PERTANIAN

Rokok di Tengah Badai Ekonomi-Politik

Beberapa bulan sebelumnya dan dua tahun kedepan akan terjadi gejala yang saling bertautan, yakni seputar ekonomi-politik yang bergejolak, yang akhirnya mengekor terhadap daya beli masyarakat.

Apa saja: Lesunya ekonomi yang ditandai dengan penurunan daya beli masyarakat, memasuki tahun-tahun politik baik di tingkat regional maupun nasional, dan pemerintah menaikkan cukai rokok menjadi 10,04 persen.

Untuk itu, tulisan ini akan menganalisa ketiga hal di atas yang akan dihubungkan dan di akhiri dengan posisi daya konsumsi masyarakat terhadap rokok, apakah terjadi penurunan atau tidak. Untuk data yang saya sajikan, saya hanya menghimpun dari beberapa sumber di media yang dipadukan dengan analisa subjektif pribadi.

Tiga Persoalan

Pertama, beberapa bulan terakhir ada problem krusial yang terjadi yakni adanya penurunan daya beli masyarakat, hal ini bisa dilihat dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan konsumsi rumah tangga pada kuartal ke III-2017 tumbuh melambat kisaran 4,93% bila dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya, 4,95%. Bisa diamati terjadi penurunan 2% dari angka 4,95% menjadi 4,93%.

Melemahanya tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang bisa dilihat baik di tingkat masyarakat menengah ke bawah hingga menengah ke atas. Beberapa ekonom umumnya sepakat, masyarakat kelas mengah ke bawah mengalami tekanan berupa: Pendapatan mereka tidak bertambah, namun harga kebutuhan pokok mengalami peningkatan—inilah yang menjadi faktor utama.

Sedangkan masyarakat menengah ke atas disebabkan oleh penahanan terhadap daya konsumsi, lantaran mereka melihat ekonomi dunia yang sedang melambat, kondisi perpolitikan dalam negeri, kekhawatairan akan pajak yang semakin meningkat yang digencarkan oleh pemerintah, penahanan belanja yang dialokasikan ke sektor perbankan.

Penyimpanan ke sektor perbankan ini bisa dilihat: Seperti yang dihimpun dari data uang beredar oleh Bank Indonesia (BI) per September 2017, perolehan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan nasional tercatat Rp 4.992 triliun meningkan 11,1% dibandingkan bulan sebelumnya Rp 4.237 triliun. Untuk DPK giro tercatat Rp 1.110 triliun, tumbuh 12% dibandingkan bulan sebelumnya Rp 1.073 triliun. Kemudian DPK tabungan tercatat Rp 1.592 triliun tumbuh 10,1% dibandingkan bulan yang sebelumnya Rp 1.562.

Sedangkan untuk simpanan deposito atau berjangka tercatat Rp 2.290 triliun, tumbuh 11,3% dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara di DPK berdominasi rupiah tumbuh 11,8% dari bulan sebelumnya 9,8%. Hal ini terjadi di seluruh jenis simpanan lainnya, kecuali di giro berdenominasi valas yang turun pada angka 5,5%.

Kedua, dua tahun ke depan Indonesia akan memasuki kontestasi politik, di mana pasangan calon dengan pasangan calon lainnya akan beradu untuk merebut hati masyarakat. Ada 171 daerah melangsungkan hajat besar pilkadaa, rinciannya sebagai berikut: 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten menyelanggarakan pilkada 2018, yang kemudian disusul oleh pemilihan presiden dan wakilnya.

Perebutan kursi jabatan tersebut akan mengakibatkan banyak hal, pahitnya ialah akan menimbulkan kelesuan ekonomi jilit dua, alasannya adalah karena setiap calon khususnya yang sedang berposisi di pemerintahan, lebih memfokuskan bagaimana partainya dan dirinya sendiri (jika mencalonkan) agar dapat menang dipertarungan nanti, tentunya dengan berbagai cara.

Hal ini menyebabkan, tidak fokusnya terhadap apa yang dikerjakan—akhirnya proses kerjanya tidak maksimal. Misal, pengabaian terhadap program-program kerja yang dampaknya akan mangkrak atau sekurang-kurangnya kinerja melambat.

Namun ada juga para pengamat yang menilai apabila dikelola dengan baik, tahun politik tersebut tidak akan berdampak pada penurunan ekonomi, pun semakin dipertegas dengan pendapat Joko Widodo akhir-akhir ini, pemerintahan diminta tetap fokus untuk bekerja dan tidak mengeluarkan kebijakan yang merugikan rakyat.

Ketiga, tahun baru 2018 masyarakat perokok dikejutkan dengan keputusan pemerintah dengan menaikan cukai rokok sebesar 10,4%, yang diumumkan oleh Menteri Ekonomi (Menkeu) Sri Mulyani, atas dasar rapat internal yang dipimpin langsung Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta (19/10/2017).

Hal tersebut disahkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-146/PMK.010 tentang Tarif Cukai Tembakau. Tujuan dari kebijakan tersebut tiada lain untuk mengendalikan konsumsi rokok masyarakat. Kenaikan tarif cukai rokok pada 2018 sebesar 10,4% dinilai dapat menurunkan produksi 2,2% serta menurunkan prevalesni merokok hingga 0,4% di usia di bawah umur.

Posisi Rokok

Rokok sudah menjadi budaya konsumsi masyarakat Indonesia entah masyarakat kelas atas ataupun kelas bawah, terlepas apakah rokok adalah budaya Nusantara dari berabad-abad lalu ataupun warisan para pedagang Portugis.

Tetapi dan yang pasti, rokok sudah menjadi budaya dan kebiasaan konsumsi masyarakat Indonesia, hal ini bisa dicirikan dengan ucapan “uang rokonya mana?”. Ucapan tersebut dapat menyimbolkan bawa rokok sudah terjadi di-grassroot dan menjadi  kebiasaan dalam subsistem-subsistem masyarakat kita sehari-hari.

Di tegah badai kelesuan ekonomi kuartal ke III-2017, dan ramalan lesunya ekonomi jilid dua tahun politik serta naiknya nilai cukai rokok yang mengabitkan mahalnya rokok. Saya kira tidak akan menekan turunnya daya konsumsi masyarakat terhadap rokok, hal ini bisa dilihat dengan beberapa faktor dan alasan.

Pertama, BPS Sumatra Barat (Sumut) menyebutkan rokok masih menjadi salah satu penyebab pengeluaran terbanyak setelah beras dengan angka 10,81% di perkotaan dan 16,24% di pedesaan.

Meskipun survei ini berbasis di Sumut, namun bukan tidak mungkin hasil survei tersebut dijadikan kacamata untuk melihat fenomena pengkonsumsi rokok diskala nasional—dengan catatan meskipun ada selisih perbedaan, terkait jumlah, angka, dan persen—tapi yang pasti, rokok sudah menjadi prioritas utama setelah beras.

Kedua, kita bisa melihat masyarakat menengah ke bawah yang tinggal di perkotaan, khususnya di Jakarta, Bandung, dan Surabaya yang berprofesi sebagai buruh pabrik, kuli bangunan, ojek atau lain sebagainya, masih banyak yang mengkonsumsi rokok di atas kisaran harga Rp 15.000. Gejala ini tidak terjadi atau sulit di masyarakat menengah bawah pedesaan, kenapa?.

Ketiga, Hebert Marcuse dalam bukunya One-Dimensional Man [1964] menjelaskan, dalam masayarakat modern barang-barang produksi borjuis yang terus-menerus ditampilkan, ditampakkan dalam bahasa lain ialah diiklankan secara masif akan berefek semakin meningkatnya daya beli masyarakat hingga masuk ke dalam diri kesadaran—tidak lain karena hasrat untuk membeli rokok terus meningkat, karena tekanan itu tadi.

Sangat relevan sekali jika masayarakat perkotaan dapat dengan mudah melihat tampilan produk-produk kapitalis rokok dan ditambah dengan  gaya hidup-lingkungan yang mempengaruhinya.

Keempaat, banyaknya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan rokok semisal, Sampoerna dan Apace berupa kegiatan konser musik yang terus bersafari ke daerah satu ke daerah lain, yang notabene pangsanya adalah para anak muda, Djarum dengan komunitas motornya. Berbagai kegiatan tersebut tiada lain untuk menyiasati bagaimana produsksi rokok akan terus diminati oleh kalangan anak muda.

Selain itu, di media baik televisi maupun media lainnya—semakin masifnya iklan oleh produk rokok, apalagi ketika jam tayangnya adalah sepak bola, pasti Djarum Super yang sering ditampilkan, karena ia sudah bekerja sama dengan pihak manejemen ketika jam tayang tayangan sepak bola.

Terakhir, dengan mahalnya harga rokok tidak akan mengernyitkan dan mengurangi daya beli masyarakat atau dalam bahasa Sri Mulyani, dapat terkontol. Masyarakat perokok hanya beralih konsumsi, dari rokok yang mahal ke rokok yang terjangkau lebih murah, beralih dari brand A ke brand B, kenapa demikian? Karena rokok tidak bersifat ideologis yang baku. Dapat dengan mudah, dapat berpindah atau berganti sesuai selera dan faktornya masing-masing.

Jadi, meskipun rokok diserang terus menerus dengan badai ekonomi-politik seperti yang telah saya sampaikan di atas, sangat sulit  khususnya pemerintah untuk memadamkan kepulan dari mulut masyarakat Indonesia, banyak faktor penentu yang menjadi penyangga terealisasinya kebiasaan merokok.

Sebaiknya, pemerintah dan antirokok tak perlu capek-capek menghentikan para perokok menikmati kepulan asapnya, karena hal itu amat sia-sia. Sebatang dululah, Tuan!

Tinggalkan Balasan