CUKAI

Sebuah Catatan Kecil tentang Betawi dan Tradisinya yang Mulai Pudar

“Kesenian-kesenian Betawi pun tak luput dari imbas pembangunan Jakarta. Sulit sekali menemukan mereka yang masih berkesenian gambang kromong dan pencak silat misalnya.”

[dropcap]S[/dropcap]alah satu yang mengisi masa kanak-kanak saya adalah sinetron “Si Doel Anak Sekolahan”. Sekali dalam sepekan saya betul-betul terhibur oleh sinetron tersebut. Sesaat sebelum satu episode usai, cuplikan-cuplikan untuk adegan di pekan berikutnya ditayangkan, ini kadang menjadi teror, berharap semoga waktu yang bergulir dalam sepekan cepat saja agar episode berikutnya bisa segera saya tonton.

Salah satu adegan favorit saya adalah ketika keluarga Haji Sabeni pergi berziarah usai Si Doel mendapat gelar ‘insinyur’. Pada adegan ziarah itu, keluarga Haji Sabeni mendatangi Stadion Gelora Bung Karno—yang saat itu bernama Stadion Utama Senayan—dan sebuah lapangan golf di bilangan Pondok Indah.

Senayan dan Pondok Indah dalam adegan tersebut adalah tanah kelahiran kakek dan nenek Doel. Ketika adegan itu terjadi, Senayan sudah berubah rupa menjadi pusat olahraga nasional dan Pondok Indah berubah menjadi pemukiman mewah.

Awalnya saya kira Senayan dan Pondok Indah dipilih dalam adegan sinetron Si Doel Anak Sekolahan sekadar untuk lucu-lucuan semata, ternyata saya salah. Menurut nenek saya yang sejak lahir tinggal di Rawabelong—salah satu perkampungan tua yang dihuni orang-orang Betawi— Senayan dan Pondok Indah dahulu memang menjadi perkampungan masyarakat Betawi.

Selain Senayan, Kuningan, Kebayoran Baru, dan Menteng juga menjadi wilayah-wilayah pusat kebudayaan Betawi sebelum semuanya berubah fungsi setelah pembangunan besar-besaran yang dilakukan Presiden Soekarno pada periode 50an hingga 60an, dan dilanjutkan Presiden Soeharto pasca 65.

Keterangan dari nenek saya diperkuat data yang ada pada buku berjudul “Betawi Tempo Doeloe” karya Abdul Chaer dan “Jakarta Sejarah 400 Tahun” karya Susan Blackburn. Menurut kedua buku tersebut, sebelum 1950, perkampungan-perkampungan Betawi di Jakarta masih cukup terjaga. Masyarakat Betawi terpencar karena tergusur pembangunan.

Sebelum dibangun menjadi pusat perkantoran dan perdagangan, Kuningan adalah menjadi tempat bermukimnya seniman Betawi dan pusat pertanian yang dikelola masyarakat Betawi. Kebayoran Baru yang kini dikenal sebagai sebagai permukiman mewah, dahulunya adalah pusat pertanian dan perkebunan yang dikelola masyarakat Betawi. Di Kebayoran Baru, ada lebih dari 10.000 batang pohon buah-buahan untuk menyuplai kebutuhan buah-buahan penduduk Jakarta.

Beralih fungsinya lahan-lahan di Jakarta menyebabkan orang-orang betawi terpencar ke pinggir-pinggir Jakarta. Salah satu imbas yang terasa adalah terkikisnya kebudayaan Betawi. Bahasa menjadi yang paling mudah dideteksi. Selain logat dan dialek, praktis sedikit sekali orang-orang Betawi generasi sekarang yang mengetahui bahasa Betawi. Bahasa Betawi tergerus diganti oleh bahasa Jakarta-an yang hanya menyisakan logat betawi semata.

Tradisi bertani dan bercocok tanam juga memudar. Praktis, selain beberapa titik di pinggir Jakarta yang bercocok tanam musiman, tak ada lagi tradisi bertani dan bercocok tanam yang dipraktikkan masyarakat Betawi. Mereka yang meneruskan tradisi itu, kini sudah bermukim di luar Jakarta. Dengan harga lahan yang begitu tinggi dan kebutuhan akan lahan untuk pembangunan kota besar, sulit rasanya menemukan lahan pertanian di kota Jakarta.

Kesenian-kesenian Betawi pun tak luput dari imbas pembangunan Jakarta. Sulit sekali menemukan mereka yang masih berkesenian gambang kromong dan pencak silat misalnya, kecuali di sebuah perkampungan Betawi yang sengaja dibangun sebagai lokasi wisata di batas selatan kota Jakarta. Kalau pun masih ada selain di perkampungan wisata tersebut, para pelakunya sudah berusia tua.

Pelan-pelan di perkampungan-perkampungan Betawi yang masih tersisa di kota Jakarta, geliat kesenian memang mulai muncul, namun kebanyakan bernafas pendek karena mereka yang bersemangat tersisa sedikit saja. Selain itu, kesulitan mencari pengajar menjadi kendala lainnya.

Sedikit yang masih tersisa dan masih bisa disaksikan di banyak tempat, hanyalah ritual-ritual yang rutin dilakukan. Tradisi lamaran, pesta perkawinan, upacara kematian, dan selamatan-selamatan lainnya. Namun lagi-lagi, yang tersisa tersebut perlahan-lahan mulai ditinggalkan atas alasan praktis. Termasuk tradisi roti buaya di pesta pernikahan, tradisi-tradisi untuk lamaran, upacara kematian dan selamatan-selamatan yang juga hilang.

Pembangunan dan modernitas perkotaan seakan menjadi momok yang menggerus tradisi ini. Pola hidup yang mekanis menyebabkan banyak tradisi yang membutuhkan waktu luang dalam suasana cair ditinggalkan. Saya kira, sebelum semuanya benar-benar menghilang dan sekadar menjadi catatan sejarah bahwa semua itu dahulu pernah ada, apa yang tersisa dan paling mudah dijalankan sudah selayaknya kembali digalakkan. Tradisi-tradisi dalam upacara-upacara dan selamatan-selamatanlah yang paling mudah.

Pada tradisi pernikahan misalnya, selain tradisi Betawi dalam pernikahan itu sendiri, ada banyak lagi yang bisa disertakan, seperti tradisi berbalas pantun, pencak silat, lenong Betawi, bisa dimasukkan dalam pesta pernikahan yang dahulu memang semua itu termasuk di dalamnya.

Tidak elok rasanya jika kebudayaan yang ada di Ibukota negara benar-benar musnah karena roda pembangunan yang semakin menggila. Ibukota menjadi tidak berwarna, dan kemolekanya hanya sebatas modernitas yang mekanistik tanpa sebuah akar.

Tinggalkan Balasan