Pendidikan gagal melahirkan peserta didik yang benar-benar bahagia. Kebanyakan anak menjadi pandai, tetapi di bawah tekanan-tekanan yang memberatkan mereka.
[dropcap]S[/dropcap]ewaktu masa sekolah, sejak dari SD hingga SMA, yang paling dinanti kedatangannya adalah saat-saat libur tiba. Baik itu libur akhir pekan, tanggal merah hari-hari besar keagamaan atau kenegaraan, lebih lagi libur panjang di akhir semester. Itu yang saya rasakan, dan saya yakin banyak anak-anak usia sekolah dari zaman Orde Lama hingga orde kereta cepat kini pun juga merasakan hal yang sama seperti saya.
Rasa antusias untuk datang ke sekolah hadir sebentar saja di hari-hari pertama periode ajaran baru dimulai. Setelah itu, sekolah terasa menjenuhkan bahkan kadang hingga memuakkan. Bagi saya ada sedikit tambahan waktu di mana antusiasme datang ke sekolah meningkat pesat, yaitu saat hari olahraga tiba. Karena saat itulah saya bisa bermain sepakbola hingga puas dengan teman-teman sekelas.
Sering kita mendengar atau malah menyaksikannya sendiri, bagaimana anak-anak begitu lunglai saat berangkat ke sekolah namun semangat yang menggebu tetiba hadir saat mereka pulang sekolah. Bayang-bayang tentang guru yang galak, tugas-tugas yang menumpuk, catatan-catatan yang menjejal halaman-halaman buku, hafalan-hafalan yang harus terus dirapal, tanpa tahu apa maksudnya, apa manfaatnya, telah menghantui anak-anak saat melangkahkan kaki menuju sekolah.
Saya rasa, antusiasme, semangat menggebu, keceriaan yang dirasa dan kebahagiaan yang terpancar dari raut muka anak-anak hanya hadir di waktu berangkat sekolah saat anak-anak masih berada di tingkat Taman Kanak-Kanak. Ketika sudah memasuki Sekolah Dasar, semua itu hilang begitu saja. Keceriaan dan kebahagiaan yang dirasakan, berganti menjadi teror-teror yang cukup menakutkan. Tak sedikit orang tua yang mendapati anaknya pura-pura sakit untuk sekadar menghindari rutinitas menjemukan di bangku sekolah.
Ketika ada ungkapan yang berkata, “masa-masa paling indah adalah masa-masa di sekolah,” mungkin saja itu benar. Tapi keindahan-keindahan yang dirasakan semasa di sekolah bukan didapat dari proses belajar mengajar di kelas, bukan dari kurikulum yang dirancang pemerintah, bukan pula dari tugas-tugas, pekerjaan rumah dan ujian-ujian yang memuakkan. Bukan, bukan itu semua.
Masa-masa indah di sekolah diraih kebanyakan dari keberanian dan kenekatan melawan aturan sekolah yang mengekang. Pergi dari sekolah bersama teman-teman untuk bolos, tidak hadir di mata pelajaran tertentu, pura-pura salat dhuha untuk menghindari mata pelajaran sejarah yang mendoktrinkan kebohongan, dan berbagai macam tindakan sejenis yang berhulu dari kepenatan dalam mengikuti proses pendidikan di sekolah.
Sekolah, yang dimaksudkan untuk memberikan anak-anak pendidikan yang mereka sukai untuk bekal kehidupan mereka, bertransformasi menjadi monster yang mengekang dengan banyak aturan yang memberatkan. Sekolah yang seharusnya menyiapkan peserta didik agar mampu menghadapi kehidupan nyata, malah mencerabut peserta didik dari kehidupan mereka, mengalienasi anak-anak dari kehidupan keseharian mereka.
Mengerikan memang, tetapi proses seperti ini terus saja terjadi dan dilakukan hingga kini, bahkan dengan tambahan-tambahan yang kian hari kian memberatkan. Kegiatan ekstrakulikuler yang semakin menyita waktu bermain, kursus-kursus dan les tambahan usai jam sekolah, belum lagi jika ditambah keharusan anak-anak datang ke madrasah, TKA/TPA untuk belajar ilmu agama. Semua ini benar-benar membuat anak-anak letih dan tersiksa.
Saat Paulo Freire mulai mengorganisir petani di Brazil, memberikan layanan pendidikan, dan merumuskan semua itu dengan baik dalam sebuah buku berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas”, saya rasa, di negeri ini, dalam taraf tertentu adalah sebaliknya. Alih-alih memberikan pendidikan untuk kebaikan seluruh peserta didik, negara dengan penyeragaman kurikulumnya, lewat pendidikan malah menindas para peserta didik.
Sebuah ironi yang sayangnya nyata terjadi di banyak tempat di negeri ini. Pendidikan gagal melahirkan peserta didik yang benar-benar bahagia. Kebanyakan anak menjadi pandai tetapi di bawah tekanan-tekanan yang memberatkan mereka.
Konstruksi sistem pendidikan yang dibangun seolah-olah menutup pintu dialog. Semua di bawah komando dan instruksi dari pusat. Daerah-daerah yang mengelola sekolah dipaksa menerima mentah-mentah sistem yang diberlakukan pusat. Kearifan lokal, tradisi dan budaya yang berbenturan dengan sistem pendidikan pusat, harus mengalah, dipaksa dan akhirnya terpaksa mengalah. Kompromi-kompromi seakan haram hukumnya. Imbasnya, lagi-lagi anak-anak peserta didik yang menjadi korban dan paling menderita.
Rezim silih berganti, menteri-menteri yang mengurus departemen pendidikan juga sudah berkali-kali berganti, tetapi sistem pendidikan yang diterapkan terlihat jalan di tempat.
Pendidikan kita melulu mengacu pada produksi pekerja yang siap ditempatkan di perusahaan-perusahaan sebagai pekerja yang siap menerima perintah. Nasihat bijak dari salah seorang bapak pendidikan kita, seakan tak lagi bermakna. Ki Hadjar Dewantara pernah berkata, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.”
Jauh, terlalu jauh pendidikan yang kini diterapkan di negeri ini dari panduan Ki Hadjar Dewantara. Alih-alih merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat anak-anak, pendidikan kini memaksa anak-anak menjadi seragam dalam pakem yang saklek ditetapkan dalam sebuah sistem.
“Jika struktur sama sekali tidak mengizinkan adanya dialog, maka struktur itu harus diganti.” Begitu pesan Paulo Freire.
Dan, dengan sistem yang terus menerus memberatkan anak-anak peserta didik di penjuru negeri ini, saya kira, sudah seharusnya kita lantang berkata: “Sistem pendidikan di Indonesia harus segera dirombak, harus lekas diganti!”
Meneruskan apa yang diungkapkan oleh Ivan Illich, “Bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah.” Sudah saatnya memang, di waktu-waktu seperti saat ini, masyarakat, terutama anak-anak yang menjadi peserta inti pendidikan di negeri ini, harus segera dibebaskan dari belenggu sekolah yang merampas keceriaan dan kebahagiaan mereka. Anak-anak harus dibebaskan dari belenggu sekolah yang menakutkan bahkan hingga meneror mereka di masa-masa yang seharusnya mereka tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai kodratnya sendiri-sendiri.
Saya kira mudah saja melihat indikator awal keberhasilan proses pendidikan di sekolah. Yaitu dengan melihat apakah anak-anak peserta didik menikmati proses yang mereka jalani di sekolah. Bagaimana mereka merasa bahagia saat berangkat ke sekolah karena hendak mengunduh ilmu bagi kehidupan mereka. Dan merasa bahagia juga saat pulang dari sekolah karena ilmu yang mereka dapatkan di kelas. Bukan malah sebaliknya, berat datang ke sekolah karena aturan-aturan yang mengekang dan bahagia saat pulang sekolah karena terlepas dari belenggu yang menyiksa di sekolah.
Baik kiranya kita kembali merenungkan, dan lebih dari itu, seluruh praktisi pendidikan benar-benar menerapkan apa yang sudah dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan di Indonesia:
“Sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia harus disesuaikan dengan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa, kepentingan hidup kebudayaan dan hidup kemasyarakatan dalam arti yang seluas-luasnya. Maka harus diingat adanya perbedaan bakat dan keadaan hidup antara anak didik yang satu dengan yang lain (daerah pertanian, perdagangan, pelayaran, dan lain-lain). Maka perlu diadakan diferensiasi untuk memperbesar kemanfaatan bagi anak didik, maupun bagi masyarakat dan negara.”