logo boleh merokok putih 2

Memberi Catatan Kritis Atas Tuduhan Rokok Memiskinkan

Kalaupun benar rokok itu memiskinkan, mengapa BPS menyatakan orang miskin pada tahun 2015 ke 2016 jumlah masyarakat miskin terus menurun, namun di satu sisi produksi rokok naik pada tahun yang sama?

[dropcap]L[/dropcap]agi-lagi rokok dituduh memiskinkan. Hal ini tak kurang telah dituduhkan berbagai pihak bahkan sampai Presiden Jokowi pun harus memperjelas hal itu. Setahun yang lalu saya pernah memberi catatan khusus tentang ini, catatan tentang cara pandang Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menentukan tingkat inflasi dan menganggap rokok sebagai biang keladi tingginya inflasi. Lebih lanjut, rokok juga dianggap membuat orang menjadi miskin.

Dari data BPS yang disandarkan pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 itu pula, diambil kesimpulan bahwa orang miskin lebih memilih merokok daripada menyekolahkan anaknya. Ukurannya sederhana, rokok merupakan pengeluaran kedua setelah beras oleh rumah tangga miskin. Tuduhan yang keji yang tidak semestinya ada dalam membahas hasil riset yang dilakukan oleh lembaga negara.

Sebelum memberikan catatan kritis dari kesimpulan BPS yang telah menjadi isu utama dalam kampanye pengendalian tembakau ini, mari kita cermati dulu standar BPS dalam menentukan kesejahteraan penduduk Indonesia. Sebagai landasan utama penentuan kesejahteraan, indikator yang digunakan untuk menilai kesejahteraan adalah pengeluaran rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan makan dan non-makan.

Jika dalam pemenuhan kebutuhan makan pengeluarannya lebih tinggi dari pemenuhan kebutuhan non-makan, rumah tangga tersebut dinyatakan belum sejahtera. Dalam bahasa BPS, indikator ini dinyatakan dengan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). BPS membagi lagi indikator surveynya dari kategori sasaran responden dalam kelompok perkotaan dan pedesaan.

Kita mulai dari indikator Garis Kemiskinan Makanan (GKM). Dari indikator ini hasil Susenas 2015 menyatakan, untuk memenuhi kebutuhan makanan masyarakat yang tinggal di kota lebih rendah melakukan pengeluaran daripada masyarakat yang tinggal di desa. Dari hasil ini tentu ada sedikit ganjalan, di negara yang katanya agraris ini penduduk di desa lebih banyak melakukan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan makan daripada di kota.

Melalui indikator GKM hasil Susenas 2015 menyimpulkan bahwa pengeluaran terbesar masyarakat Indonesia adalah pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan makanan. Kebutuhan makanan yang diperinci lagi dalam kategori makanan yang memenuhi kalori dan protein, ternyata hasil Susenas 2015 menunjukkan bahwa pemenuhan pengeluaran terbesar adalah untuk membeli makanan jadi, yaitu sebanyak 16,18% dari total pengeluaran. Nah, baru setelah pengeluaran untuk makanan jadi, urutan berikutnya adalah kebutuhan beras dan rokok, sebanyak masing-masing 6,79%.

Hal di atas tersebut baru satu contoh, masih banyak hal-hal yang dapat kita berikan catatan kritis menyikapi hasil Susenas 2015 yang dijadikan alat utama menebar kebencian terhadap rokok dan tembakau.

Dengan memberikan catatan kritis pada hasil Susenas 2015, kita bisa melihat bahwa kesejahteraan yang dikehendaki oleh negara ini harus dipenuhi oleh rakyat sendiri. Jelas pemerintah yang seharusnya mencukupi berbagai kebutuhan rakyatnya dengan harga yang murah, malah mencari kambing hitam dari kebiasaan masyarakat merokok yang dituding jadi biang keladi kemiskinan.

Dari beberapa catatan kritis yang telah saya berikan sebelumnya, kondisi ekonomi negara ini tidak bisa hanya disandarkan pada hasil Susenas 2015 saja. Rokok yang dimasukkan dalam kategori makanan dianggap mempunyai nilai 0 untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein, dan itupun hanya sebagian kecil dari total pengeluaran gabungan kelompok makanan dan non makanan.

Menurut hasil Susenas 2015, pengeluaran tertinggi masyarakat Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan perumahan. Kebutuhan perumahan ini bahkan mencapai 26.03% dari total pengeluaran per kapita per bulan.

Sekali lagi dengan membaca fakta yang tertuang melalui hasil Susenas 2015 masihkah kita mengaganggap rokok memiskinkan? Kalaupun benar rokok itu memiskinkan, mengapa BPS menyatakan orang miskin pada tahun 2015 ke 2016 jumlah masyarakat miskin terus menurun, namun di satu sisi produksi rokok naik pada tahun yang sama?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Zulvan Kurniawan

Zulvan Kurniawan

Penikmat tembakau, teh, dan camilan yang renyah. Bapak Kretek Indonesia