“Saat itu, menurut Gus Dur, kebijakan rezim Orba mendirikan BPPC lebih mengacaukan stabilitas nasional dibanding isu SARA.”
[dropcap]M[/dropcap]ungkin banyak dari Anda tentu sepakat dengan saya, isu SARA yang cukup ramai dihembuskan semenjak gelaran Pilpres 2014, dan semakin menajam saat Pilkada DKI 2017, sudah masuk tahap sangat menjengkelkan, dan bahkan memuakkan. Akan tetapi bukan kali ini saja isu SARA merebak di negeri ini. Sejak negeri ini berdiri, ada siklus tetap isu SARA berhembus kencang dan marak diperbincangkan.
Salah satu periode tersebut, diolah sedemikian rupa dengan cantiknya oleh Gus Dur untuk menunjukkan keberpihakannya kepada petani, sekaligus menghantam rezim Orde Baru dengan kritik khas beliau. Awal hingga pertengahan periode 90-an, Gus Dur dengan ciri khasnya menyindir maraknya pembahasan isu SARA yang kembali bergejolak di negeri ini. Menurut beliau, isu SARA belum ada apa-apanya terhadap gangguan stabilitas nasional, kecuali jika ditambah huruf di ‘P’ di belakangnya, menjadi SARA(P).
Sebagai ulama, budayawan, tokoh nasional dan cucu dari pendiri organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, pernyataan Gus Dur ini menjadi sorotan berbagai media di negeri ini. Tentu saja publik dan rezim Orba dibuat resah dengan pernyataan Gus Dur karena ‘sarap’ secara harfiah bisa berarti ‘tidak waras’.
Rezim Orba semakin gusar saat Gus Dur mengungkapkan bahwa huruf ‘P’ yang ia maksudkan di belakang kata SARA adalah Pembakaran Pohon Cengkeh.
Pada 11 April 1992, rezim Orba mengeluarkan Keppres Nomor 20/1992 jo Inpres Nomor 1/1992. Keppres ini menjadi legalitas pembentukan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). BPPC terdiri dari 3 unsur: Inkud sebagai perwakilan koperasi, PT Kerta Niaga mewakili unsur BUMN, dan PT Kembang Cengkeh Nasional milik Tomy Soeharto mewakili unsur swasta. Saat itu Inkud dipimpin oleh Nurdin Halid, dan Tomy Soeharto didapuk menjadi kepala BPPC.
Tak lama setelah terbentuk, BPPC memonopoli penjualan cengkeh. Mereka mengeluarkan peraturan yang mewajibkan petani menjual cengkehnya ke KUD untuk kemudian KUD menyetorkan hasil cengkeh ke BPPC, sekali lagi hanya ke BPPC.
Selain itu BPPC juga mengeluarkan keputusan tentang harga cengkeh, harga yang turun drastis dari harga sebelumnya, mencapai 60% – 80% dari harga sebelumnya. Kedua peraturan ini sangat merugikan, menghancurkan sumber pemasukan para petani cengkeh. Petani cengkeh yang kecewa melampiaskan kekecewaan yang salah satunya dengan membakar pohon cengkeh.
Saat itu, menurut Gus Dur, kebijakan rezim Orba mendirikan BPPC lebih mengacaukan stabilitas nasional dibanding isu SARA. Inilah yang menjadi alasan Gus Dur mengeluarkan pernyataan kontroversial yang meresahkan rezim Orba, namun tentu saja didukung oleh seluruh petani cengkeh.
Tak lama setelah Orba tumbang, dan Gus Dur terpilih menjadi presiden, BPPC dimusnahkan, seperti saat petani memusnahkan pohon-pohon cengkeh mereka karena keberadaan BPPC. Harga cengkeh perlahan kembali menjanjikan, petani kembali menuju sejahtera. Cengkeh, seperti juga tembakau, dan beberapa komoditas lainnya menjadi andalan pertanian di negeri ini. Dan seperti yang kita ketahui, baik cengkeh dan tembakau, lebih dari 90 persen hasilnya diserap oleh industri kretek.
Selain untuk industri kretek, cengkeh juga dimanfaatkan untuk keperluan lainnya. Minyak cengkeh banyak dimanfaatkan sebagai agen perasa dan pemberi aroma pada berbagai makanan karena aroma dan rasanya yang kuat dan pedas. Selain itu minyak cengkeh memiliki aktivitas biologis karena mengandung eugenol dengan kadar tinggi, yaitu sebagai antiseptik dan analgesik pada pengobatan gigi dan mulut, antifungal, antibakteri, antioksidan, antikarsinogen dan anti radikal bebas.
Dahulu, cengkeh bersama pala dan beberapa komoditas rempah lainnya menjadi primadona nusantara. Keberadaannya di awal mendatangkan banyak keuntungan bagi petani, namun karena kerakusan, cengkeh menjadi salah satu alasan mengapa negeri ini dijajah, jadi rebutan Spanyol, Portugis dan Belanda.
Cengeh kemudian perlahan ditinggalkan karena penemuan mesin pendingin. Titik balik kejayaan petani cengkeh saat industri kretek mulai menggeliat, hingga akhirnya menguasai pasar nasional.
Saat akhirnya petani cengkeh kembali berjaya, kondisi ini dimanfaatkan oleh rezim Orba, untuk memonopoli, merampas keuntungan untuk kroni-kroni mereka sendiri.
Setelah Orba tumbang, cengkeh kembali berkibar, hingga kini, dan setidaknya selama industri kretek tetap berjalan di negeri ini. Cengkeh, saya rasa, adalah komoditas yang perjalannya tak dapat dipisahkan dari sejarah perpolitikan di negeri ini.