PERTANIAN

Media Sosial Kini yang Kurang Ceria dan Sangat Politis

“Mungkin saya hanya minoritas yang rindu akan keceriaan di media sosial. Mungkin juga lini massa saya yang kurang variatif. Terlepas dari itu, saya yakin banyak orang merindukan kegembiraan di media sosial.”

[dropcap]T[/dropcap]ak terlalu berlebihan rasanya jika judul di atas menjadi satu kesimpulan. Bahwasanya media sosial hari ini begitu politis. Bukan berarti media sosial tidak boleh politis, hanya saja dalam pandangan awal saat ini menunjukan kecenderungan berbagai konten yang ada di media sosial didominasi oleh konten yang bersifat politis.

Kesadaran bahwa media sosial menjadi salah satu medium yang efektif untuk menyebarkan berbagai informasi kepada publik, dimanfaatkan betul oleh mereka yang berkecimpung di dunia politik untuk menggalang dukungan publik. Politis yang bukan hanya diartikan isu yang bersifat elit, seperti yang dilakukan oleh berbagai kalangan dari organisasi pergerakan juga mencoba memanfaatkan media sosial sebagai ruang propaganda, walau sejauh ini impresi mereka bisa dikatakan kalah dengan isu politik elit. Mungkin problem sosial tak sebegitu menarik, sehingga tak menjadi keseharian perbincangan orang di media sosial. Takut dicap PKI mungkin.

Boleh jadi media sosial yang sangat politis muncul begitu impresifnya ketika pemilu 2014 lalu yang terus berlanjut hingga sekarang. Terutama pada momentum pilkada, seperti Pilkada DKI Jakarta, atau nanti di Pilkada Jabar, Jateng, dan Jatim, banyak orang akan berbicara tentang politik. Bahkan mereka yang dahulu tak pernah bicara politik, saat ini akan bersuara tentang tendensi politik tertentu yang mereka yakini. Sekali lagi, hal itu tidaklah salah dan tak terlarang.

Beberapa hari lalu saya cukup kaget hingga mengerutkan dahi karena dalam satu hari saya melihat beberapa orang yang saling berseteru di media sosial atas satu perdebatan politik yang melebar hingga ke ranah privat, dan kemudian berujung dengan ancaman akan melaporkan perseteruan ini ke kepolisian. Cerita seperti ini bukan baru sekali terjadi, terlalu banyak kasus hukum yang diawali dari perseteruan politik di media sosial. Keras sekali kehidupan mereka di media sosial.

Banyak akun bahkan tak bosannya tiap hari menyebarkan berbagai isu politik, entah itu berlandaskan data dan fakta, atau informasi yang tidak benar (hoax). Saya yakin beberapa akun tersebut memang terorganisir dengan rapi, dan difungsikan memang untuk berdebat, berseteru, berperang, di media sosial. Persiapan panjang jelang pemilu 2019.

Namun saya bukan hendak mengupas secara mendalam perihal kronik media sosial seperti yang sedikit teruraikan di atas. Sudah banyak artikel berseliweran perihal ini. Coretan ini hanya sekadar menuangkan curahan hati ketika media sosial tidak lagi berisikan berbagai konten yang asyik dan lucu. Beberapa orang memang kerap kali berusaha membuat lucu peristiwa-peristiwa politik melalui meme, namun tetap saja unsur yang dibuat lucu adalah sebuah peristiwa politik yang bisa jadi meme tersebut juga memiliki sifat atau tendensi politik tertentu.

Lebih dari setahun yang lalu ketika ramai Pilkada DKI Jakarta, seorang teman pernah mengungkapkan rasa senangnya ketika melihat akun saya muncul di lini massa Facebook. Beberapa kali memang saya unggah video saat saya dan beberapa teman bermain musik keroncong. Niat awalnya hanya sekadar pamer – bergaya seolah musisi dengan kualitas wahid – yang ternyata ditangkap berbeda oleh seorang teman. Dia merasa ada penyegaran timeline ketika melihat postingan Facebook saya. Terlalu lelah sepertinya dia dengan perdebatan pro-kontra politik.

Mungkin Facebook yang menjadi pelopor media sosial dengan konten politik, hingga kemudian Twitter mulai tertular. Sialnya, Instagram yang biasanya berisikan postingan foto saat orang berlibur, foto makanan enak, foto selfie, foto pesta, dan berbagai kebahagiaan lainnya – hingga ada istilah tak ada orang susah di Instagram – juga mulai dirambas oleh foto dan poster yang berunsur politik. Tunggu saja, tak lama lagi Anda yang senang bermain-main di Youtube juga akan merasakan hal yang sama. Percayalah.

Tak salah juga bagi mereka yang mungkin merasa jengah dengan isu politik. Wajar juga, mengingat di televisi dan media massa lainnya dia akan menemukan informasi yang sama perihal politik. Belum lagi di warung kopi juga mungkin demikian. Seasyik-asyiknya dunia politik, jika setiap waktu disuguhkan perbincangan itu-itu saja, orang juga akan muntah. Termasuk saya.

Jarang sekali saat ini kita menemukan orang yang tiba-tiba memposting foto orang-orang cantik atau tampan, “penyegaran timeline” begitu istilahnya di Twitter. Atau orang yang bercerita tentang pengalaman lucunya di media sosial, tebak-tebakan, orang-orang yang galau, musik, puisi, modus, atau sekadar celoteh random juga mulai jarang muncul. Seolah-olah jika kita tak bicara tentang politik, kita bukanlah kids jaman now.

Dalam pengamatan saya, sebagai orang yang juga cukup lelah dengan berbagai celoteh politik – kadang kala atau bahkan mungkin cukup banyak, celoteh politik di media sosial benar-benar celoteh belaka tanpa memberikan pengatahuan apapun tentang politik bagi publik – hanya di hari Sabtu dan Minggu malam lini massa begitu tampak menyenangkan.

Ya, benar. Saat itu memang tayangan sepakbola Liga Eropa hadir sejak petang hingga dini hari. “Anak politik mundur dulu, giliran anak bola masuk timeline.” Mereka yang tim kesayangannya bermain akan muncul di media sosial, memberikan dukungan dan komentar-komentar lucu. Bagi mereka yang tak suka dengan satu tim tertentu juga tetap muncul di media sosial, menghujat tim yang tak disukainya. Tak jarang saling berdebat dan saling berbalas ejekan. Hanya saja tak akan ada saling gugat secara hukum karena perdebatan soal sepakbola.

Selepas pertandingan, meme-meme bangs*t juga banyak bertebaran dan membuat kita tertawa-tawa. Sementara bagi mereka yang tak suka dengan sepakbola tetap juga ikut berkomentar, bahkan mencemooh perilaku para penggila bola di media sosial. Sekali lagi, tak ada yang tersinggung di sini, tak ada gugatan hukum atas perilaku ini.

Mungkin saya hanya minoritas yang rindu akan keceriaan di media sosial. Mungkin juga lini massa saya yang kurang variatif. Terlepas dari itu, saya yakin banyak orang merindukan kegembiraan di media sosial. Jika memang demikian, tak ada salahnya jika kita membuat sebuah gerakan sosial untuk mengembalikan media sosial sebagai tempat kita melepaskan penat dengan berbagai kegembiraan.

Tinggalkan Balasan