Perang demi perang terjadi karena perebutan kekuasaan atas komoditas cengkeh. Perang sesama bangsa Eropa, dan perang antara kerajaan-kerajaan di kepulauan Maluku dengan para penjajah dari Eropa.
[dropcap]F[/dropcap]rancisco Rodriguez, seorang penjelajah dari Semenanjung Iberia – terletak di ujung baratdaya Eropa, antara Spanyol, Portugal, Andorra, Gibraltar dan sedikit Prancis – pada abad ke-16 memberikan penjelasan pada peta miliknya. “Ada empat pulau berwarna biru (dalam peta) yang disebut sebagai kepulauan Maluku, di mana rempah-rempah berasal.” Keempat pulau itu adalah: Ternate, Tidore, Moti dan Bacan.
Kepulauan Maluku sudah sejak lama dikenal sebagai wilayah penghasil rempah-rempah. Beberapa jenis rempah-rempah merupakan tanaman endemik, satu di antaranya adalah cengkeh.
Bangsa China menyebutnya dengan rempah lidah ayam. Ada juga yang menyebutnya dengan tumbuhan paku, dan kuku. Semua nama tersebut dikonstruksi dari bentuk bunga cengkeh yang dianggap mirip dengan ketiga nama tersebut.
Lain lagi dengan bangsa Barat, mereka menyebut cengkeh dengan nama rempah cakar, karena memang bentuknya seperti kuku yang sedang mencakar. Transformasi kata claw menjadi clove akhirnya menjadi sebutan resmi untuk cengkeh dalam bahasa Inggris.
Memiliki nama latin syzygium aromaticum, cengkeh bersama pala menjadi primadona kepulauan Maluku. Keberadaannya mengundang bangsa-bangsa Eropa untuk melakukan ekspedisi ke kepulauan Maluku. Silih berganti Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris datang untuk bisa mendapatkan rempah yang karena nilainya sering juga disebut sebagai “emas cokelat”.
Perang demi perang terjadi karena perebutan kekuasaan atas komoditas cengkeh. Perang sesama bangsa Eropa, dan perang antara kerajaan-kerajaan di kepulauan Maluku dengan para penjajah dari Eropa.
Begitu getolnya bangsa Eropa menguasai komoditas cengkeh dikarenakan harga cengkeh yang sangat mahal di pasar Eropa. Fungsinya sebagai pengawet bahan makanan dan juga bumbu penyedap makanan, mampu membuat bahan makanan bisa bertahan lebih lama. Ini juga berarti proses jual beli bahan makanan bisa dilakukan dengan lebih masif. Sehingga, di abad ke-16 hingga sesaat sebelum mesin pendingin ditemukan, cengkeh bisa dikatakan sebagai simbol penggerak industri makanan di dunia.
“Kemampuan menyimpan makanan lebih dari yang kami makan,
sekaligus berarti kemampuan menjual dan membelinya dalam jumlah
besar – dan kota-kota dagang pun mekar – perekonomian yang
dihasilkannya mengarahkan kami ke zaman pencerahan dan kemudian
revolusi industri. Tak lama setelah kami menghirup aroma yang kuat
(cengkeh) dari Timur itu dan mengubah kimiawi makanan kami,
maka kami pun mampu melakukan lompatan besar dalam bidang
budaya dan seni.” Blair, Lawrence dan Lorne Blair dalam buku
“Ring of Fire: An Indonesian Odissey”, 2010
Artinya, selain memengaruhi perubahan ekonomi di Eropa, keberadaan cengkeh di abad 16 juga memiliki andil memicu zaman pencerahan dan revolusi industri, juga kreasi budaya dan seni di Eropa. Tak salah bangsa-bangsa di Eropa melakukan perjalanan jauh menuju kepulauan Maluku untuk mendapatkan rempah primadona ini.
Saat Hindia Belanda dipimpin Gubernur Jendral J.P Coen, ia memerintahkan pembatasan produksi cengkeh. Tujuannya tentu saja untuk memonopoli penjualan dan mendongkrak harga jual cengkeh semakin tinggi lagi. Kebijakan dibuat, tanaman cengkeh hanya diperbolehkan ada di empat pulau saja: Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusa Laut. Pohon-pohon cengkeh di pulau lain dimusnahkan.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan pelayaran hongi sebagai patroli untuk mengawasi peredaran cengkeh. Revolusi Industri yang salah satu pemicunya adalah keberadaan cengkeh, pada akhirnya juga meredupkan pamor cengkeh usai ditemukannya mesin pendingin.
Tak berselang begitu lama, industri rokok di Indonesia menemukan varian baru pada produknya. Rokok kretek dengan campuran tembakau dan cengkeh mulai digemari konsumen. Hingga saat ini, saat harga cengkeh kembali merangkak naik – rerata antara Rp70 ribu – Rp150 ribu, pernah mencapai Rp200 ribu per kilo, dan 95% hasil cengkeh nasional diserap industri rokok. Sisanya untuk farmasi, kosmetik, dan industri makanan dan minuman.
Saat ini, melihat stabilnya harga cengkeh di pasaran, bisa dikatakan cengkeh adalah salah satu komoditas unggulan di negeri ini. Keberadaan cengkeh ini jugalah yang menjadi tameng sebagai pelindung tanah dan lahan masyarakat di banyak wilayah di Indonesia Timur, pelindung dari kerusakan yang disebabkan oleh eksplorasi lahan untuk mengeruk sumber daya ekstraktif hasil pertambangan.
Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah diskusi dengan Adlun Fiqri (mahasiswa dan aktivis literasi Asal Ternate), ia mengatakan jika dilihat di peta, isi peta pulau-pulau di Maluku itu sudah tumpang tindih antara perumahan, hutan dan perkebunan dengan rencana pertambangan yang kebanyakan izinnya sudah dikeluarkan.
Tak bisa dipungkiri, sumber daya mineral yang terkandung di perut bumi di kepulauan Maluku memiliki kandungan yang melimpah. Berada di wilayah cincin api, di antara tiga lempengan besar bumi, pembentukan mineral di pulau-pulau kecil yang tersebar di jazirah Maluku juga sangat besar.
Hal ini tentu mengundang investor-investor untuk menanamkan modal, mengeruk kekayaan bumi kepulauan Maluku untuk mengakumulasi sebanyak mungkin keuntungan bagi mereka.
Salah satu cara paling baik untuk mencegah kerusakan lingkungan dari aktivitas industri ekstraktif semisal pertambangan adalah dengan cara memproduktifkan lahan. Produktif dari segi hasil perkebunan atau pertanian dan produktif dalam menghasilkan keuntungan. Cengkeh, adalah satu dari sedikit komoditas pertanian yang berhasil melakukan hal ini.
Produktifitas dan harga jualnya yang cukup tinggi, bahkan hingga saat ini berhasil menjaga beberapa pulau-pulau kecil di kepulauan Maluku dari kerusakan lingkungan akibat pertambangan. “Kalau sudah ada emas cokelat, untuk apa mengeruk perut bumi kita. Sudah lingkungan rusak, kita tak dapat apa-apa dari pertambangan. Yang makan untung mereka, para pemodal saja sudah,” ujar Adlun.
Memang, gangguan-gangguan untuk tetap mengubah lahan perkebunan menjadi lahan pertambangan terus dilakukan. Di beberapa tempat karena iming-iming uang dan ditambah tekanan dan ancaman, sudah ada lahan perkebunan cengkeh yang berubah menjadi lokasi pertambangan. Namun banyak juga petani cengkeh yang mati-matian mempertahankan kebun cengkehnya karena mereka merasakan hasil yang baik dan menjamin kesejahteraan mereka dengan keberadaan kebun cengkeh.
Jadi, sekali lagi, cara terbaik untuk mempertahankan lahan dari ancaman kerusakan lingkungan akibat industri ekstraktif adalah dengan memproduktifkan lahan. Petani cengkeh di kepulauan Maluku dan beberapa wilayah di Sulawesi sudah membuktikannya.