Sejak diberlakukannya sistem spesifik secara efektif pada tahun 2009, hingga saat ini ribuan pabrik tutup, dan hanya tersisa 600 pabrik.
Kata pembunuh harus saya pilih sebagai judul tulisan ini untuk menegaskan makna sebenar-benarnya dari perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Tahun itu telah melahirkan hikayat baru dalam kerangka peraturan cukai tembakau di Indonesia.
Sistem penarikan cukai terdahulu mengunakan sistem Ad Valorem. Ini adalah sistem penarikan cukai dengan menggunakan persentase. Bagi para produsen rumahan sitem ini lebih disukai. Karena nilai cukai dihitung dari persentase harga produksi atau harga pengolahan, atau bisa juga diambil dari harga impor jika itu barang impor yang kena cukai.
Namun pada UU 39/2007 tentang Cukai, sistem cukai diatur menggunakan sistem spesifik. Untuk menjembataninya, selama dua tahun diberlakukan sistem cukai campuran atau hybrid. Dengan sistem cukai spesifik, penghitungan pungutan cukai dilakukan berdasarkan jumlah satuan produksi dikalikan tarif cukai.
Bagi pemerintah sistem cukai manapaun tidak ada masalah, namun bagi para produsen – khususnya industri rumahan/kecil-menangah – di saat inflasi tinggi, sitem ad valorem lebih disukai karena bisa mengejar inflasinya. Tapi jika politik cukai dipakai sebagai alat pengendalian konsumsi tembakau, sistem spesifik akan dipilih. Dari penerapan sistem ini bisa dilihat kepentingan apa dan siapa saja yang diuntungkan dari kebijakan ini.
Selain sistem pemungutan cukai, di regulasi tersebut juga ditentukan bahwa tempat produksi barang kena cukai harus berukuran minimal 200 meter persegi. Padahal industri barang kena cukai terbesar adalah kretek, di mana tempat produksinya bisa dilakukan di rumah-rumah yang berukuran 50 meter persegi. Cukai sebagai faktor pengendali berhasil menjalankan misinya. Pabrik rokok rumahan segera gulung tikar dengan keluarnya peraturan tersebut.
Diluar perubahan sistem penarikan cukai dari Ad Valorem ke spesifik, jelas pembunuh utamanya adalah ketentuan luasan pabrik. Sejak diberlakukannya sistem spesifik secara efektif pada tahun 2009, hingga saat ini ribuan pabrik tutup, dan hanya tersisa 600 pabrik kretek di Indonesia. Luas pabrik 200 meter persegi adalah peraturan akal-akalan untuk menutup pabrik-pabrik kretek skala rumahan.
Berangkat dari strategi pembunuhan yang sangat mujarab itu, perlu dilihat siapa yang diuntungkan dari kebijakan ini?
Ada tiga aktor yang perlu dikritisi dari pengambil manfaat kebijakan ini. Aktor pertama adalah kelompok antirokok. Bagi kelompok antirokok, jelas sistem spesifik sesuai dengan tujuan mereka mengendalikan tembakau. Sekaligus mereka akan didukung penuh oleh pemerintah karena iming-iming kampanye mereka adalah pendapatan cukai yang lebih tinggi kepada pemerintah.
Aktor kedua adalah pemerintah. Dengan sistem cukai spesifik, pemerintah lebih mudah mengaturnya. Karena melalui sistem ini pungutan cukai bisa disederhanakan melalui berbagai golongan produksi. Meskipun sama-sama memberikan pendapatan, sistem ad valorem lebih susah pengaturannya. Sistem yang lebih simpel bagi pemerintah adalah salah satu syarat birokrasi yang efisien, transparan dan akuntabel, meskipun harus mematikan sumber penghidupan puluhan atau bahkan ratusan ribu rakyatnya.
Seorang produsen kretek klobot dari Bojonegoro bahkan menyimpan dendam terhadap pengambil kebijakan ini. Kebijakan yang sudah membunuh sumber penghidupan dari desanya, dan desa-desa sekitarnya sebagai produsen kretek. Tentu para pengambil kebijakan di Jakarta harus menutup mata terhadap keadaan rakyatnya di Bojonegoro, Kudus, Jepara, dan daerah-daerah lain di Indonesia untuk mewujudkan efektifitas dan akuntabilitas yang disanjung dengan salah kaprah.
Dan yang terakhir, aktor ketiga adalah industri tembakau multinasional. Membedah kepentingan industri tembakau multinasional bagaimanpaun juga tidak bisa dilepaskan dari budaya kretek di Indonesia. Kretek sebagai produk asli Indonesia merupakan penguasa pasar produk tembakau di Indonesia.
Sejak kebangkitannya pada akhir 70-an industri kretek nasional telah menyingkirkan rokok putih yang diproduksi oleh industri tembakau multinasional. Hingga saat ini pasar rokok putih di Indonesia hanya mampu meraup 7% pangsa pasar konsumen rokok. Pada tahun 1999 mereka memasukkan kepentingannya melaui regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang batasan tar dan nikotin tembakau dalam PP 81/1999. Aturan itu kemudian dianulir oleh Presiden Megawati melalui PP 19/2003, dan industri tembakau multinasional melakukan strategi yang lain, dengan cara mengakuisis pabrik-pabrik kretek di Indonesia.
Dengan mengakuisisi pengausaan pabrik kretek mereka lebih leluasa menjejalkan produk-produknya kepada konsumen di Indonesia, meskipun sampai saat ini keuntungan perusahaan mereka hanya dari kretek yang belum berhasil mereka goyahkan dengan rokok putih mereka.
Dilihat dari kronologi waktu akuisis industri kretek nasional oleh industri tembakau multinasional bersamaan dengan penerapan peraturan pengendalian tembakau. Entah kebetulan atau telah dirancang? Tapi yang jelas dengan terbunuhnya industri-industri kretek skala rumah tangga dengan regulasi cukai, hingga saat ini sudah tiga perusahaan multinasional yang mengakuisisi industri kretek nasional.
Di tengah serbuan industri tembakau multinasional dan politik regulasi yang tidak pernah adil kepada rakyatnya, masih ada segilintir yang masih bertahan dengan kretek skala kecilnya. Pak Rusdi, seorang produsen kretek skala kecil di Kabupaten Kudus yang masih mencoba bertahan dari desakan regulasi cukai yang telah membunuh sumber penghidupan saudara-sauadaranya. Ia berharap penambahan kuota produksi untuk industri kretek skala kecil. Kalaupun tidak bisa Ia berharap bisa mendapatkan dispensasi penundaan pembayaran cukai.
Harapan Pak Rusdi tentu sebuah harapan yang amat sulit untuk diwujudkan, mengingat bahwa kepentingan dibalik pembunuhan kretek jauh lebih kuat dibandingkan dengan harapan seorang Rusdi.