rokok
CUKAI

Mengapa Selalu Rokok yang Disalahkan?

Selalu saja, setiap kali Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil survei, rokok merupakan kambing hitam penyebab kemiskinan di negeri ini. Seakan-akan, melulu produk ini yang dipilih menjadi komoditas yang paling mudah untuk dijadikan alasan kemiskinan. Penyederhanaan selalu dilakukan dengan mudah. Setiap kali survei BPS selesai dilakukan, lagi-lagi rokok yang ditembak sebagai penyebab kemiskinan tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lainnya.

Meskipun hasil survei menunjukkan tingkat kemiskinan menurun dan konsumsi rokok malah meningkat, tetap saja produk tersebut yang disalahkan sebagai penyebab kemiskinan di negeri ini.

Padahal, negara lewat cukainya betul-betul mengandalkan rokok sebagai sumber pemasukan utama cukai. Terbukti, lebih dari 95 persen pemasukan negara dari cukai. Berdasarkan data yang dikeluarkan CEISA, total penerimaan cukai negara dari cukai hasil tembakau per 28 Desember 2017 mencapai Rp145,48 triliun. Bandingkan dengan cukai lain di luar tembakau yang hanya mencapai Rp5,64 triliun.

Salah satu manfaat dari cukai tembakau ini adalah untuk menutupi defisit BPJS yang mencapai Rp9 triliun. Dari sini, dapat dlihat, produk ini bukan tak ada peran sama sekali bagi pemasukan negara, bahkan mendominasi pemasukan negara lewat cukainya. Sayangnya, dengan gampangnya rokok selalu digunakan sebagai sasaran penyebab kemiskinan di negeri ini.

Lalu, apa benar hanya konsumsi produk tersebut saja yang menyebabkan inflasi sehingga dituduh sebagai penyebab kemiskinan masyarakat Indonesia? Mari kita lihat data inflasi di negeri ini pada periode 2017.

Rokok Bukan Penyebab Inflasi

Menurut data yang dirangkum BPS, sumbangan inflasi 2017 berturut-turut mulai dari yang terbesar adalah: penyesuaian tarif listrik sebesar 0,81%, biaya perpanjangan STNK sebesar 0,24%, ikan segar sebesar 0,20%, bensin sebesar 0,18%, beras sebesar 0,16%.

Selain itu, sumbangan inflasi cukup mengejutkan datang dari tarif pulsa telepon seluler sebesar 0,15%. Kontribusi pulsa terhadap inflasi mengalahkan rokok kretek filter yang berada pada angka 0,14%. Kemudian disusul telur ayam ras sebesar 0,10%, emas perhiasan sebesar 0,10%, dan nasi dengan lauk sebesar 0,08%.

Nyatanya, berdasar data di atas, rokok berada pada peringkat ke tujuh penyebab inflasi yang berpengaruh terhadap kemiskinan. Bahkan dibanding konsumsi pulsa telepon seluler sekali pun, produk ini masih lebih rendah.

Menurut Enny Sri Hartati, Dirktur Eksekutif Indef, pernyataan pejabat negara seperti itu seolah menjadikan rokok faktor tunggal penyebab kemiskinan. Padahal menurut Enny, faktor utama dari naiknya angka kemiskinan karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan formal. Selain itu juga banyaknya pemutusan hubungan kerja.

“Jadi rokok bukan penyebab kemiskinan, bahwa terjadi kenaikan persentase pengeluaran memang iya, sehingga terkesan seolah harga rokok tinggi jadi penyebab kemiskinan. Tetapi analisa BPS tidak lengkap,” ujar Enny.

Selain tidak mampu menyediakan pekerjaan bagi rakyat miskin, Enny menyoroti kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga kebutuhan pokok. Akibatnya mereka yang berada di kelompok rentan miskin bisa dengan mudah masuk ke kategori miskin.

“Ketika tidak ada kebijakan yang bisa mengerek pendapatan masyarakat untuk naik, maka tentu saja makin tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan minimal. Jadi ketika pendapatan tidak naik kemudian dibareng kenaikan harga pokok dan terjadi penyempitan lapangan pekerjaan formal, ini tentu saja akan mendorong kelompok rentan miskin masuk ke kemiskinan. Jadi tidak ada faktor tunggal misal disebabkan rokok semata, jika seperti itu analisanya tidak lengkap dan jadi misleading,” tegas Enny.

Sumbangsih Terhadap Negara

Menjadi pertanyaan besar, setelah sumbangsih besar rokok terhadap pendapatan negara, mengapa melulu rokok yang disalahkan sebagai penyebab kemiskinan. Mengapa bukan tingginya biaya listrik, bukan mahalnya harga bensin, atau tingginya konsumsi pulsa telepon seluler sehingga menyebabkan inflasi yang berimbas pada angka kemiskinan di negeri ini. Tetapi setiap tahun, tiap kali hasil survei dirilis, lagi-lagi rokok yang disalahkan. Hanya rokok semata seolah produk ini menjadi faktor tunggal penyebab kemiskinan.

Lagipula, menghitung rokok sebatas sebagai pengeluaran semata, tanpa memandang aspek relaksasi dari konsumsi rokok sebagai faktor penting yang didapat para perokok adalah sebuah kejanggalan. Pada titik ini, konsep kemiskinan dengan standar-standar yang ditetapkan BPS untuk menentukan tingkat kemiskinan seseorang dan atau keluarga perlu dikaji ulang. Karena banyak faktor non-uang yang diabaikan dalam hitung-hitungan kemiskinan ini.

Tinggalkan Balasan