“Di sini emang tujuan awal adalah jualan. Tapi setelah buat format kafe ya harus diimbangi sama perkenalan. Istilah ndakiknya tu “edukasi budaya”. Budaya apa? Ya budaya tembakau.
[dropcap]B[/dropcap]angunan dua lantai itu sudah berdiri lama. Letaknya tepat di samping gerbang Pecinan Semarang. Bau dupa meruap bercampur dengan tembakau, terkadang kalau beruntung bisa juga mencium aroma bakmi Jawa yang sering jualan depannya. Suasana sekitar sangat khas Semarang. Khas kota besar di pesisir pantai utara Jawa. Kalau njenengan dateng pas akhir pekan, maka di daerah sekitarnya akan sangat ramai dengan Pasar Malam Semawis.
Sebagai kota niaga yang berkebudayaan majemuk, Mukti Café cocoklah menjadi buktinya. Karena berada di Pecinan, langgam toko khas Tionghoa memang menonjol. Dari luar ornamen lampion merah terpasang. Mengapit tulisan Mukti Café yang tercetak dalam ukiran kayu. Antara kata “Mukti” dan “Café” ada dua buah kaligrafi. Sepintas mirip kaligrafi cina, namun jika jeli membacanya, kaligrafi tersebut adalah kaligrafi arab bertuliskan Laa ilaahaillallah, Muhammadur Rasulullah.
Masuk ke dalam sudah berjejer berbagai macam toples yang berisi tembakau aneka macam. Dari yang langganan pak becak hingga langganan adik-adik hipster. Dari tembakau untuk tingwe, tembakau untuk pipa cangklong, hingga cerutu produk sendiri. Kafenya sendiri berada di lantai dua, di mana untuk naik ke atasnya kita harus melewati tangga besi kecil setengah melingkar yang bermotif doreng khas militer.
Kafe ini dimiliki oleh Pak Agung Kusumaatmaja. Yang mewarisi usaha perdagangan tembakau dari keluarganya. Perdagangan tersebut sudah dirintis sejak 1895. Meskipun demikian, Mukti Café sendiri baru mulai beroperasi sejak 2014.
Kalau ke sini carilah menejer kafenya yang bernama Radika Wisanggeni. Pria manis agak gempal ini adalah anak band penggemar kejawen. Tak tampak sisa-sisa penjaga marwah musik 90’s kalau kita hanya memandangnya sekilas. Radika sendiri bergabung dengan Mukti Café sedari buka pertama kali.
“Waktu itu saya memang sering ke sini untuk cari tembakau. Awalnya ya jadi pelanggan biasa. Mulai kenal dekat dengan pak Agung ketika saya cari tembakau tertentu ke pak Agung sambil bawa sample. Saat itu pak Agung heran, ini anak muda kok tenanan men main tembakaunya. Pas saat itu Mukti gak ada stok. Akhirnya kita tukar-menukar nomer HP. Semenjak itu makin intens berhubungan. Hingga saat pak Agung mau buka kafe, akhirnya saya yang dipasrahi untuk ngurusi,” kenangnya.
“Di sini emang tujuan awal adalah jualan. Tapi setelah buat format kafe ya harus diimbangi sama perkenalan. Istilah ndakiknya tu “edukasi budaya”. Budaya apa? Ya budaya tembakau. Para pengunjung dikasih tau tentang berbagai macem jenis olahan tembakau. Ada tembakau linting, tembakau cerutu, tembakau cangklong, dan tembakau klobot,” katanya dengan lugas.
“Selain itu kita juga kasih tahu bagaimana sih caranya menikmati tembakau. Kita tekankan bahwa tembakau itu personal. Di sini seseorang mau ngudud mbako itu ada proses dan diskusinya terlebih dahulu. Ada dialog. Umpamanya, ada orang sini emang iseng aja, kita tanya dulu biasanya ngrokok apa. Putihan apa kretek. Nah, dari situ kita tawarkan yang seirama dengan rokok yang biasa dia isep sehari-hari. Ada juga yang ke sini emang sudah bosen sama rokok pabrikan. Mereka ke sini untuk naik ke taraf selanjutnya. Bagi golongan ini, rokok pabrikan sudah lewat. Sudah nggak nikmat lagi,” jelasnya sembari terkekeh.
Perkara personal ini mungkin ada benernya. Dengan setengah guyon sambil ngopi, kami berpendapat bahwa para manusia perokok cangklong itu orangnya emang cenderung detil, sabar, dan cenderung ribet. Sedangkan yang memilih tingwe atau klobot, orangnya cenderung sederhana, apa adanya, dan tradisionil. Beda dengan penikmat cerutu yang mengharapkan imaji high class, elit, atau setidaknya ngimpi pingin jadi mafia.
Semua tembakau di Mukti asli Indonesia. Pak Agung mengambilnya dari berbagai daerah penghasil tembakau di nusantara. Dari berbagai tembakau tersebut, Mukti sendiri juga menawarkan produk cerutu sendiri yang diberi merek “Agung Cigar”. Adapula rokok klobot kemasan yang juga dikasih merek “Agung”.
“Sekarang ini yang jadi primadona adalah Sriwulan. Produk tembakau blend khas Mukti. Awalnya sedikit coba-coba, gimana kalo ada racikan khas tradisonal. Kami kasih 8-9 tembakau pilihan itu dengan klembak dan menyan. Eh, malah anak-anak muda sini pada seneng. Padahal biasanya anak muda suka tembakau yang aromatik, semacam vanilla, strawberry, atau mint,” ujarnya.
Dengan pekerja sekitar 10 orang, Mukti Café buka mulai pukul 16.00 sampai 01.00. Tokonya sendiri sudah buka mulai pukul 10.00 pagi. Selain tembakau disediakan pula berbagai kopi dan panganan. Kalau mau seger ada pula minuman dingin rasa sarsaparilla. Jadi, kalo njenengan semua ahli hisap ke Semarang, mampirlah ke Mukti. Karena Mukti tidak buka cabang di tempat lain dan mumpung njenengan semua masih diberi kewarasan untuk ngudud.
Salam kebul!