CUKAI

Dengan Aksara Pegon, K.H. Sholeh Darat Melawan Kolonialisme

“Dengan situasi dan kondisi itulah, K.H. Sholeh Darat memilih aksara pegon untuk menulis karya kitabnya. Dengan aksara pegon penjajah tidak gampang memahaminya, dan masyarakat pribumi mudah untuk belajar agama.”

[dropcap]K[/dropcap].H. Sholeh Darat adalah lahir lebih dahulu dari pada kretek. Beliau lahir pada 1820 dan wafat pada 1903, sedangkan temuan kretek di Kudus diperkirakan baru pada 1870-80, oleh H. Jamhari. K.H. Sholeh Darat lahir di desa Kedung Jumbleng, Mayong, Jepara. Ia adalah anak dari Kiai Umar bin Tasmin, seorang pejuang yang membantu Pangeran Diponegoro. Konon diceritakan bahwa Kiai Umar adalah penasihat keagamaan Pangeran Diponegoro.

Nama aslinya adalah Muhammad Sholeh, ia terkenal dengan sebutan Sholeh Darat. Sepulang dari Makah, ia tinggal di Kampung Mlayu Darat – sekarang berubah nama menjadi kampung Dadapsari Kecamatan Semarang Utara – di mana daerah ini dahulu sebagai tempat mendaratnya kapal-kapal oleh dari luar Jawa.

Dalam sejarahnya K.H.Sholeh Darat pulang ke Nusantara atas ajakan Kiai Hadi Girikusumo. Bahkan diceritakan saat pulang, K.H. Sholeh Darat di taruh dalam tas koper besar, karena sulitnya membawa K.H. Sholeh Darat pulang, di mana saat itu ia diangkat pemerintah Makah menjadi tenaga pengajar karena kecerdasannya.

Namun pemikiran Kiai Hadi Girikusumo berbeda, ia memendang K.H. Sholeh Darat sangat dibutuhkan masyarakat Jawa yang masih berada dalam kungkungan penjajah. Setelah berhasil menculik dan menaruh K.H. Sholeh Darat dalam koper, dalam perjalanan pulang melalui Singapura ternyata petugas keamanan di Singapura mengetahui hal tersebut, bahkan dicurigai sebagai penyelundup, pada akhirnya K.H. Sholeh Darat ditahan hingga terjadi transaksi untuk meembebasan.

Sesampainya di pulau darat Semarang, ia dinikahkan dengan putri Kiai Murtadlo Semarang yang kemudian mendirikan pesantren di daerah kampung Mlayu Darat Semarang sekaligus sebagai tempat tinggalnya. Pada perkembangannya, pesantren K.H. Sholeh Darat sangat diminati santri dari wilayah Semarang ataupun dari luar wilyah Semarang. Para santri yang mengaji di Pesantren Darat adalah santri yang sudah mempunyai bekal pengetahuan agama sebelumnya, sehingga banyak melahirkan ulama besar dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan.

Para ulama besar Nusantara yang pernah belajar dari beliau diantaranya adalah K.H. Hasyim ‘Asy’ari (pendiri NU), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H. Mahfudh Termas, K.H. Ahmad Dahlan Termas, dll,. Bahkan R.A. Kartini dahulu mengaji Tafsir al-Qur’an pada K.H. Sholeh Darat, yang kemudian meminta untuk dibuatkan buku tafsir al-Qur’an berbahasa Jawa dengan aksara pegon.

Permintaan tersebut dikabulkan, namun di saat-saat berakhirnya tulisan tafsir tersebut, K.H. Sholeh Darat meninggal dunia. Dari tafsir karya K.H. Sholeh Darat inilah menemukan kata-kata “habis gelap terbitlah terang” terjemahan dari ayat “minazh zhulumati ilan nuur”.

Pesantren milik K.H. Sholeh Darat, selain menjadi pusat kaderisasi ulama juga menjadi pusat gerakan intelektual dan perlawanan terhadap penjajah, menumbuhkan nilai-nilai nasionalisme melalui karya-karya kitab berbahasa Jawa dengan aksara pegon, seperti karya kitab berjudul “Majmu’atussyari’ah al- kafiyah lil ‘awam”.

Kitab ini memakai judul berbahasa Arab, namun isi dari kitab tersebut berbahasa jawa dengan aksara pegon. Dalam kitab tersebut, K.H. Sholeh Darat mengajak santri dan masyarakat agar mencintai tanah air dengan taat pada aturan negara yang tidak bertentangan dengan agama, dan mengajak untuk menghormati dan menjaga tradisi. Hampir semua karya kitab K.H. Sholeh Darat memakai judul bahasa Arab namun isinya bahasa Jawa dengan memakai aksara pegon.

Aksara pegon menurut Kromoprawiro seorang penulis buku berjudul “kawruh sastro pegon”, berasal dari bahasa Jawa yaitu “pego”. Artinya sesuatu yang diucapkan untuk hal yang tidak lazim. Lantaran kosakata Jawa namun cara menulisnya dengan huruf Arab, sehingga terasa sangat aneh. Dengan demikian aksara pegon adalah teks berbunyi bahasa Jawa, namun cara penulisannya memakai huruf hijaiyyah atau aksara Arab.

Aksara pegon merupakan produk kultural masyarakat Islam di Jawa dalam rangka mentransmisikan ajaran-ajaran Islam melalui bentuk teks bahasa Jawa, agar mudah dipahami oleh masayarakat Jawa pada umumnya.

Aksara pegon digunakan K.H. Sholeh Darat pada saat itu bukan berarti ia tidak mahir berbahasa Arab, namun ia lebih mementingkan azas kemanfaatan dan kebutuhan. Di tengah kekuatan penjajah yang mendominasi dan selalu mengancam serta mengawasi pergerakan orang pribumi, termasuk pengawasan terhadap tingkat pemahaman masyarakat pribumi terhadap agama.

Semakin pemahaman agama masyarakat pribumi meningkat, maka semakin kuat perlawanan terhadap penjajah. Sementara kitab al-Qur’an berbahasa Arab, sedangkan masyarakat Jawa saat itu masih banyak yang belum menguasai bahasa Arab. Selanjutnya, jika karya kitab di tulis dengan bahasa Arab, strategi perjuaangan K.H. Sholeh Darat yang disisipkan dalam karya kitabnya mudah diketahui oleh penjajah dan dengan mudah dibinasakan.

Dengan situasi dan kondisi itulah, K.H. Sholeh Darat memilih aksara pegon untuk menulis karya kitabnya. Dengan aksara pegon penjajah tidak gampang memahaminya, dan masyarakat pribumi mudah untuk belajar agama. K.H. Sholeh Darat mempunyai istilah tersendiri dalam menyebut pegon, yaitu “bilisanil jawi almirikiyah” yang artinya dengan memakai bahasa Jawa yang sehari hari dipakai dan mudah dimengerti oleh masyarakat pesisir Pulau Jawa.

Pergerakan K.H. Sholeh Darat dengan memakai strategi aksara pegon ternyata berhasil. Melalui aksara pegon, pengetahuan masyarakat Jawa tentang agama meningkat. Keadaan ini berhasil membuat resah kalangan kolonial.

Pada masa penjajahan Belanda di Jawa khususnya dan di Nusantara umumnya, aksi militer Belanda tidak hanya pada ranah politik dan ekonomi saja, namun merambah pada sektor budaya dan agama. Pada akhirnya muncullah kebencian santri terhadap penjajah sangat besar. Melalui karya kitab dan melalui pengajiannya, K.H. Sholeh Darat menyerukan untuk cinta tanah air, melarang meniru gaya hidup dan budaya penjajah. Termasuk melarang mengikuti budaya menggunakan akasara latin, yang pada saat itu dianggap sebagai tulisan londo.

Atas dasar tersebut, K.H. Sholeh Darat mengangkat aksara pegon yang pada prinsipnya menjaga tradisi budaya Jawa, dan peneguhan identitas budaya asli sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi penjajah yang akan menggusur budaya tradisional dan digantikan dengan budaya kolonial.

 

 

Tinggalkan Balasan