PERTANIAN

Membongkar Propaganda Antirokok Perihal Buruh Pabrik Rokok

“Tak bisa tidak, bahwa pemerintah memiliki peran yang paling besar dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang mereka keluarkan. Sehingga, ketika kita ingin semua buruh di Indonesia ini sejahtera, maka doronglah pemerintah agar membuat kebijakan yang baik bagi kehidupan buruh.”

[dropcap]P[/dropcap]engusaha rokok kaya raya, dan buruh di pabriknya tetap miskin. Begitu kira-kira propaganda yang didengungkan oleh pihak antirokok dalam upayanya mempengaruhi pikiran publik pada perang wacana pro-kontra rokok. Mari kita kupas lebih jauh perihal propaganda tersebut.

Sepertinya propaganda tersebut memang tidak dibarengi dengan satu pengetahuan yang mendasar perihal perburuhan, industri, ataupun hubungan antar keduanya, dan juga peran pemerintah dalam mensejahterakan buruh. Sehingga secara kasar, kelompok antirokok membuat propaganda tersebut dengan harapan publik mengamini dan meyakini bahwa rokok, industri, buruh, dan berbagai macam yang terkait adalah hal yang buruk.

Pertama, mungkin pihak antirokok hanya melihat dari luar saja dan tak melihat bagaimana situasi di sentra industri rokok di berbagai tempat. Katakanlah di Kudus ataupun di Kediri yang merupakan sentra industri rokok. Perusahaan rokok besar menjadi target bagi para buruh di sana untuk berkesempatan bekerja di perusahaan tersebut karena akan mendapatkan upah, tunjangan, dan fasilitas yang lebih baik dibanding bekerja di perusahaan skala kecil menengah.

Semacam pencapaian karir yang baik jika mendapat kesempatan bekerja di perusahaan besar, karena akan meningkat pula kesejahteraan yang mereka rasakan. Hal itu bisa ditanyakan langsung oleh pegiat antirokok kepada buruh-buruh yang bekerja di sentra industri rokok, apakah benar demikian atau tidak.

Bahkan hal ini tak hanya berlaku di indsutri rokok saja. Di berbagai sentra industri, pasti juga ada perusahaan yang menjadi target dari para buruh untuk bisa bekerja di perusahaan tertentu agar meningkat kesejahteraannya karena berbagai fasilitas yang diberikan oleh perusahaan tersebut. Seperti halnya buruh yang memiliki jenjang posisi dan pengaruhnya pada pendapatan, industri juga memiliki level-level yang berbeda dalam aspek modal, produksi, dan juga pasar.

Kedua, tingkat kesejahteraan buruh itu salah satunya dihitung dari upah yang didapat oleh buruh. Lalu bagaimana penentuan upah buruh? Apakah semata dari pihak perusahaan saja yang menentukannya? Atau buruh meminta upah tertentu lalu perusahaan akan serta-merta memberikan? Tentu tidak jawabnya.

Penentuan besaran upah itu dibuat oleh forum yang bernama Dewan Pengupahan yang ada di tiap tingkat daerah. Di mana unsur dari pekerja (serikat pekerja), pengusaha (asosiasi pengusaha), dan pemerintah duduk bersama menentukan besaran upah. Bupati/Walikota akan menentukan besaran upah tiap tahunnya berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan yang kemudian diserahkan pada Gubernur untuk ditetapkan secara resmi.

Sejak tahun lalu, formulasi perihal besaran kenaikan upah sudah digariskan oleh pemerintah melalui rumus upah tahun berjalan, dikalikan dengan angka inflasi nasional+pertumbuhan ekonomi. Dewan Pengupahan secara formal akan merapatkan dan mengeluarkan rekomendasi besaran upah berdasarkan formulasi tersebut.

Jadi, sejahtera atau tidaknya buruh–dalam hal ini terkait dengan upah–ditentukan oleh pemerintah melalui formulasi penentuan besaran upah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Satu lagi agar pihak antirokok lebih memahaminya, bahwa besaran upah di tiap daerah itu berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan hidup layak di daerah tersebut.

Sebagai tambahan informasi pada pihak antirokok, pada saat kebijakan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah, banyak serikat buruh menolak dan bahkan melakukan aksi mogok nasional karena PP tersebut dianggap tidak akan meningkatkan kesejahteraan buruh. PP tersebut berlaku bagi seluruh industri di Indonesia, dan merupakan instrumen penentu upah yang tentunya juga merupakan instrumen apakah buruh sejahtera atau tidak.

Pertanyaannya adalah, apakah pihak antirokok ada dan mendukung berbagai serikat buruh yang menolak kebijakan tersebut? Apakah pihak antirokok ada dalam barisan buruh yang melakukan aksi-aksi menuntut kenaikan upah di tiap akhir tahun? Apakah pihak antirokok ada dalam berbagai kesempatan aksi dan kajian buruh untuk meningkatkan kesejahteraan? Ataukah pihak antirokok justru menjadi bagian dari orang-orang yang mencaci aksi-aksi buruh menuntut kenaikan upah dan kesejahteraan bagi buruh?

Ketiga, dalam industri apapun, dapat dipastikan bahwa pemilik perusahaan akan kaya dan tingkat kesejahteraan buruhnya akan berbeda-beda tergantung level dan posisi buruhnya. Tak terkecuali di pabrik kerupuk sekalipun akan berlaku demikian karena sistem ekonomi yang diterapkan memang memungkinkan hal ini terjadi.

Sebut saja Michael Bloomberg atau Bill Gates yang merupakan penyumbang dana besar bagi kampanye antirokok di dunia, di mana mereka masuk dalam deretan orang-orang terkaya di dunia. Lalu apakah serta-merta buruh yang bekerja di perusahaan mereka akan sejahtera dan tidak miskin? Silahkan dicek di perusahaan-perusahaan mereka di berbagai belahan dunia.

Kesimpulan
Apa yang penting untuk disimpulkan dari pembehasan tersebut di atas? Hal yang penting disimpulkan dan digarisbawahi adalah peran pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan buruh atau masyarakat pada umumnya.

Tak bisa tidak, bahwa pemerintah memiliki peran yang paling besar dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang mereka keluarkan. Sehingga, ketika kita ingin semua buruh di Indonesia ini sejahtera, maka doronglah pemerintah agar membuat kebijakan yang baik bagi kehidupan buruh.

Hal lain adalah ada sekitar 6,1 juta orang–data Kementerian Perindustrian–yang diserap dari hulu-hilir industri nasional rokok kretek nasional. Selain garmen, industri rokok juga menyerap tenaga kerja perempuan dalam jumlah yang besar. Di mana kesempatan ini jarang terbuka di industri lain.

Bayangkan jika propaganda negatif terus dikumandangkan oleh antirokok, maka 6,1 juta orang tersebut akan terancam keberlangsungan hidupnya. Sementara pihak antirokok tak pernah memiliki satu solusi yang konkrit jika hal tersebut terjadi.

Tak bisa dikatakan ini mengartikan bahwa seluruh buruh di pabrik rokok memiliki tingkat kesejahteraan yang baik, tidak. Namun sekalipun buruh pabrik rokok ada yang masuk dalam kategori miskin, mereka adalah orang-orang yang bekerja dengan keringatnya sendiri, dan dengan pendapatan yang halal. Buruh-buruh itu bukanlah orang-orang mencari uang dengan mengkampanyekan berbagai keburukan yang tak semuanya benar, dan mengancam kehidupan orang lain.

Dan yang terakhir adalah, bagaimana upaya pihak antirokok agar memberikan informasi kepada publik yang mendidik, alih-alih memberikan propaganda negatif yang membuat publik mendapatkan informasi yang sepotong-sepotong tanpa kedalaman pengetahuan perihal satu isu yang disampaikan.

Tinggalkan Balasan