“Pada ketinggian 900 mdpl yang begitu dingin, Munduk adalah hamparan yang sangat cocok ditanami cengkeh. Kondisi geografis Munduk mirip dengan tempat cengkeh berasal, tanaman endemik nusantara dari Pulau Maluku.”
[dropcap]S[/dropcap]aya baru saja menyelesaikan perjalanan awal dari sebuah rangkaian perjalanan yang cukup panjang untuk melihat kondisi budidaya, tataniaga dan perlindungan cengkeh di berbagai pelosok negeri ini. Cukup banyak hal yang didapat dari perjalangan awal melihat cengkeh di Desa Munduk, Bali, dan tentunya akan lebih banyak hal yang didapat saat melanjutkan perjalanan ini.
Saya tak sendiri, saya bersama beberapa orang dari Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), dan Komunitas Kretek, serta para peneliti. Perjalanan awal yang dimulai dari Desa Munduk, kami kemas dalam bentuk ekspedisi dengan nama “Ekspedisi Munduk”. Terima kasih saya ucapkan atas pengalaman selama satu minggu lebih di Munduk, yang didukungan dan diberikan fasilitas dari dua orang kakak-beradik petani cengkeh, Putu Ardana dan Komang Armada.
Pada ketinggian 900 mdpl yang begitu dingin, Munduk adalah hamparan yang sangat cocok ditanami cengkeh. Kondisi geografis Munduk mirip dengan tempat cengkeh berasal, tanaman endemik nusantara dari Pulau Maluku. Hamparan gunung yang terpapar angin laut seperti habitatnya di Maluku adalah kondisi ideal untuk tumbuh kembangnya cengkeh. Meski sebenarnya dapat tumbuh di manapun di seluruh jengkal di negeri ini, namun hamparan gunung di dekat pantai adalah tempat terbaik bagi tumbuh kembangnya.
Sebelum memulai perjalanan ini, saya membaca berbagai literatur sebagai modal awal sebelum terjun di lapangan. Salah satu informasi yang didapat adalah rencana Kementerian Pertanian yang akan mengucurkan dana lebih dari Rp2 triliun untuk program swasembada rempah, di mana cengkeh adalah salah satunya.
Sekilas ini seperti sebuah kabar baik, meskipun jika dibedah lebih jauh lagi, rencana kementerian yang dipimpin oleh Amran Sulaiman ini lebih terasa sebagai kebijakan romantisme sejarah tanpa didasari studi yang matang untuk menetapkan kebijakan.
Kebijakan swasembada rempah dengan porsi anggaran yang sangat besar, jika kebijakannya serampangan justru hanya akan membuang APBN. Dalam hal ini patut kita pertanyakan apakah Pak Amran sudah ngecek data lapangan yang meliputi petani, cengkeh, dan tanahnya sebagai satu kesatuan studi yang utuh? Atau hanya mengandalkan data-data statistik produktivitas saja?
Produksi cengkeh kita sejauh ini sudah mencukupi untuk kebutuhan cengkeh dalam negeri. Produksi cengkeh Indonesia pada tahun 2015 lalu sebesar 139 ribu ton, itu sudah cukup untuk suplai industri kretek yang menyerap 93% produksi cengkeh di Indonesia. Jika program besar Kementan tersebut dijalankan, dikhawatirkan justru akan menimbulkan over produksi cengkeh yang di kemudian hari akan membuat harga cengkeh menjadi turun dan petani akan menjadi korban pertamanya.
Over produksi cengkeh pernah terjadi pada akhir 80-an ketika Presiden Soeharto mengeluarkan keputusan untuk mendirikan Badan Penyelenggara dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Sebuah keputusan yang justru menyengsarakan petani cengkeh di seluruh Indonesia karena harga yang terjun bebas. Untuk mengantisipasi kejadian serupa dan dikaitkan dengan Rencana Strategis Kementerian Pertanian sebuah studi yang komprehensif harus dilaksanakan terlebih dahulu sebelum petani menjadi korban kebijakan yang tidak tepat untuk mereka.
Kondisi pada masa lalu ketika VOC menguasai dan memonopoli pertanian dan perdagangan cengkeh tentu sangat berbeda dengan saat ini. Dahulu bangsa Eropa memang begitu berjaya dengan menguasai cengkeh dan rempah. Akan tetap apakah penguasaan rempah dan cengkeh di masa sekarang dengan produksi yang besar akan membawa kejayaan bagi Indonesia? Hal ini yang masih perlu dikaji lebih dalam.
Pemanfaatan cenkeh dahulu sangat berbeda dengan hari ini, begitu juga dengan permintaan akan cengkeh dari pasar dunia juga jauh berbeda. Permintaan cengkeh dari negara lain untuk saat ini bukan difungsikan sebagai bahan pengawet makanan, lebih banyak digunakan untuk keperluan bumbu masakan dan minyak cengkeh.
Dana swasembada rempah sebesar itu menurut saya lebih baik digunakan untuk mendanai riset tentang pemanfaatan cengkeh dan memperluas serapan cengkeh. Betul saat ini 93% produksi nasional dimanfaatkan oleh industri kretek di Indonesia. Namun perlu disadari bahwa komoditas yang hanya mengandalkan dan bergantung pada satu industri saja akan rentan dan berbahaya bagi keberlangsungan komoditi tersebut.
Dalam perjalanan ekspedisi di Munduk, saya banyak berdiskusi dengan para petani. Pada tahun ini panen cengkeh tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Petani cengkeh memperkirakan hasil panen cengkeh tahun ini akan buruk, bukan hanya di Munduk, tapi kemungkinan besar juga akan terjadi di berbagai daerah penghasil cengkeh akibat anomali cuaca.
Pada situasi seperti inilah, peran pemerintah menjadi sangat penting. Upaya untuk menanggulanginya, dan memberikan perlindungan bagi petani cengkeh pada saat menghadapi masa sulit adalah kebijakan yang mungkin paling dibutuhkan bagi pertanian cengkeh (rempah).
Ekspedisi Munduk telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi saya yang bergelut pada upaya melestarikan kretek. Yakin pula bahwa ekspedisi ini juga nantinya akan sangat berguna bagi petani cengkeh. Catatan-catatan lapangan yang kami tuliskan, studi pustaka yang kami lakukan, dan berbagai analisa yang kami diskusikan, serta berbagai rekomendasi akan kami hasilkan dari langkah selanjutnya penelitian budidaya cengkeh yang kami lakukan.
Bukan hanya itu, berbagai cerita dari pengalaman di lapangan juga akan kami tuliskan dan kami kabarkan pada Anda. Yakin bahwa perjalanan panjang ini juga akan berguna bagi anda yang membaca catatan-catatan kami.