logo boleh merokok putih 2

Tentang Asal Muasal Kampanye Antitembakau

“Perusahaan-perusahaan farmasi melihat munculnya peluang emas untuk menawarkan produk-produk nikotin mereka sendiri sebagai alat bantu berhenti merokok.”

[dropcap]A[/dropcap]wal Agustus 2000, di Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan ke-11 di Chicago, udara sepenuhnya bebas asap rokok. Ribuan pendukung terkemuka pengendalian tembakau dari seluruh dunia berkumpul untuk membahas bagaimana mereka akan melenyapkan “iblis tembakau” dari muka bumi. American Medical Association, American Cancer Society, dan Robert Wood Johnson Foundation bersama-sama menjadi tuan rumah konferensi yang dinyatakan sebagai pertemuan terbesar di dunia untuk para ahli pengendalian tembakau.

Para sponsornya adalah American Heart Association, American Lung Association, U.S. Centers for Disease Control and Prevention, dan National Cancer Institute. World Health Organization (WHO), dan United Nations Foundation yang juga bertindak sebagai tuan rumah kehormatan.

Bertindak sebagai “patron utama” yang menyumbang sejumlah besar dana untuk membiayai konferensi adalah empat perusahaan farmasi multinasional terkemuka: Glaxo Wellcome, Novartis, Pharmacia dan SmithKline Beecham. Semuanya memproduksi dan/atau memasarkan produk-produk “pengganti nikotin” atau penghenti merokok lainnya.

McNeil Consumer Products, anak perusahaan Johnson & Johnson yang memasarkan Nicotrol, diwakili oleh Robert Wood Johnson Foundation, sebuah yayasan yang menerima nyaris seluruh jumlah yang totalnya kira-kira $8 miliar dari sahamnya di J&J. Begitu menonjol kehadiran perusahaan-perusahaan farmasi itu sehingga konferensi itu lebih mirip pekan raya perusahaan obat daripada pertemuan resmi kesehatan masyarakat tingkat dunia.

Di samping mengedarkan sejumlah besar siaran pers yang mempromosikan diri sendiri, perusahaan-perusahaan farmasi juga mensponsori simposium, presentasi makalah, beasiswa, pameran poster, presentasi kampanye layanan publik, sesi riset dan stand-stand niaga. Mereka juga mensponsori sebuah sesi yang memaparkan database “penanganan berhenti merokok” yang didanai oleh perusahaan-perusahaan obat untuk Society for Research on Nicotine and Tobacco.

Sementara itu, WHO, Centers for Disease Control, World Bank, dan Cochrane Tobacco Addiction Group menyediakan dukungan teknis para ahli untuk melengkapi database itu. Salah satu sesi paling populer dari seluruh konferensi itu, yang disesaki lebih dari 4.000 hadirin, adalah “Pleno Nikotin: Pertunjukan Ilmu Terakbar di Muka Bumi”, disponsori oleh SmithKline Beecham [SKB], pemasar koyok Nicoderm dan permen karet Nicorette.

Merebut Pasar Tembakau
Secara keseluruhan, Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan ke-11 menjadi peluang pemasaran yang amat berhasil bagi industri farmasi. Acara ini memperkokoh hubungan mereka yang sudah erat dengan organisasi-organisasi anti-tembakau global, para pemuka dunia kedokteran, WHO, dan badan-badan pemerintah federal AS.

Acara ini juga memastikan bahwa komunitas kesehatan publik global akan terus mempromosikan dengan penuh gairah aneka obat-obatan berhenti merokok dari perusahaan-perusahaan tadi. Lebih dari itu, konferensi ini juga meyakinkan perusahaan-perusahaan obat bahwa kampanye mereka untuk merebut kendali nikotin dari perusahaan-perusahaan tembakau sudah berjalan di jalur yang benar.

Awal mula Konferensi Dunia ke-11 ini adalah puncak dari sekian tahun penyusunan rencana dan kerja yang diupayakan perusahaan-perusahaan farmasi. Ketika para ilmuwan Pharmacia mulai mencoba mengembangkan produk nikotin “alternatif” sejak 1962 silam – dua tahun sebelum laporan pertama Surgeon General tentang dampak merokok bagi kesehatan – perusahaan itu jelas sadar mengenai terus berkembangnya riset yang mengaitkan kanker paru-paru dengan merokok.

Mungkin Pharmacia berpikir bahwa ia bisa merebut peluang dari apa yang diyakini sebagai pasar yang terus tumbuh bagi produk-produk yang membantu berhenti merokok. Namun, jika itulah maksud Pharmacia, berarti mereka sudah menyadari bahwa nikotin adalah zat dalam tembakau yang “mendorong kebiasaan” (habituating).

Pharmacia memang merupakan perusahaan farmasi pertama yang menghasilkan produk untuk terapi penggantian nikotin. Perusahaan ini mengembangkan permen karet nikotin sejak 1971, dan pada 1978 SmithKline Beecham mulai memasarkan permen karet itu dengan merek “Nicorette” di Swiss.

Pada awal 1980-an, Jed Rose, peneliti Duke University, menemukan dan mematenkan koyok nikotin transdermal (penggunaan obat melalui kulit) yang menjadi basis produk Nicoderm dari SmithKline dan produk Nicotrol dari McNeil Consumer Products, anak perusahaan Johnson & Johnson.

FDA pertama kali menyetujui produk-produk ini dipasarkan sebagai obat berhenti merokok dengan resep dokter di AS tahun 1991. Kedua koyok itu, serta permen karet Nicorette, sebenarnya diproduksi oleh Pharmacia. Namun peristiwa terpenting yang mengubah produk-produk pembantu berhenti merokok yang relatif tidak efektif itu menjadi emas murni adalah laporan Surgeon General C. Everett Koop tahun 1988, “Dampak Kesehatan Merokok: Kecanduan Nikotin.”

Sebelum terbitnya laporan ini, seluruh laporan sebelumnya dari Surgeon General mencirikan nikotin dalam tembakau sebagai “mendorong kebiasaan” (habituating). Sedangkan laporan 1988 itu secara efektif mengubah definisi ketagihan (addiction) sehingga mencakup nikotin dalam produk-produk tembakau. Dengan demikian, “kebiasaan” merokok berubah menjadi suatu “ketagihan” yang perlu “ditangani” oleh ahli terapi perilaku dan dengan sarana obat-obatan yang membantu berhenti merokok.

Nikotin Untuk Terapi
Sementara itu, para peneliti menemukan bahwa nikotin memiliki kemungkinan dimanfaatkan bagi pengobatan, untuk merawat penyakit-penyakit tertentu. Mereka sudah mengetahui bahwa nikotin meningkatkan konsentrasi dan kontrol syaraf motorik, bahwa nikotin meningkatkan ambang batas rasa sakit pada orang-orang tertentu, bahwa nikotin membantu menangkal rasa lapar.

Karena semua alasan itulah, dengan mudah dan dalam jumlah besar rokok dipasok untuk para serdadu Perang Dunia I dan II. Namun riset juga menunjukkan bahwa nikotin dapat dipakai untuk menangani kondisi-kondisi yang melemahkan seorang penderita, seperti pada penderita Alzheimer dan Parkinson.

Sejak itu, lebih banyak lagi manfaat nikotin dan tembakau untuk kepentingan terapi ditemukan. Namun masalahnya bagi perusahaan-perusahaan farmasi adalah bahwa nikotin itu sendiri tidak dapat dipatenkan karena ia terkandung secara alami pada tembakau, tomat, kentang dan sayur-sayuran lain.

Sehingga yang bisa dipatenkan adalah senyawa “mirip nikotin” dan sarana pengantar nikotin. Karena itulah perusahaan-perusahaan farmasi menjadi kian tertarik untuk mengembangkan senyawa-senyawa nikotin baru, serta sarana pengantar nikotin yang bisa mereka patenkan. Bukan hanya untuk membantu berhenti merokok, namun akhirnya juga untuk keperluan terapi lainnya.

Memasuki wilayah kesehatan publik Mengingat bahwa pada 1980-an, badan-badan kesehatan masyarakat sudah bersiaga penuh untuk melancarkan serangan maut terhadap perilaku merokok sebagai isu kesehatan publik. Perusahaan-perusahaan farmasi melihat munculnya peluang emas untuk menawarkan produk-produk nikotin mereka sendiri sebagai alat bantu berhenti merokok.

Jelas tak ada yang lebih menguntungkan dibandingkan kenyataan bahwa lembaga-lembaga seperti Surgeon General, AMA, American Cancer Society, American Lung Association, American Heart Association, Centers for Disease Control, National Cancer Institute, dan badan-badan pemerintah AS lainnya (dan kemudian juga WHO), sungguh-sungguh membantu memasarkan obat-obatan berhenti merokok sebagai bagian dari program pemberantasan merokok.

Dengan demikian, pada awal 1990-an perusahaan-perusahaan farmasi mulai membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga kesehatan publik. Pada 1991, Robert Wood Johnson Foundation (RWJF), pemegang saham tunggal terbesar Johnson & Johnson, memulai program hibah antitembakau, mendanai program-program antitembakau, dan riset kecanduan nikotin.

Pada 1995 seorang wakil RWJF duduk di Komite antar lembaga AS untuk rokok dan kesehatan, membantu mengoordinasikan program pengendalian tembakau nasional. Pada 1996, Centers for Disease Control memasukkan RWJF sebagai “mitra” untuk pengendalian tembakau. Juga pada 1996, RWJF, National Cancer Institute dan National Institute on Drug Abuse mengumumkan bahwa “Pusat Penelitian Penggunaan Tembakau Transdisipliner” yang didanai dan dirancang bersama-sama telah didirikan di tujuh lembaga akademis.

Perusahaan-perusahaan farmasi besar lainnya pun semakin banyak mendanai pengendalian tembakau di AS dan negara-negara lain. Pada Januari 1999, Gro Harlem Brundtland mengumumkan bahwa Glaxo Wellcome, Novartis dan Pharmacia telah “bermitra” dengan WHO dalam program anti-tembakau.

Badan-badan kesehatan publik global kini berjoget mengikuti gendang yang ditabuh perusahaan-perusahaan farmasi dengan rencana besar untuk:

1. Menaikkan pajak tembakau sehingga harga produk-produk farmasi lebih kompetitif dibandingkan produk tembakau.

2. Melekatkan cap jahat terhadap industri tembakau dan melarang iklan produk-produk mereka.

3. Memberlakukan larangan merokok untuk memaksa para perokok agar berusaha berhenti merokok dengan menggunakan produk-produk farmasi atau memakai produkproduk “pengganti nikotin” sebagai penyulih di saat mereka tak dapat merokok.

4. Mempromosikan berhenti merokok dan “penanganan” kecanduan nikotin.

5. Mempromosikan rangkaian penanganan lengkap bagi kecanduan nikotin melalui asuransi kesehatan negeri maupun swasta.

Seluruh siasat itu jelas mendongkrak laba perusahaan-perusahaan farmasi. Itulah sebabnya mereka mampu mendanai pesta raya besar-besaran bebas pajak untuk badan-badan pengendalian tembakau global di Chicago pada Agustus 2000, yakni Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan ke-11. Perusahaan-perusahaan farmasi merasa bahwa mereka sudah berada di jalur yang benar untuk memenangkan perang nikotin.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Alfa Gumilang

Alfa Gumilang

Mantan Sekjend Komunitas Kretek. Saat ini aktif di Komite Nasional Pelestarian Kretek dan juru kunci portal Kabar Buruh.