logo boleh merokok putih 2

Membangun Solidaritas dan Jejaring Sebagai Modal Perjuangan

Menurut alm. Mansour Fakih, salah satu ciri neoliberalisme, adalah mengesampingkan solidaritas sosial dan kebersamaan. Sementara sifat gotong royong digantikan dengan paham tanggung jawab individual.

[dropcap]C[/dropcap]iri dan sifat tersebut di atas menjadi modal yang sangat kuat bagi seluruh komponen masyarakat dalam berbagai upaya untuk melawan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Lebih jauh, hal itu juga akan menjadi kekuatan besar yang mampu memberikan perlawanan atau menghentikan langkah-langkah kebijakan yang cenderung merugikan rakyat.

Salah satu contoh yang pernah ada, terlihat pada pergerakan kaum buruh pada tahun 2006 ketika eksekutif dan legislatif hendak melakukan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Buruh dari berbagai kalangan, dari berbagai serikat yang ada, menyatakan menolak rencana tersebut karena dianggap merugikan kaum buruh.

Atas dasar posisi sosial yang sama dan nasib yang akan lebih buruk jika revisi itu terjadi, maka kelompok buruh yang selama ini terpecah oleh batasan-batasan ideologi, politik dan organisasi, melepaskan embel-embel itu untuk bersatu menggalang kekuatan menolak rencana tersebut. Walhasil, revisi urung terjadi karena jutaan buruh menunjukan kebersamaan dan kekuatannya di lapangan.

Contoh lain yang paling dekat adalah perjuangan warga pegunungan Kendeng yang selama bertahun-tahun menolak keberadaan pabrik semen di sana. Keberadaan pabrik yang dinilai akan merugikan para petani karena pembangunannya akan menghancurkan karst sumber air kehidupan bagi warga.

Solidaritas untuk perjuangan warga Kendeng muncul dari berbagai kalangan, bukan saja dari sesama kelompok petani, namun juga dari sektor-sektor masyarakat lainnya seperti mahasiswa, buruh, aktivis lingkungan, akademisi dan individu-individu yang peduli atas nasib mereka.

Salah satu hasil dari perjuangan panjang mereka adalah putusan MA yang mengabulkan perkara dengan nomor registrasi 99 PK/TUN/2016 ini, yakni membatalkan objek sengketa atau pabrik semen yang akan dibangun. Putusan sendiri keluar pada Rabu, 5 Oktober 2016 lalu.

Tak berhenti di situ, warga kendeng juga melanjutkan tuntutan mereka pada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk mencabut izin pabrik semen. Aksi mereka lakukan selama 30 hari di depan kantor gubernur. Keputusan Gubernur akhirnya keluar setelah batas waktu pencabutan izin sesuai dengan putusan MA, walau masih menyisakan perdebatan terkait isi dari keputusan itu.

Namun dalam perjuangan tersebut, terjadi sedikit insiden yang dirasa bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh alm. Mansour Fakih tentang arti sebuah kebersamaan. Aksi warga Kendeng yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pada 17 Januari 2016, mengalami benturan dengan aksi lain dari kelompok petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI).

Kedua kelompok memang mengusung isu yang berbeda walaupun sebenarnya sama-sama sedang memperjuangkan nasib perut mereka. APTI menyatakan menolak impor tembakau. Walaupun beda isu dan tuntutan, sebetulnya hal itu tidak menjadi alasan adanya pemantik terjadinya kericuhan.

Peristiwa itu seharusnya tak terjadi jika pemerintah dan aparat mau mengatasinya. Deteksi dini adalah prasyarat mutlak dan standar operasional yang wajib dijalankan aparat. Tapi justru yang terjadi ricuh di saat mereka menyuarakan dan memperjuangkan haknya. Pemerintah dan aparat seakan-akan melakukan pembiaran, dan tidak terlihat sedikitpun sebelumnya melakukan tindakan preventif.

Pemerintah dan aparatur negara, pada konteks ini harus bertanggungjawab atas terjadinya insiden yang dilakukan kelompok petani APTI yang cenderung agresif terhadap JMPPK. Mereka hanyalah petani yang memperjuangkan sebidang lahan untuk hidup. Mereka tidak akan mengganggu pemerintah, selama hak hidupnya terpenuhi. Kejadian ini, bukti bahwa pemerintah salah urus dalam membangun kesejahteraan dan keadilan bagi mereka.

Menjadi pertanyaan banyak pihak, apakah yang terjadi adalah bentuk permainan pemerintah dan aparat untuk memecah belah kekuatan petani dan pengalihan isu? Jawabannya hanya Tuhan dan si pelaku yang tahu. Namun yang jelas, petani di manapun berada berhak mendapatkan perlindungan, keamanan, kedamaian, ketentraman, kebahagiaan, dan harus dijamin pemerintah.

Andaikan dua aksi bersamaan tersebut, tetap damai dan sejuk, saling mendukung, saling bersolidaritas, bersatu, bersama-sama memperjuangkan hak masing-masing walaupun berbeda kepentingan akan lebih taktis, kuat, efektif dan efesien dalam mengatasi masalah bersama. Bukan malah mencari masalah baru dengan memusuhi sesama.

Jika demikian yang terjadi, dijamin perjuangan terasa berat. Sederhana saja alasan kenapa perjuangan menjadi semakin berat, solidaritas dan kebersamaan sesama petani tak muncul. APTI dan JMPPK adalah dua kelompok yang sedang mengalami kesulitan akibat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tak seharusnya salah satu diantara mereka melakukan tindakan agresif kepada kelompok petani lain.

Justru sebaliknya, petani seharusnya bersatu dan saling mendukung perjuangan yang sedang dilakukan dengan mengesampingkan sekat-sekat organisasi atau isu yang akan diangkat. Kekuatan kebersamaan sesama petani menjadi lebih penting ketimbang memperjuangakan tuntutan masing-masing.

Peristiwa seperti yang terjadi saat itu menunjukan Neoliberalisme tengah bekerja. Bukan hanya dengan menyusupkan kepentingan modal melalui berbagai kebijakan, tapi juga melakukan pecah belah antar sesama kelompok masyarakat yang dirugikan. Jika hal ini terus terjadi, menjadi kepastian bahwa para pemilik modal dan elit politik sedang terkekeh riang menyaksikan konflik yang terjadi karena hal itu menguntungkan mereka.

Menambahkan apa yang disampaikan oleh alm. Mansour Fakih, selain tentang pentingnya solidaritas, konsistensi dan prinsip perjuangan menjadi hal mutlak lain yang tak boleh dilepaskan dalam sebuah jalan perjuangan. Membangun kekuatan antar kelompok masyarakat, terus teguh dengan tuntutan perjuangan, dan tak mau dimanfaatkan oleh kepentingan elit, merupakan prinsip-prinsip lain dalam perjuangan yang tak boleh dikesampingkan.

Hari itu, 17 Januari 2017 telah berlalu. Tindakan ceroboh telah terjadi, namun bukan berarti harus kembali terjadi. Ke depan, solidaritas dan kebersamaan tak boleh lagi dinodai dengan sifat individualis yang akan berakibat memecah belah kekuatan yang seharusnya bersatu.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).