“Alih-alih memberikan pendidikan dan pengetahuan yang baik, stigma dan labeling terhadap perokok dan rokok justru akan berakibat buruk bagi cara berfikir publik karena hal tersebut bisa saja disebut sebagai bentuk pembodohan.”
[dropcap]M[/dropcap]emberikan penilaian negatif terhadap orang lain, banyak dilakukan manusia. Bahkan terkadang dikemas dalam bingkai “kritik”. Namun tidak sedikit kritikan yang dilayangkan hanya berdasarkan asumsi saja. Jika penilaian negatif terhadap orang lain tersebut berdasarkan dari asumsi yang dibangun atas dasar kebencian untuk menjatuhkan dan kepentingan tertentu, ini celaka 12 namanya.
Penilaian tersebut biasa dibuat sedemikian rupa, agar orang-orang ikut terbawa menilai buruk terhadap orang lain atau barang tertentu tanpa adanya penjelasan yang seimbang. Penilaian negatif tanpa berdasarkan fakta yang ditujukan pada orang atau barang, bisa diartikan sebagai sebuah tindakan stigmatisasi.
Hal itu bisa dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu. Bisa jadi tujuan politik untuk melemahkan, dan penguasaan terhadap barang yang di stigmatisasi tersebut.
Pada masa Orde Baru, stigma kerap kali menjadi satu senjata yang ampuh untuk menjatuhkan lawan. Misalnya pada orang-orang yang kritis terhadap pemerintah pada saat itu akan diberikan label PKI. Sementara perihal PKI telah menjadi satu doktrin publik bahwa itu adalah keburukan yang sangat teramat. Label dan stigma itu begitu kuat sehingga mampu menggiring pandangan publik bahwa orang yang kritis terhadap pemerintah itu adalah PKI = buruk.
Stigma sebagai sebuah metode dalam propaganda atau pertarungan wacana juga masih kerap dilakukan oleh sebagian kelompok saat ini. Tak semua diberikan label PKI, tapi tetap mengikuti metode stigmatisasi negatif. Salah satu stigma buruk masih sering digunakan dalam pertarungan wacana pro-kontrak perihal rokok.
Ambil contoh, perokok adalah orang yang penyakitan, sumber penyakit, dan layak dijauhi. Apakah sedemikian rupa seorang perokok buruknya? Stigma yang terus diucapkan tersebut lambat laun menjadi dipercaya oleh publik, padahal tuduhan itu belum tentu benar adanya. Mengingat setiap penyakit juga memiliki banyak faktor sebagai sebuah sebab.
Lain itu, asap rokok yang dibayangkan oleh antirokok konon akan mengganggu kesehatan orang lain, sebagai perokok pasif. Pandangan tersebut terus dikumandangkan, mendorong agar orang lain menjauhi para perokok. Sementara persoalan bahaya asap knalpot, asap yang dihasilkan dari industri, dll., tidak menjadi hal yang juga dikumandangkan oleh mereka.
Perokok berperilaku pemborosan. Asumsi anti rokok ini tidak tepat, kalau membeli rokok masuk kategori boros, bagaimana dengan bertamasya yang harus mengeluarkan uang banyak untuk menghilangkan stres? Tamasya dan merokok adalah sama sama kegiatan untuk relaksasi. Justru merokok adalah kegiatan relaksasi yang lebih murah, dibanding dengan yang lain.
Perokok juga kerap dituduhkan sebagai orang yang berprilaku jorok dan kotor. Pendapat antirokok ini tidaklah benar, orang yang tidak merokok pun banyak yang beprilaku jorok. Contohnya membuang sampah tidak pada tempatnya. Orang yang merokok dan membuang puntung sembarangan seperti halnya orang yang buang sampah sembarang, mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti pentingnyanya kebersihan, dan tidak paham akibatnya.
Stigma paling buruk yang kerap ditujukan pada perokok justru diterima oleh kaum perepuan. Kaum perempuan yang merokok sering dikatakan sebagai perempuan nakal. Padangan ini memang sudah banyak yang menentang, seperti yang dikatakan dr. Moren, ia adalah dokter yang baru mengambil spesialis syaraf di Universitas kedokteran di Solo.
Ia mengatakan, perempuan nakal itu tidak bisa diukur dengan alat ukur merokok. Banyak perempuan yang merokok, prilaku dan sifatnya sangat sopan dan baik. Dan banyak para ibu-ibu saat merokok tidak disembarang tempat, bahkan tidak di depan anak.
Stigma negatif bagi perokok diatas, lebih banyak berdasarkan asumsi-asumsi yang dibangun secara subyektif, agar publik tidak suka terhadap rokok. Sedangkan rokok adalah benda mati. Ia tidak akan berfungsi tanpa ada yang menjalankan. Jika ada perokok yang berprilaku jelek, itu adalah orangnya, bukan rokoknya. Namun selama ini, usaha antirokok melemahkan produk rokok selalu dikaitkan dengan memberikan stigma terhadap prilaku perokok.
Alih-alih memberikan pendidikan dan pengetahuan yang baik, stigma dan labeling terhadap perokok dan rokok justru akan berakibat buruk bagi cara berfikir publik karena hal tersebut bisa saja disebut sebagai bentuk pembodohan. Sehingga penting bagi pihak manapun dalam sebuah pertarungan wacana pro dan kontra pada satu isu tertentu untuk meniadakan stigma, agar pertarungan tersebut dapat dilihat oleh publik secara bijak untuk kemudian publik dapat mengambil sikap secara objektif.