar, sekarang dampaknya belum dirasa meresahkan oleh pemerintah. Tapi jika nanti memang betul lebijakan harga rokok dikerek setinggi-tingginya niscaya peredaran rokok ilegal akan semakin marak seiring dengan kenaikan harga rokok. Menaikkan cukai dengan tujuan membatasi konsumsi dan memperbesar pendapatan negara adalah jebakan bagi pemerintah. Dengan maraknya rokok ilegal niscaya tujuan dari kenaikan cukai sendiri, yaitu membatasi konsumsi dan memperbesar pendapatan negara, malah tidak akan pernah tercapai.

Pada kasus peredaran rokok elektrik yang mengandung nikotin saja pemerintah terkesan kesulitan menetapkan cukainya; apalagi upaya memberantas rokok ilegal ditengah harga rokok yang melambung tinggi niscaya tidak akan pernah bisa ditanggulangi oleh pemerintah. Kita patut belajar dari contoh kasus terjadi di New York. Kasus Eric Garner yang meninggal setelah ditangkap polisi New York, karena menjual rokok batangan secara eceran. Menjual rokok secara eceran per batang di New York adalah tindakan ilegal yang diancam pidana. Mungkinkah kasus serupa terjadi di Indonesia? Ya, sangat mungkin sekiranya harga rokok dibandrol dengan nilai sangat tinggi dengan konsekuensi muncul peredaran rokok ilegal secara masif. Jelas, akan muncul banyak Eric Garner di Indonesia, jumlahnya sebanyak jumlah pedagang asongan yang sangat mudah diduga bakal enggak mampu kulakan rokok legal sebagai barang dagangan mereka.

Kembali kepada isu utama yang dilansir oleh Hasbullah Thabrany, bahwa kenaikan harga rokok menurutnya tidak akan berpengaruh kepada para petani tembakau di Indonesia. Ini adalah pernyataan salah besar. Dalam hal ini harus diingat bahwa industri hasil tembakau di Indonesia itu terintegrasi dari hulu ke hilir. Bahan baku jelas diperoleh dari Indonesia. Bukan hanya tembakau yang digunakan sebagai bahan baku, tapi juga cengkeh. Artinya seandainya pemerintah menerima ajakan Prof Hasbullah Thabrany, maka niscaya pemerintah sedang membunuh dua komoditas sumber penghidupan rakyatnya, cengkeh dan tembakau.

Lebih dari itu, juga jangan heran seandainya nanti negeri ini justru diserbu rokok import dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang produk rokok dalam negeri. Rokok produk Jerman Allure, misalnya, saat ini dijual dengan harga kisaran Rp. 2800 per bungkus di Libanon, di mana pasukan penjaga perdamaian asal Indonesia saat ini bertugas. Bukan mustahil nantinya ketika harga rokok kretek Indonesia benar-benar mencapai 50 ribu rupiah, maka niscaya serbuan rokok impor harga murah bakal membanjiri pasar Indonesia.

Feature image by: Eko Susanto on Flickr
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Panji Prakoso

Panji Prakoso

Penulis yang kadang mengisi waktu dengan memelihara burung.