logo boleh merokok putih 2

Kelompok Tani dan Sebuah Usaha Kolektif yang Luhur

“Pekerjaan rutin kelompok tani adalah gotong royong merawat kebun. Selain itu, kelompok tani ini juga menekankan pentingnya penggunaan pupuk organik. Sejauh ini, kelompok tani yang dipimpin Nengah Sugiana rutin memberikan penyuluhan untuk pertanian kopi.”

[dropcap]T[/dropcap]erkadang, satu inisiatif kecil bisa memberi manfaat yang besar, bahkan menjadi nikmat untuk sesama dan sekitar. Nengah Sugiana, seorang petani, dari inisiatifnya, sebuah kelompok tani terbentuk. Sebuah kelompok yang memberi manfaat bagi kelompoknya, para petani di Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, Bali.

Nengah Sugiana berasal dari Karangasem. Namun, dua tahun sebelum ia lahir, orang tuanya mengungsi ke Desa Pujungan sebagai akibat letusan Gunung Agung. Dari yang awalnya hanya mengungsi untuk sementara waktu, menjadi tinggal permanen. Orang tua Nengah Sugiana memutuskan untuk menetap.

Menurut penuturan Nengah Sugiana, dari 70 Kepala Keluarga (KK) yang ada di Tempek Nyaring Repet (Setingkat RT), di Pujungan, 68 di antaranya berasal dari Karangasem.

Nengah Sugiana menjadi petani cengkeh, menggarap lahan warisan dari kedua orang tuanya. Lahan seluas 2,5 hektar tersebut berisi pohon cengkeh, kopi, pisang, dan alpukat. Ketika musim panen normal, cengkeh yang dihasilkan sebanyak 18 kuintal. Selain menggarapnya sendiri, Nengah Sugiana juga memperkerjakan tenaga penggarap.

Pembagian hasil antara Nengah Sugiana dengan tenaga penggarapnya adalah 2/3 bagian untuk pemilik lahan, dan 1/3 untuk penggarap. Untuk panen cengkeh ia memanen sendiri, tidak diserahkan kepada pemajeg atau pengijon. Untuk 2,5 hektar kebun cengkeh tersebut, ia menggunakan jasa 10 orang tenaga pemetik dengan sistem borongan, per kilogram cengkeh basah dengan tangkainya dihargai Rp5 ribu. Hasil panen cengkeh ia jual ke Pak Ngurah di Desa Banyuatis.

Untuk merawat kebun, Nengah Sugiana mengerjakannya dengan cara gotong royong, berisi lima orang. Pekerjaan yang dilakukan antara lain, membersihkan kebun, mencangkul, memberikan pupuk organik. Pupuk tersebut dibuat dari campuran limbah kulit kopi dan kotoran sapi. Dengan sistem ini, ia tak perlu mengeluarkan biaya besar. Biaya yang dikeluarkan sebatas menyediakan kopi untuk anggota yang bergotong royong.

Pada tahun 2013, petani dengan tingkat kewaspadaan tinggi ini berinisiatif mendirikan kelompok tani bernama Batur Amerta. Tujuannya supaya para petani di Desa Pujungan bisa mengakses bantuan dari pemerintah. Pada awal pendirian, ada 35 petani yang tertarik untuk mendaftar. Minat untuk bergabung dengan kelompok tani semakin membesar, petani berusia 52 tahun tersebut kemudian berinisiatif mendirikan kelompok kedua, yang ia beri nama Tani Yahumput.

Pekerjaan rutin kelompok tani adalah gotong royong merawat kebun. Selain itu, kelompok tani ini juga menekankan pentingnya penggunaan pupuk organik. Sejauh ini, kelompok tani yang dipimpin Nengah Sugiana rutin memberikan penyuluhan untuk pertanian kopi. Mereka juga pernah sekali mengakses bantuan pupuk organik dari pemerintah.

Selain itu, kelompok tani ini juga memberikan pelatihan pembuatan sarang lebah untuk diambil madunya. Untuk pertanian cengkeh sendiri belum ada pelatihan khusus. Alasannya, menurut Nengah Sugiana, anjuran penggunaan pupuk organik untuk kopi berimbas juga pada pertanian cengkeh.

Kebun cengkeh juga menggunakan pupuk organik, tidak menggunakan pupuk kimia.

Saat ini banyak petani yang mulai beralih dari kopi ke cengkeh. Alasannya, selain sangat menguntungkan, usaha, tenaga, dan kerumitan untuk bertani cengkeh juga lebih ringan ketimbang bertani kopi. Namun, peminatnya sempat menurun, pohon kopi tetap akan dipertahankan. Pengurangan memang dilakukan, tetapi bukan dihilangkan.

Gagal panen tahun ini membuat perekonomian warga menurun. Ditambah lagi dengan kopi yang juga menurun jumlah panenannya dibanding tahun lalu. Untuk mengatasi ini, menurut Nengah Sugiana, kebanyakan petani mengandalkan hasil pisang.

Jika tidak bisa mengandalkan hasil kebun, petani mencari nafkah dengan menjadi pekerja bangunan di luar desa. Selain itu, ada juga beberapa yang memilih berdagang buah atau sayur di pasar setempat.

Keberadaan kolompok tani, selain untuk keperluan akses ke bantuan pemerintah, memberi petani akses untuk mendapatkan bibit. Selain itu, biaya mengurus kebun juga lebih ringan karena dikerjakan secara gotong royong. Biaya yang menurun, artinya petani bisa memanfaatkan dana yang ada untuk bertahan hidup ketika gagal panen.

Semuanya dimulai dari inisiatif keci. Sebuah inisiatif untuk bekerja secara kolektif, bersama-sama, untuk kebaikan yang merata.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)