EKSPEDISI CENGKEH

Memahami Kerja Seorang Pengijon Cengkeh

“Ketut Nosen memilih profesi sebagai pemajeg (pengijon) – orang yang membeli padi dan sebagainya dengan cara ijon – sejak 2004. Saat itu, ia mulai belajar profesi pengijon sembari tetap bekerja sebagai penggarap sawah milik orang lain.”

[dropcap]P[/dropcap]emasukan lain diperolehnya berasal dari kebun cengkeh warisan orang tua. Pada akhirnya Ketut memutuskan serius menjadi pengijon, dan meninggalkan profesi penggarap sawah karena merasa tenaga sudah berkurang. Awalnya, ia menjadi pengijon dengan memanen sendiri kebun yang ia ijon. Ia dibantu oleh kedua orang anak lelakinya.

Ketika musim normal, rata-rata cengkeh kering hasil mengijon sebanyak 13 hingga 16 ton. Musim panen di Desa Munduk dan sekitarnya berlangsung selama empat bulan. Saat pohon cengkeh sudah mulai berbunga, jangka waktu panen di pohon tersebut selama 15 hari. Jika lebih dari 15 hari belum dipanen, bunga cengkeh sudah tidak berharga lagi.

Ada dua cara pembayaran antara pengijon dan pemilik kebun. Pertama, dibayar secara bertahap dengan pelunasan setelah panen selesai. Kedua, dibayar langsung di awal transaksi. Biasanya, jika sudah kenal lama dengan pemilik kebun, cara pembayaran pertama dilakukan. Jika belum terlalu kenal, pembayaran cara kedua. Ketut Nosen lebih sering menggunakan cara pembayaran pertama.

Dalam sekali musim panen normal, Ketut mempekerjakan 50 orang tenaga pemetik. Tenaga pemetik datang dari Karangasem, Pasuruan, dan Munduk. Pemetik paling banyak berasal dari Karangasem dan Pasuruan.

Tenaga pemetik dari Munduk maksimal 10 orang. Untuk lima tahun terakhir, mencari tenaga pemetik cukup sulit. Ini kendala besar yang dihadapi pengijon saat musim panen, terutama pengijon-pengijon baru yang belum memiliki jaringan pemetik.

Sistem pembayaran tenaga pemetik berupa borongan. Per kilogram cengkeh yang dipanen dibayar Rp5.000. Selain sistem borongan, ada juga sistem harian. Saat ini, biaya pembayaran sistem harian sebesar Rp100.000.

Pengijon dan petani yang memanen cengkeh sendiri menghindari pembayaran sistem harian. Sistem borongan lebih menguntungkan kedua belah pihak menurut Ketut Nosen. Selain untuk membayar tenaga pemetik, pengijon juga mengeluarkan biaya untuk membuat tangga untuk panen. Biaya pembuatan satu tangga pendek (10 meter) sebesar Rp100.000, untuk yang lebih dari 15 meter, sebesar Rp200.000. Jika beli jadi, satu tangga sebesar Rp350.000.

Untuk memisahkan bunga cengkeh dari tangkainya, biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp1.200 per kilogram. Biaya lain yang dikeluarkan pengijon adalah biaya krama tamiyu, atau biaya yang dikenakan kepada tamu yang mencari nafkah di desa tersebut. Para pemetik mendapat Rp25.000 per orang, per bulan.

Setelah dipanen, Ketut Nosen mengeringkan cengkeh di daerah Seririt. Lama pengeringan tiga hingga empat hari. Biaya pengeringan menggunakan hitungan 16 kilogram untuk 100 kilogram cengkeh kering.

Ketut Nosen menjual cengkeh kering di Singaraja. Ketut Nosen sendiri sudah punya pengepul yang sudah menjadi langganan, baik di Singaraja maupun Munduk. Untuk mendapatkan modal sebelum mengijon, Ketut meminjam uang di bank. Sekali pinjam Rp200 juta dengan jaminan sertifikat tanah. Pengembalian uang pinjaman dalam jangka waktu semusim panen (12 bulan) dengan bunga sebesar 12%.

Selain pinjam di bank, bisa juga ke beberapa orang kaya di Munduk. Namun bunga yang dibebankan terlalu besar sehingga Ketut tidak mau meminjam dengan cara itu. Para pengijon juga harus membayar sebesar 1% dari total penjualan semusim kepada pihak desa. Untuk pengijon luar desa yang mengijon di Munduk, dikenakan biaya 2%. Ini berlaku juga jika pengijon dari Munduk mengijon di desa lain.

Selain berprofesi sebagai pemajeg, Ketut Nosen sehari-hari mengurus kebun cengkeh di dekat rumahnya. Ia memiliki 50 batang pohon cengkeh warisan orang tuanya. Rata-rata hasil cengkeh dari kebunnya sebanyak 500 kilogram. Tenaga pemetik yang bekerja di kebun Ketut Nosen sebanyak lima orang di musim panen normal.

Saat ini tak ada pekerjaan lain yang dilakukan Ketut Nosen selain mengijon dan berkebun cengkeh. Sebelum 2008, ia sempat menggarap sawah. Selain itu, ia dahulu juga memiliki pohon kopi yang ditanam di sela pohon cengkeh. Pohon kopi tidak berbuah dengan baik, ia memutuskan memangkas pohon kopinya.

Untuk menutupi kebutuhan harian keluarga, Ketut mengandalkan uang sisa hasil panen tahun sebelumnya. Mengurus kebun mendapat bantuan dari anak yang bekerja sebagai pelayan di Puri Lumbung dan salah satu hotel lain di Munduk.

Tinggalkan Balasan