“Pendek kata, Bapak Tani adalah gudang kekayaan, dan daripadanya itulah negeri mengeluarkan belanja bagi sekalian keperluan. Pak Tani itulah penolong negeri apabila keperluan menghendakinya dan di waktu orang pencari-cari pertolongan. Pak Tani itu ialah pembantu negeri yang boleh dipercaya untuk mengerjakan sekalian keperluan negeri, yaitu di waktunya orang berbalik punggung (tak sudi menolong) pada negeri; dan Pak Tani itu juga menjadi sendi tempat negeri didasarkan,”
(Hadlratus Syekh KH Hasyim Asyari)
Nahdhatul Ulama (NU) merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pengikutnya yang disebut sebagai kaum Nahdliyin mencapai 83 juta orang. Banyak hal yang telah dilakukan oleh NU, terutama dalam merawat nilai-nilai Islam yang sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an. Menariknya bukan hanya itu, tapi NU juga menyentuh kepada persoalan-persoalan kebangsaan lainnya, salah satunya adalah berdiri bersama dalam perjuangan melestarikan Industri Hasil Tembakau.
Dari hulu ke hilir, enam juta orang yang bergantung hidup dari Industri Hasil Tembakau. Di hulu ada petani tembakau dan cengkeh, di hilir ada buruh dan pedagang. Dari 6 juta orang yang bergantung hidup ini terdapat juga kaum Nahdliyin, terutama para petaninya. Karena memang banyak kaum Nahdliyin yang berasal dari golongan petani.
Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa NU lekat dengan perjuangan Industri Hasil Tembakau. Budayawan NU, Ngatawi Al-Zastrow pernah mengatakan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tembakau sudah puluhan tahun menjadi sumber penghidupan jutaan petani. Oleh karena itu menolak secara tegas jika tembakau disebut haram.
Selain daripada aspek sosiologis, hal lainnya yang juga menjadi titik perhatian NU terhadap Industri Hasil Tembakau adalah persoalan fatwa-fatwa mengenai hukum rokok. Dan NU berdiri pada posisi menolak fatwa haram tersebut.
Ketika Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram rokok, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyatakan ketidaksepakatannya. Menurutnya, tidak mudah membuat fatwa haram, kecuali yang untuk hal-hal sudah qath’i atau jelas-jelas diharamkan seperti daging babi, khamr atau darah. Fatwa haram rokok harus dicarikan padanannya dengan berbagai hal yang telah diharamkan. Dalam NU proses pencarian hukum ini disebut dengan ilhaqul masail binadhairiha (menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah “jadi”)
Maka selain NU turut membela petani tembakau dan pekerja Industri Hasil Tembakau dengan menyatakan menolak adanya FCTC yang berupaya mematikan industri hasil tembakau, NU juga hadir pada persoalan fatwa pengharaman rokok yang terkesan terburu-buru dan sarat kepentingan.
Untuk merespon fatwa haram tersebut, NU langsung menggelar bahtsul masail mengenai rokok yang digelar di Jakarta, 23-24 Februari 2010 dengan hasil putusan bahwa hukum rokok adalah mubah atau diperbolehkan dan makruh atau lebih baik ditinggalkan.
Mengapa NU begitu responsif atas fatwa haram tersebut? Tidak lain karena NU menganggap bahwa untuk mengeluarkan fatwa harus melalui bahtsul masail yang mendalam. Dan juga pembahasan bahtsul masail membutuhkan peserta yang terdiri atas para kiai pakar ahli fiqh dan kalangan profesional yang bersangkutan dengan masalah yang dibahasnya. Sebab mengeluarkan fatwa haram tidak boleh terburu-buru tanpa ada pertimbangan yang matang.
Melihat bahwa tembakau dan hasil tembakau (barang tentu kretek) sudah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Indonesia, dikarenakan sikap dan pandangan NU yang mengamini nilai Islam yang ke-indonesia-an.
Dan kini NU telah berkiprah selama 92 tahun, bahkan lebih lama dari umur kemerdekaan Republik Indonesia. Kami stakeholder pertembakauan turut mendoakan agar NU dapat terus berkiprah dalam menjaga Islam Rahmatan lil Alamin di Indonesia. Panjang umur perjuangan. Oh iya, sambil menulis artikel ini saya turut bernyanyi Syubbanul Wathon.