“Tahun 2016, negara mendapatkan keuntungan dari industri rokok mendekati Rp140 trilyun hanya dari pemasukan cukai saja. Belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD).”
[dropcap]R[/dropcap]okok selalu menjadi penyumbang pendapatan negara terbesar dari cukai, pada 2015 cukai rokok memberikan pemasukan kepada negara sebesar Rp139,5 triliun. Penerimaan ini mencapai hampir 96% penerimaan cukai negara. Tak bisa dimungkiri, penerimaan negara dari cukai mutlak didominasi dari industri hasil tembakau dan cengkeh sebagai bahan baku inti rokok kretek.
Mengapa rokok kretek? Karena 93 persen dari produksi rokok nasional adalah produk-produk rokok kretek. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Cukai.
Cukai dikenakan terhadap Barang Kena Cukai yang terdiri dari:
- Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya;
- Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol;
- Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.
Barang kena cukai adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik, yang :
- Konsumsinya perlu dikendalikan,
- Peredarannya perlu diawasi,
- Pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup,
- Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Mari kita tinggalkan peraturan yang membuat kepala pusing di atas. Saya hendak mengajak Anda untuk sedikit berhitung pada kesempatan kali ini. Anda tentu pernah atau bahkan sering membaca berita miring tentang rokok dan masyarakat Indonesia.
“Wow, Dalam Sehari Masyarakat Indonesia Membakar Rp600 Milyar Uang Lewat Rokok,” atau contoh lain seperti ini “Luar Biasa, Rp221 Trilyun Uang Dibakar dalam Setahun Akibat Konsumsi Rokok,” dan berbagai macam judul berita mencengangkan lainnya.
Faktanya, untuk tahun ini menurut Ismanu Sumiran, Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Rokok Indonesia (GAPRI), ada sekitar Rp400 trilyun uang yang beredar dalam industri rokok. Uang itu tersebar kepada petani tembakau dan cengkeh dan bahan baku rokok lainnya, para pengusaha rokok, para pekerja di pabrik-pabrik rokok, dan yang paling banyak mendapatkan kue keuntungan tanpa mengeluarkan modal adalah, negara.
Alih-alih membakar uang, pengeluaran para perokok di negeri ini dimanfaatkan oleh seluruh pelaku usaha di bidang rokok, dan, sekali lagi, sebagai penikmat terbesar adalah, negara. Tahun 2016, negara mendapatkan keuntungan dari industri rokok mendekati Rp140 trilyun hanya dari pemasukan cukai saja. Belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD).
Dari semua pemasukan itu, siapa yang paling berkontribusi untuk negara? Tentu saja para perokok. Dari tiap bungkus rokok (berisi 16 batang) Sigaret Kretek Mesin (SKM) seharga Rp18.000, cukai yang dibebankan tiap batangnya sebesar Rp530 (47% sesuai dengan peraturan negara). Maka untuk 16 batang rokok dalam tiap bungkusnya, sebesar Rp8.480 langsung masuk ke kas negara.
Selanjutnya tiap batang rokok dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 9,1%, Rp102 per batang dan Rp1.632 per bungkus. Yang terakhir, Pajak dan Retribusi Daerah sebesar 10% dari harga cukai tiap batangnya atau Rp848 per bungkus. Total penerimaan negara dari sebungkus rokok seharga Rp18.000 adalah Rp10.960.
Apa arti dari semua ini? Secara kasat mata, perokok memiliki peran besar terhadap pemasukan negara dari cukai dan pajak. Pemasukan tersebut mengalir hampir ke seluruh sektor dengan alokasi terbesar diterima sektor kesehatan.
Sayangnya, dengan andil besar ini, para perokok masih mengalami perlakuan yang kurang adil. Ruang merokok yang kurang representatif, selalu distigmakan buruk dan sumber penyakit, dianggap membakar uang dengan sia-sia dan merugikan negara.
Saya kira, perlakuan terhadap para perokok begitu mengenaskan di negeri ini. Mereka menyumbang pendapatan besar untuk negara akan tetapi mereka selalu dipandang sebagai sumber kerusakan dan selalu merepotkan negara. Bukankah merokok itu tindakan legal? Dan bukankah sudah terlihat jelas andil besar perokok terhadap negara? Lalu kurang apa lagi sehingga para perokok masih terus saja dianggap musuh yang berbahaya?