logo boleh merokok putih 2

RUU Pertembakauan dan Nasib Petani Tembakau

Dengan latar belakang masalah kesejahteraan petani tembakau dan menjaga industri tembakau di Indonesia agar tetap mampu bersaing di pasar nasional dan dunia, maka seyogyanya RUU Pertembakauan tidak perlu ditarik kedalam kontroversi berlebihan oleh pihak anti-rokok.

ruu- pertembakauan-dan-nasib-petani -tembakau

[dropcap]D[/dropcap]i sela-sela saya mengamati ramainya pembahasan RUU Pertembakauan di DPR yang sudah disetujui oleh 9 fraksi melalui media sosial, muncul notifkasi di gawai saya. Pesan itu datang dari seorang teman yang tinggal di Wonosobo, Jawa Tengah. Dia bukan seorang petani tembakau, namun keluarganya sebagian besar bekerja sebagai petani tembakau. Pesan tersebut berisi: “Bener omonganmu dulu, Mas…tahun ini harga tembakau kami jeblok! Semoga saudara-saudara di Wonosobo diberi kesabaran”.

Pesan itu jelas sebuah tamparan bagi saya. Bagaimana tidak, waktu itu saya gagal meyakinkan mereka supaya mengurangi jumlah produksi tahun ini. Ya, tahun lalu kami sempat berbalas pesan melalui Whatsapp tentang perkiraan kondisi pertembakauan di musim ini. Saya sudah ingatkan dia, musim penghujan akan cenderung lebih panjang. Saya mendasarkan perkiraan ini dari faktor cuaca tahun lalu. Saat itu saya juga sudah mengingatkan teman saya, bahwa perusahaan-perusahaan kretek akan mengurangi kuantitas pembelian tembakau mereka, dan hal itu sudah dilansir oleh banyak media masa.

Pada saat itu saya tidak mampu meyakinkannya setelah dia berujar: “Kalau kami enggak tanam tembakau, kami mau makan apa?” Dan saya pun menjawab: “Justru karena saya berharap kamu tetap bisa makan maka kurangi produksi tahun depan. Seandainya benar tahun depan harganya jeblok maka kamu enggak mengalami kerugian besar”. Itu sebagian dari percakapan kami melalui WA tahun lalu.

Setelah itu, baik saya ataupun teman saya dari Wonosobo itu tidak pernah berbalas pesan lagi, hingga pagi tadi muncul pesan darinya tentang jebloknya harga tembakau tahun ini.

Cerita dari Wonosobo adalah gambaran kecil dari resiko menanam tembakau. Faktor alam, cuaca, sangat menentukan. Faktor resiko alam ini tentunya dapat diminimalisir dengan berbagai cara. Salah satunya adalah komunikasi antara pabrikan dan masyarakat petani tembakau sebagai pemasok bahan baku kretek selain cengkeh. Selain adanya komunikasi dengan pabrikan selaku penerima bahan baku dari petani, pendekatan kultural dan penguasaan teknologi tanam juga harus dilakukan oleh para petani tembakau guna menunjang keberhasilan penanaman mereka setiap musimnya.

Secara kultural, pranatamangsa adalah pedoman para petani guna melakukan penanaman tembakau. Mangsa Kasanga dan Kasadha yang jatuh pada akhir musim penghujan adalah saat menanam tembakau jenis Voor-Oogsht yang ditanam oleh lebih 90% petani tembakau di Indonesia. Namun dengan adanya fenomena pemanasan global, sistem pranatamangsa yang jadi pedoman prakiraan cuaca yang digunakan oleh petani tembakau sering nampak meleset. Walhasil, kualitas tembakau yang dihasilkan pun jadi cenderung tidak bagus. Saya rasa fenomena tidak akuratnya sistem pranatamangsa yang dialami para petani tembakau jelas juga dialami para petani lainnya. Ya, bagaimanapun petani kita secara umum masih cenderung termasuk kategori petani tradisional. Tak aneh mereka nampak gagap dengan fenomena perubahan cuaca yang muncul dari pemanasan global.

Untuk mengantisipasi hal itu jelas diperlukan tambahan referensi prakiraan cuaca bagi para petani. Lembaga penyedia informasi prakiraan cuaca seperti BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) sangat diperlukan batuannya demi keberhasilan penanaman tembakau bagi para petani. Selain memberikan prakiraan cuaca secara cermat dan akurat, yang terlebih penting ialah bagaimana BMKG seharusnya turut mensosialisasikan informasi tersebut ke tengah masyarakat petani. Benar bahwa, masyarakat petani khususnya petani tembakau sebenarnya secara mandiri juga dapat membeli informasi cuaca dari penyedia jasa informasi prakiraan cuaca dari luar negeri. Tapi, ini jelas bukan pilihan yang baik. Pasalnya BMKG dan pihak pemerintah terkait seharus bisa mengambil peran penting dan dominan di sini.

Selain faktor komunikasi pabrikan dengan petani, pendekatan kultural dan teknologi tanam, faktor lain yang penting diperhatikan ialah aspek kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah harus didesain melindungi kepentingan petani tembakau dan industri nasional pengolahan tembakau, dari hulu ke hilir. Kebijakan pemerintah seharusnya bersifat menyeluruh mengingat faktor strategis industri pertembakauan di Indonesia. Industri tembakau sebagai penyumbang pemasukan cukai terbesar tentu tidak bisa hanya dipayungi dengan kebijakan pengendalian dari sisi kesehatan semata. Karena itu payung hukum tertinggi berupa UU Pertembakauan adalah harapan seluruh pemangku kepentingan industri pertembakauan untuk memperoleh perlindungan yang berkeadilan.

Dengan latar belakang masalah kesejahteraan petani tembakau dan menjaga industri tembakau di Indonesia agar tetap mampu bersaing di pasar nasional dan dunia, maka seyogyanya RUU Pertembakauan tidak perlu ditarik kedalam kontroversi berlebihan oleh pihak anti-rokok. Pengaturan pengendalian yang sedemikian ketat sudah diakomodir dalam UU Kesehatan dan PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Bagaimana mengatur perilaku perokok dan cita-cita mengalihkan tembakau menjadi produk selain Kretek sudah tersaji lengkap di peraturan itu. Tentu RUU Pertembakauan tidak akan bisa memuaskan semua pihak, tapi paling tidak melalui RUU yang dicita-citakan menjadi UU Pertembakauan dapat memberikan ruang gerak bagi petani dan seluruh stakeholder pertembakauan untuk memperoleh keadilan dan penghidupan yang lebih baik.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Zulvan Kurniawan

Zulvan Kurniawan

Penikmat tembakau, teh, dan camilan yang renyah. Bapak Kretek Indonesia