logo boleh merokok putih 2

Filosofi dan Nilai Budaya di Balik Budidaya Tembakau

tembakau

Empat kali menanam, empat kali memanen dan empat kali pula hampir bangkrut, namun tak sedikit pun membuat kapok kedua orangtua saya untuk berhenti menanam tembakau. Motivasinya sederhana,  bukan dari seberapa hasil penjualannya, melainkan bagaimana upaya untuk terus bereksperimen menghasilkan tembakau yang berkualitas terbaik.

Awalnya saya beranggapan, kedua orangtua saya tak pernah mau belajar dari apa yang telah terjadi. Terus menanam, padahal sudah tahu kalau tembakau tidak terlalu cocok ditanam di desa saya, Melatirejo, Bulu, Rembang, Jawa Tengah. Terus menanam, padahal harga sering dimainkan para tengkulak. Dan terus menanam, padahal capek terasa luar biasa. Tetapi, setiap musim ketigo (musim panas) tiba, warga lebih memilih menanam tembakau ketimbang jagung, semangka, atau melon yang jelas-jelas mudah dan menguntungkan.

Sejatinya bapak dan ibu tahu, tembakau atau orang sering menyebutnya emas hijau, bukanlah tanaman yang mudah dibudidayakan. Menanam tanaman ini harus lebih ekstra sabar dan telaten, baik dari masa tanam hingga siap jual. Pagi hingga malam, apalagi kalau musim panen tiba, ladang dan tembakau selalu menjadi prioritas ketimbang anaknya yang sedang menikmati liburan di kampung halaman. Bapak, Ibu, kalian itu sebenarnya maunya apa?

Pengamat mungkin hanya bisa ngoceh. Begitulah kiranya posisi saya. Hanya mengamati tanpa mau menjadi pelaku dan merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi petani tembakau. Kedua orangtua saya membaca betul tabiat anaknya yang kadang-kadang merasa paling pintar sendiri. Sering bicara serius dan sok tahu mengenai konspirasi pasar, padahal mah ndeledek. Akhirnya, betapa bijak dan arifnya kedua orangtua saya dalam mendidik anaknya. Mereka mengajak turun lapangan untuk mengerti dan memahami, apa sebenarnya alasan bapak dan ibu terus menanam tembakau.

Turun ke Ladang Tembakau

Tepat setelah pulang dari Jombang, sepik-sepik ziarah ke makam auliya’, saya ikut turun ke ladang untuk memetik 2-3 daun paling bawah dari pohon tembakau. Inilah panen minggu awal dan kali pertamaku ikut nimbrung memanen tembakau. Daunnya yang dipetik sudah agak menguning. Daunnya terasa lengket dan membuat tangan menjadi hitam akibat lendirnya. Katanya, semakin lengket tanaman ini, maka semakin bagus hasilnya. Biasanya satu hektar lahan, membutuhkan waktu seharian penuh dan sebulan untuk memetik semua daunnya.

Di tengah terik matahari yang terasa semakin membakar kulit, tiba-tiba bapak berujar kepadaku. “Cung, kenapa memanen tembakau harus sedikit demi sedikit?” Aku berdiam sejenak dan mencari-cari jawaban yang kiranya pas untuk menjawab pertanyaan bapak saya tersebut. “Bukannya memang caranya seperti itu, Pak?” Jawab saya singkat, sedikit mencari aman.

Bapak tersenyum. “Inilah gambaran kehidupan. Pohon itu ibarat dunia tempat hidup manusia dan daun-daunnya adalah manusia itu sendiri. Jika sudah menguning, tentu Izrail sudah siap untuk memetiknya. Jika sudah dipetik, berarti waktu manusia hidup di dunia telah habis, dia meninggal dan berpindah tempat.” Aih, bapak saya ini bisa saja, sok filosuf yang suka mengotak-atik segala sesuatu menjadi sari pelajaran.

Tapi saya kira benar adanya, seperti Gus Miek atau Gol A Gong pernah berkata, pelajaran paling berharga itu bukan dalam kelas, melainkan di alam terbuka seperti ini.

Tentang Daun dan Cara Menjemurnya

Setelah 2-3 daun paling bawah selesai dipetik, daun-daun tersebut harus diimbu (didiamkan) sekitar sehari atau dua hari. Bukan menggunakan kayu kemudian dibakar yang mengakibatkan hutan gundul, seperti sedulur aktipis antitembakau dan rokok bilang. Hanya didiamkan pada tempat yang lembab. Ini dimaksudkan agar daun terlihat lebih kuning dan menggairahkan.

Dari masa pengimbuan ini, kita bisa belajar bahwa manusia harus senantiasa berkontemplasi untuk mengevaluasi diri. Hingga menjadi matang seperti daun-daun tembakau itu. Nabi Muhammad pun mengintruksikan manusia harus bertafakkur atau berkontemplasi seperti itu, bukan?

Tak berhenti sampai di situ, setelah daun didiamkan dan sudah tampak makin menguning, berarti tembakau siap dirajang dan kemudian dijemur dibawah sinar matahari. Tetek (anyaman bambu berbentuk persegi panjang berukuran 1,5 X 0,5 meter) sebagai wadah menjemur disiapkan. Kira-kira butuh ratusan tetek untuk sekali panen.

Terharu sekaligus Senang

Saat seperti itulah, terkadang membuat saya haru sekaligus senang. Haru lantaran setiap mesin rajang berbunyi, tetangga dan kerabat terdekat sepontan akan berbondong-bondong datang untuk membantu, padahal saat merajang biasanya tepat sehabis salat subuh atau ayam jantan sedang semangat-semangatnya berkokok. Dan senang karena mencium aromanya yang khas dan membuat pernafasan dan dada menjadi lega. Kalau ada yang bilang tembakau bisa membuat sesak nafas, itu hanyalah pitnah, asal tembakaunya tidak dimasukkan dalam hidung.

Menjemur tembakau, terkadang menjadi momok menakutkan. Salah sedikit saja saat menjemur tanaman ini bisa berakibat menurunnya kualitas tembakau itu sendiri. Kata bapak, petani harus punya ikatan batin dengan tanaman itu yang dijemur. Kapan saat harus dibalik dan kapan harus diamankan. Jangan terlalu kering, jangan pula terlalu basah. Mengutip lagunya Kaji Rhoma, yang sedang-sedang saja.

Sebelum tembakau siap dikirim ke pemasok, biasanya tembakau harus didiamkan dan ditutup layar agar gondonya (baunya) semakin tajam dan warnanya semakin menarik. Kira-kira membutuhkan waktu seminggu hingga dua Minggu, tergantung kondisi tembakaunya. Saat seperti inilah, para tengkulak bergerilya menyambangi satu per satu petani tembakau. Sok-sokan punya penciuman top untuk menghakimi kualitas tembakau. Kadang-kadang saya sedikit curiga, kalau hidungnya sedang pilek, terus bagaimana? Bisakah dipertanggungjawabkan penilainnya? Tidakkah pabrik punya alat yang bisa mengukur kadar kualitas tembakau? Haih.

Akhirnya saya pun mengerti, kenapa kedua orangtua saya ngotot untuk terus menanam tembakau. Sasaran mereka bukan hasil dan keuntungan yang melimpah. Melainkan sekadar belajar membudidayakan tembakau untuk mencari kepuasan diri yang tak bisa diganti dengan apa pun, termasuk uang yang melimpah. Sama seperti Alfa Edison saat bereksperimen membuat bohlam lampu, ia selalu penasaran meski gagal ribuan kali.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Ibil S Widodo

Ibil S Widodo

Manusia bodoh yang tak kunjung pandai