logo boleh merokok putih 2

Benarkah Bila Mereka Tak Merokok, Bisa Keluar Dari Garis Kemiskinan?

Pernyataan bahwa bila orang miskin tak merokok, akan dapat keluar dari garis kemiskinan telah mengaburkan informasi kepada publik akan persoalan sebenarnya dari kemiskinan.

[dropcap]D[/dropcap]i satu malam, saya mendapatkan sebuah broadcast messenger perihal beasiswa peliputan investigasi dan mendalam 2017 dari sebuah lembaga profesi di Jakarta. Temanya “Bagaimana Industri Tembakau Memiskinkan Kaum Miskin di Indonesia”. Target pesertanya adalah para jurnalis yang bekerja untuk media cetak, online, televisi, radio, dan multimedia di Indonesia.

Pada paragraf kedua broadcast itu dituliskan total beasiswa yang mencapai Rp156 juta, entah kenapa informasi itu ditulis dalam satu baris khusus, mungkin itu adalah daya tarik untuk menggaet peserta. Namun saya tak terlalu menghiraukan soal angka tersebut.

Yang cukup menggelitik bagi saya adalah latar belakang dari informasi beasiswa itu. Disebutkan bahwa konsumsi tembakau yang masif di Indonesia mencegah tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama pada upaya penghapusan kemiskinan. Di mana saat ini jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sebesar 27,76 juta, dan salah satu penyebabnya adalah belanja rokok yang menempati urutan kedua setelah belanja beras. Entah apa penyebab kemiskinan lainnya, tak disebutkan dalam broadcast tersebut.

Berbagai data disampaikan, baik dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 2015 atau data dari Badan Pusat Statistik 2015. Semua data menampilkan soal jumlah perokok yang besar dan dianggap sebagai penyebab angka kemiskinan yang besar.

Artinya orang miskin banyak yang mengkonsumsi rokok. Bila mereka tak merokok, bisa keluar dari garis kemiskinan. Masalahnya tak sesederhana itu. Industri rokok adalah pelaku bisnis sangat besar yang berkepentingan melanggengkan bisnisnya. Berbagai upaya mereka lakukan untuk mencegah menurunkannya konsumsi rokok.”

Pada tulisan ini, saya tak ingin membahas perihal data-data yang disampaikan, baik data dari BPS maupun data dari Susenas, mungkin di lain waktu akan saya kupas lebih lanjut. Namun saya ingin sedikit membahas soal logika dalam satu kalimat yang menurut saya sangat fundamental. “Bila mereka tak merokok, bisa keluar dari garis kemiskinan”.

Dalam kalimat tesebut dapat bermakna bahwa konsumsi rokok adalah sumber dan penyebab kemiskinan di Indonesia. Sehingga ketika orang miskin tidak merokok, maka dia akan lepas dari kemiskinan dan masuk kategori penduduk yang sejahtera. Sial, mudah sekali melihat persoalan pengentasan kemiskinan hanya berdasarkan pada orang tidak lagi merokok.

Tentu saja saya tak percaya hal itu, dan andai hal itu benar adanya, saya tak akan ragu untuk mendorong orang untuk berhenti merokok karena saya juga tak menyukai kemiskinan. Andai hal itu benar adanya, saya kira tak akan sesulit ini negeri kita untuk lepas dari kemiskinan dan menjadi negara yang kaya, maju, dengan rakyatnya yang sejahtera.

Pernyataan bahwa bila orang miskin tak merokok, akan dapat keluar dari garis kemiskinan telah mengaburkan informasi kepada publik akan persoalan sebenarnya dari kemiskinan. Terlebih jika informasi itu ditulis oleh para jurnalis, yang mempunyai tugas menyampaikan informasi dengan cermat kepada publik.

Masalah korupsi, masalah upah buruh yang murah, sistem kerja kontrak dan outsourcing, masalah akses terhadap pendidikan, masalah pembangunan yang tak merata, masalah kesempatan kerja yang sempit, masalah mafia yang hidup nyaman dari kerja orang lain, masalah penggusuran, lahan pertanian yang semakin habis, investasi yang mengeruk sumber daya alam, dll.

Semua problem struktural penyebab kemiskinan yang saya sebutkan tadi, seperti dinafikan oleh satu kalimat “Bila mereka tak merokok, bisa keluar dari garis kemiskinan”. Pernyataan itu juga telah menafikan adanya tanggung jawab dari negara (pemerintah) untuk mensejahterakan rakyatnya dengan menjadikan konsumsi rokok sebagai sumber kemiskinan. Mengalihkan masalah struktural/vertikal menjadi masalah pribadi dari seorang yang merokok dan membuat dirinya menjadi miskin.

Saya yakin, jika jutaan orang miskin yang katanya karena mengkonsumsi rokok akan tetap miskin andai persoalan-persoalan struktural yang saya contohkan di atas itu tak juga terselesaikan. Tak mungkin hanya dengan mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan mengendalikan konsumsi rokok khususnya bagi orang miskin perokok, maka selesai sudah masalah dari negara ini dari satu persoalan pelik bernama kemiskinan.

Tentu saja kita semua ingin kemiskinan itu hilang, dan semua orang dapat hidup sejahtera. Namun tentu saja cara memerangi kemiskinan tak bisa kita permudah dengan hanya menjadikan rokok sebagai kambing hitam. Akan lebih baik jika kita bisa mengelaborasi lebih dalam perihal penyebab kemiskinan dan mencari solusinya bersama, dan sekali lagi tanpa menyalahkan orang miskin yang sedang menikmati relaksasinya dalam tiap batang rokok yang diisapnya.

Saya merasa simpati pada orang miskin yang disalahkan atas pilihan konsumsinya karena saya juga yakin jika memang orang miskin perokok tak lagi mampu membeli kebutuhan pokoknya, mereka akan menghentikan konsumsi lainnya. Saya yakin, jika rokok diberangus, kebijakan tersebut justru akan membuat angka kemiskinan menjadi melonjak signifikan karena jutaan orang yang hidup dari hulu-hilir pertembakauan akan mendadak kehilangan nafkahnya.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Alfa Gumilang

Alfa Gumilang

Mantan Sekjend Komunitas Kretek. Saat ini aktif di Komite Nasional Pelestarian Kretek dan juru kunci portal Kabar Buruh.