“Pengetahuan perokok akan berbagai hak yang melekat padanya adalah modal penting yang harus dimiliki oleh setiap perokok. Namun pengetahuan tersebut tentu tak akan menjadi penting ketika tak diimbangi dengan sebuah aksi tindakan dalam kerangka pemenuhan hak perokok.”
[dropcap]D[/dropcap]ana Bagi Hasil – Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT), secara kasat mata terlihat sebagai sebuah konsep yang baik. Di mana sebagian uang yang didapat dari cukai hasil tembakau, dikembalikan lagi kepada para pemangku kepentingan pada dunia pertembakauan nasional. Namun seperti biasanya, pada tataran tekhnis pelaksanaan sebuah kebijakan ada saja persoalan yang muncul walau hal itu tak terlihat dengan jelas oleh masyarakat.
Pada 2013 lalu, sebuah penelitian perihal DBH-CHT dilakukan oleh Indonesia Berdikari, dan hasilnya dituliskan oleh Gugun El Guyane dalam buku berjudul “Ironi Cukai Tembakau – Karut Marut Hukum dan Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau di Indonesia”. (buku tersebut dapat diunduh secara cuma-cuma melalui portal bukukretek.com).
Dalam buku hasil penelitian tersebut, cukup dalam dikupas berbagai persoalan dari DBH-CHT, mulai dari konseptual hingga dalam pelaksanaan tekhnisnya. Membaca buku tersebut, kita akan mendapatkan pengetahuan yang sangat dalam dan luas perihal apa itu cukai dan apa itu DBH-CHT.
Konsepsi perihal cukai sendiri telah lama diperkenalkan sejak masa kolonilaisme, tepatnya ketika pada 1858 pemerintah kolonial Belanda berhasil mengembangkan secara masif tanaman tembakau yang menjadi salah satu tanaman ekspor andalan mereka. Sejak saat itu pula tembakau sudah menjadi salah satu sumber pemasukan keuangan negara bagi pemerintah kolonial Belanda yang kemudian dibebani pungutan pajak dalam bentuk cukai. Yakni cukai atas produk olahannya dalam bentuk rokok, sehingga sering juga disebut sebagai ‘cukai rokok’.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan peraturan resmi yang sistematis atas pemungutan cukai tembakau tersebut baru terwujud pada kisaran pertengahan abad ke-20. Pemerintah kolonial Belanda mengaturnya dalam Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, Staatsblad Nomor 560 Tahun 1932, dan terakhir dengan Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang ‘TabaksaccijnsOrdonnantie’. Semua peraturan itu mengatur tentang pita cukai, bea ekspor dan bea masuk impor, termasuk di dalamnya adalah ketentuan mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dari pengutipan cukai tersebut.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, tidak mengatur mencantumkan pendapatan negara dari cukai hasil tembakau sebagai salah satu sumber Dana Bagi Hasil. Namun secara hukum, DBH-CHT diatur terpisah dan tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Pada Pasal 66A Ayat 1 UU Cukai menyebutkan: Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Sementara pada pasal yang sama di ayat 4 menyebutkan pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau dilakukan dengan persetujuan Menteri, dengan komposisi 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/ kota lainnya.
Poin yang penting untuk digarisbawahi adalah DBH-CHT diperuntukan bagi pembinaan lingkungan sosial. Dalam Permenkeu 84/2008 dan Permenkeu 20/2009 tentang tujuan penggunaan DBH-CHT menguraikan secara rinci penggunaan DBH-CHT, khususnya dalam poin pembinaan lingkungan sosial yang menyebutkan:
- Pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil bahan baku industri hasil tembakau;
- Penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang mengacu kepada analisis dampak lingkungan (AMDAL); Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau | 37
- Penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum
- Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok;
- Penguatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja industri hasil tembakau; dan/atau
- Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dalam rangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara lain melalui bantuan permodalan dan sarana produksi
Tegas sudah dikatakan bahwa DBH-CHT yang diberikan kepada pemerintah daerah, salah satunya diperuntukan bagi penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum. Perlu dipahami betul bahwa konsumen rokok adalah bagian dari lingkungan sosial yang berhak atas pemanfaatan DBH-CHT yang dalam hal ini diejawantahkan melalui pengadaan tempat khusus merokok.
Bagaimana memulai kritik atas penerapan ini sebenarnya dengan mudah dapat dilakukan oleh para konsumen rokok. Tengok saja ke kantor-kantor instansi pemerintah, seperti apa bentuk tempat khusus merokok yang disediakan oleh pemerintah? Atau jangan-jangan tempat khusus merokok tersebut memang tidak ada dalam bentuk bangunan, hanya sebagian daerah tertentu dari sebuah instansi yang di situ diperbolehkan orang untuk merokok.
Ini biasa terjadi, semisal yang banyak terjadi di sebuah kantor kementerian, atau pemerintah daerah, di mana tempat yang diperbolehkan untuk merokok adalah di tempat parkir. Tak ada bangunan khusus, tak ada fasilitas tempat duduk, asbak, atau papan penanda bahwa di tempat itu adalah tempat khusus merokok. Dalam artian, dana alokasi DBH-CHT tidak dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk membangun sebuah tempat khusus merokok yang memadai dan telah dimandatkan oleh undang-undang.
Begitu pula dengan berbagai kawasan tanpa rokok seperti yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 57/PUU-IX/2011 yang mengabulkan pengujian kata “dapat” pada penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan, dan menyatakan kata “dapat” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan artikel dengan putusan tersebut, MK mewajibkan pemerintah daerah menyediakan tempat khusus merokok di tempat kerja, di tempat umum, dan di tempat lainnya.
Kantor instansi pemerintah sebagai tempat kerja, ataupun juga kantor swasta, berkewajiban untuk menyediakan tempat khusus merokok. Begitu pula dengan tempat umum lainnya seperti mall, taman, terminal, bandara, stasiun, dll,. Tempat publik yang biasanya menjadi areal kawasan tanpa rokok, masih banyak yang belum – ataupun jika ada masih banyak yang tidak memadai – menyediakan tempat khusus merokok. Padahal, ada alokasi dana pembagian DBH-CHT yang dapat digunakan untuk membangun sarana tersebut.
Pada titik ini, konsumen memiliki hak akan ketersediaan tempat khusus merokok sebagaimana tertuang dalam berbagai kebijakan, termasuk diantaranya adalah Permenkeu tentang DBH-CHT. Masalah klasik memang bagi negeri ini dalam pelaksanaan sebuah regulasi, walaupun hal ini tak boleh berlarut-larut dibiarkan mengingat sumbangan cukai rokok dari para konsumen tiap tahunnya mencapai angka lebih dari 140 triliun rupiah.
Pengetahuan perokok akan berbagai hak yang melekat padanya adalah modal penting yang harus dimiliki oleh setiap perokok. Namun pengetahuan tersebut tentu tak akan menjadi penting ketika tak diimbangi dengan sebuah aksi tindakan dalam kerangka pemenuhan hak perokok. Percayalah, tak semua hak diberikan begitu saja oleh para penguasa, sering kali kita harus merebutnya.