PERTANIAN

Kretek Mild dan Problem Bahan Baku

Tembakau yang dihasilkan di Indonesia tentu tidak kompatibel untuk menghasilkan kretek jenis mild yang membutuhkan bahan baku tembakau Virginia FC dengan karakter light yang dipakai oleh rokok putih.

kretek-mild-002

[dropcap]D[/dropcap]ari sekian perdebatan pertembakau salah satu yang sering mengemuka adalah tingginya angka impor bahan baku tembakau oleh perusahaan kretek dari negara lain. Persoalan ini melulu dibahas tanpa ada pemecahan terhadap masalahnya. Isu ini terutama digunakan oleh kelompok anti rokok untuk memojokkan pembelaan petani tembakau terhadap regulasi pengendalian tembakau yang mengancam penghidupan mereka.

Sebenarnya, perkara impor untuk semua komoditas adalah kurangnya ketersediaan barang, sementara kebutuhan akan barang tersebut tinggi. Di negeri ini hampir semua bahan baku industri sangat tinggi kandungan impornya. Hal ini terjadi juga pada Industri Hasil Tembakau (IHT). Dimana tren produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) bernikotin rendah (mild) meningkat pesat dalam 15 tahun terakhir. Kebutuhan industri kretek akan bahan baku tembakau jenis ini semakin tidak bisa dicukupi dari produksi petani tembakau di Indonesia yang stagnan.

Peningkatan impor tembakau yang digunakan sebagai bahan baku industri kretek bukan disebabkan oleh faktor yang baru terjadi kemarin sore. Perubahan gaya hidup dan cara pandang terhadap barang yang dikonsumsi oleh manusia milenial selalu dihubungkan dengan kesehatan. Perubahan ini memicu pola asupan ke dalam tubuh mereka termasuk rokok. Manusia-manusia modern ini menganggap bahwa rokok yang berkadar nikotin rendah akan mengurangi dampak dan risiko kesehatan dari konsumsi rokok. Dan tren ini sudah dimulai sejak akhir 1990-an.

Karakter tembakau di Indonesia

Berbicara ketersediaan bahan baku SKM dengan jenis mild tentu berhubungan erat dengan karakter tembakau yang ditanam di Indonesia. Secara umum tembakau yang ditanam di Indonesia ada dua jenis tembakau bila ditinjau dari segi waktu penanaman yaitu Voor-ooghst dan Naa-ooghst. Apabila ditinjau dari proses pengeringannya tembakau-tembakau di Indonesia diproses dengan cara Sun Cured, Air Cured, dan Fire Cured (FC), Sun Air Cured, dan Dark Fire Cured.

Proses ini dilakukan oleh petani tembakau sebagai penyedia bahan baku pabrik kretek dan rokok. Wujud fisik tembakau setelah dikeringkan dapat digolongkan menjadi tembakau krosok dan tembakau rajangan. Tembakau rajangan adalah proses pengolahan bahan baku kretek untuk tembakau asli Indonesia. Metode ini dilakukan oleh sebagian besar petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tembakau rajangan ini dikeringkan dengan proses Sun Cure. Dan tembakau ini hanya dijual didalam negeri sebagai bahan baku rokok kretek.

Karakter tembakau rajangan asli Indonesia memang menghasilkan rokok kretek yang spicy namun tetap memiliki kandungan tar dan nikotin yang tinggi. Sedangkan konsumen menginginkan produk yang lebih rendah tar dan nikotinnya tapi tetap memiliki rasa yang spicy khas kretek Indonesia. Benturan selera konsumen dan suplai bahan baku yang dihasilkan oleh petani-petani di Indonesia memunculkan konsekuensi tersendiri bagi pabrik kretek. Tembakau yang dihasilkan di Indonesia tentu tidak kompatibel untuk menghasilkan kretek jenis mild yang membutuhkan bahan baku tembakau Virginia FC dengan karakter light yang dipakai oleh rokok putih. Jawaban satu-satunya untuk memenuhi pasokan bahan baku adalah dengan import bahan baku dari berbagai negara penghasil Virginia FC.

Bisakah bahan baku itu tidak import?

Selera pasar yang bergeser ke kretek jenis mild sendiri terjadi karena berbagai macam hal. Mulai dari anggapan kretek mild lebih sehat hingga mengikuti tren kretek mild yang dikemas dengan kreatif dan keren. Dan kretek jenis mild ini hanya bisa diproduksi dengan bahan baku utama tembakau rendah nikotin semacam Virginia FC.

Sebenarnya, sudah ada upaya unutk merespon selera pasar yang bergeser ini. Di dua daerah, yakni Lombok dan Bojonegoro, pihak industri sudah memulai upaya penanaman tembakau Virginia untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hasilnya, kini kedua daerah tersebut berhasil menjadi daerah penghasil Virginia terbesar di Indonesia.

Meskipun memerlukan waktu sekitar 10 tahun agar pertanian tembakau Virginia di Lombok dapat berkembang, namun hal ini membuktikan bahwa upaya untuk menanggulangi persoalan ini bisa dilakukan. Malah, tembakau Virginia dari lombok tidak hanya dijual untuk memenuhi kebutuhan lokal, tapi telah berhasil menembus pasar ekspor dunia.

Agak ironis memang, impor tembakau bernikotin rendah masih tinggi di Indonesia ketika tembakau Virginia dari Lombok telah membuktikan kualitasnya di pasar dunia.

Sebaiknya penanggulangan persoalan ini mulai serius dibahas oleh pemerintah dan industri. Pemerinah Pusat harus membuat kebijakan yang tepat bagi industri tembakau. Jangan sampai ketidakpahaman mereka atas IHT bisa memproduksi kebijakan yang buruk. Mereka harus membuka mata atas fakta-fakta dan penelitian-penelitian yang lebih ‘netral’ dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Lalu pihak industri juga harus lebih getol untuk melakukan sosialisasi pada petani terkait pergeseran selera pasar ini. Bahwa tren kretek mild yang terus meningkat menunjukkan bahwa selera pasar akan tembakau telah bergeser dan harus segera ditanggapi. Jangan sampai tembakau yang ditanam petani adalah yang tidak lagi dibutuhkan oleh pasar sehingga industri memilih untuk terus mengimpor tembakau.

Tinggalkan Balasan