cukai rokok
PERTANIAN

Nikmat Cukai Rokok Mana Lagi yang Pemerintah Dustakan?

Awal tahun 2018 pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mengumumkan pemasukan negara dari pungutan Bea dan Cukai per 28 Desember 2017 telah mencapai Rp189,36 triliun. Lagi-lagi jika dilihat rinciannya, cukai hasil tembakau (rokok) menjadi primadona dengan menyumbang sebesar Rp145,48 triliun atau mencapai 98,64% dari target total penerimaan cukai sebesar Rp150,81 triliun.

Artinya pemerintah masih bergantung terhadap kinerja cukai rokok dalam menggenjot penerimaan cukai sebagai pemasukan kas negara.

Padahal kalau melihat realita yang terjadi, industri rokok setiap tahunnya selalu mengalami tekanan baik secara regulasi maupun faktor eksternal lainnya, seperti maraknya kampanye yang menyudutkan industri rokok dan produk konsumsinya.

Di tahun 2017 misalnya, pemerintah tanpa berpikir panjang tiba-tiba saja kembali menaikan tarif cukai ini untuk tahun 2018 sebesar 8,9%. Alasannya tentu saja hanya persoalan upaya mengejar target penerimaan cukai menjadi Rp155,4 triliun di 2018.

Bagi pemerintah mungkin hal tersebut menjadi jalan pintas untuk mendapatkan dana segar tanpa harus capek koar-koar dan keliling, tapi bagi stakeholder Industri hasil Tembakau (IHT) menaikan tarif cukai menjadi kebijakan yang kontra-produktif. Sebabnya di tengah perlambatan volume produksi pabrikan rokok dan stagnannya pertumbuhan ekonomi, menaikan tarif cukai rokok dinilai akan berdampak multiplier effect dalam berbagai sektor.

Lantas apakah industri rokok balas dendam dengan perlakuan kebijakan pemerintah yang kontra-produktif tersebut? Ya, balas dendamnya adalah dengan cara menyumbang setoran cukai rokok di tahun 2017 sesuai dengan capaian target. Gak memungkinkan dibalas dengan menyumbang sedikit? Bisa bahaya nantinya, BPJS Kesehatan dari sektor mana tambal sulamnya? Pembangunan infrastruktur yang butuh dana besar mau dicari darimana lagi dananya?

Pemerintah Memang Bergantung Pada Cukai Rokok

Sebenarnya sih pemerintah itu udah santai banget kerjaannya dalam menggenjot penerimaan negara dari sektor cukai. Penerapannya berupa istem ijon dalam pungutan cukai rokok, perusahaan rokok diminta untuk bayar cukai terlebih dahulu sebelum mengambil pita cukai, sudah sangat riil dana segarnya pasti ada. Di awal loh ya, bukan di akhir atau kasarnya “kalau mau dagang, ya bayar dulu sini ke pemerintah”.

Jadi kalau pemerintah sedang butuh dana segar, terutama di akhir-akhir tahun, pabrikan rokok sudah pasti dapat menjadi sumber dana pasti pemerintah. Tuh kan, nikmat mana lagi yang pemerintah dustakan?

Itu baru dari dana cukai secara keseluruhan. Kenikmatan lainnya yang diterima pemerintah dari cukai rokok lainnya adalah transfer dana ke daerah-daerah juga dibantu oleh cukai rokok. Yang ini dinamakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Tahun lalu transfer dana ke daerah melalui DBHCHT ini mencapai Rp 2 triliun.

Lantas apa saja pemanfaatan DBHCHT tersebut? Mekanisme pemanfaatannya diatur oleh pemerintah pusat yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Rinciannya seperti ini, 50% digunakan untuk peningkatan kualitas pertanian, industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi cukai, dan pembertasan rokok ilegal, lalu 50% digunakan untuk pembiayaan kebutuhan prioritas daerah.

DBHCHT biasanya dibagikan di awal tahun, saat pemerintah daerah sedang membutuhkan dana segar. Tuh kan, pemerintah daerah tinggal santai saja dan setiap tahunnya disuntik dana segar dari cukai ini. Maka nikmat mana lagi yang pemerintah dustakan?

Cukai yang Manis untuk Dihisap

Selama ini cukai rokok memang seperti mesin uang pemerintah. Namun, yang kemudian harus diperhatikan adalah pemerintah hanya mau terima beres uangnya saja. Persoalan-persoalan yang ada di industri hasil tembakau/rokok pemerintah lebih sering abai. Bahkan seringkali malah ikut-ikutan menyudutkan industri ini dengan dalih-dalih kesehatan.

Jadi, meskipun cukai rokok itu membawa kenikmatan bagi pemerintah, pada dasarnya pemerintah cuma mau nikmatnya saja. Tanpa mau mengawal dan melindungi industri rokok dengan baik. Padahal, di dalam industri ini terdapat 6 juta jiwa yang harus diperhatikan nasibnya, serta terdapat produk Kretek sebagai warisan budaya tak bendawi khas Indonesia. Maka, dapat dikatakan pemerintah ini merasakan nikmat, tapi mereka berdusta.

Tinggalkan Balasan