Rokok sudah dikenal jauh sebelum jaman kemerdekaan. Artinya, masa Indonesia masih terdiri dari beberapa kerajaan, rokok sudah menjadi salah satu aktivitas yang wajib dilakukan. Pada masa itu rokok ya hanya rokok. Tidak ada konsekuensi moral ataupun etika apapun, apabila hanya dikomsumsi oleh pria saja.
Namun seiring berjalannya waktu, rokok bukan hanya dikomsumsi oleh para pria, kaum wanita pun mulai ikut mencicipi selinting tembakau tersebut. Walaupun pada kenyataannya, setiap produk iklan rokok, selalu didominasi oleh kaum pria. Yah walau ada beberapa peran figuran seorang wanita di sana.
Hanya saja, hingga sekarang, khususnya masyarakat Indonesia, merokok selalu menampilkan ikon seorang pria dan pria tersebut mempunyai kebebasan untuk merokok tanpa terbebani oleh berbagai macam penilaian miring. Artinya, merokok bagi pria adalah hal yang wajar dan pantas.
Berbeda apabila yang merokok adalah seorang wanita, masyarakat yang masih memegang teguh adat ketimuran, masih tabu apabila melihat seorang wanita dengan sebatang rokok terselip dijarinya. Hal ini pastinya akan melontarkan penilaian-penilaian miring yang sifatnya menghakimi. Bukan tidak mungkin akan terlontar beberapa pendapat miring terhadapnya. Anggapan buruk seperti wanita “tidak benar, wanita “nakal” atau mungkin dikatakan wanita “berandal”.
Beberapa anggapan tersebut, sudah saya buktikan sendiri. Walaupun saya bukan wanita perokok, namun saya mempunyai beberapa teman wanita yang merokok. Masih sedikit masyarakat yang tetap berpendapat positif apabila melihat wanita yang sedang merokok.
Kejadian tidak mengenakan soal pandangan masyarakat terhadap wanita yang merokok, baru saja saya alami tadi sore. Seperti biasa, hari jumat merupakan jadwal saya nge-gym. Sepulang dari gym, bersama beberapa teman wanita, kami mampir kesebuah café yang letaknya tidak jauh dari area gym.
Tidak ada yang menganjal saat kami masuk, namun suasana mulai terasa berubah, ketika beberapa teman mulai menyalakan rokok sambil menunggu menu makanan yang dipesan. Mulanya kami merasa tidak perlu ambil pusing, namun semakin lama, kami semakin merasa bahwa ada beberapa mata yang memandang nyinyir ke meja kami.
Bagi saya yang bukan perokok, yang sangat menganggu adalah asap rokoknya, bukan si perokok. Tetapi bagi beberapa orang didalam café tersebut, melihat beberapa orang wanita merokok di meja yang sama, sepertinya menjadi bahan tontonan dan tentunya bahan pembicaraan mereka. Karena merasa tidak nyaman, salah satu teman akhirnya memutuskan untuk segera pergi, padahal makanan yang dipesan baru saja datang. Dengan sedikit menggerutu, diapun membayar ke kasir, -tetap dengan rokok di tangannya-. Bahkan dari sikapnya nampak unsur kesengajaan dengan mengepulkan asapnya sebanyak mungkin.
Niat untuk melepas lelah menjadi gagal, dan kami putuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan, teman saya tidak berhenti mengumpat. Mempertanyakan apa yang salah bila ada wanita merokok. Bukankah sekarang jaman emansipasi. Bukankah sekarang gaya hidup kota besar identik dengan hal seperti itu. Sambil menyetir, saya menyimak kekesalannya. Lalu tiba-tiba dia bertanya “ Neng, kamu ga pengen nyoba untuk merokok, udah lama temenan ama perokok, kok ga niat belajar “
Saya hanya tersenyum, “ Untuk sekarang sich belum kepengen, ga tau besok, atau nanti, lagi pula ga mungkin aku merokok, secara bokap kagak merokok, malulah aku “
Teman saya hanya tersenyum, namun saya melihat, kekesalan pada wajahnya. Diapun bertanya lagi “ Menurut kamu, aku salah ya kalau merokok ?”.
Tanpa menoleh saya menjawab “ Itu kan pilihan kamu, kamu akan nampak salah di depan mataku, kalau pas hamil, terus kamu merokok..itu baru salah buat aku.”
Sepintas saya melihat kepalanya mengangguk-angguk. Entahlah apa yang sedang dipikirkannya. Hanya setahu saya, teman saya tersebut bukan tipikal yang gampang galau hanya karena pandangan orang bahwa dia wanita yang merokok.
Wanita merokok. Ehmm…hal ini mengingatkan saya pada sebuah buku yang pernah saya baca. Sebuah buku karya YB.Mangun yang berjudul Roro Mendut. Dalam buku itu dikisahkan bahwa Mendut yang merupakan putri boyongan adalah seorang tawanan yang menolak untuk dijadikan istri oleh Tumenggung Wiraguna, seorang panglima dari kerajaan Mataram . Penolakan yang dilakukan Mendut bukan tanpa sebab, selain tiada rasa cinta, faktor lainnya adalah karena Mendut hendak dijadikan istri dengan status selir. Sementara pada saat itu Mendut sudah mempunyai seorang kekasih bernama Pranacitra.
Tumenggung Wiraguna, yang usianya jauh lebih tua dari Mendut, sebenarnya sudah mempunyai seorang istri yang bernama Nyai Ajeng, selain itu dia juga mempunyai empat orang istri selir, yaitu Bendara Ayu Arimbi, Bendara Ayu Mawarungu, Bendara Ayu Arumardi dan seorang istri berdarah Cina yang bernama Sengsemwulan.
Dari mula menjadi tahanan Tumenggung Wiraguna, Mendut sudah jelas-jelas menolak untuk dipersunting. Namun, karena alih-alih merasa bahwa sebagai seorang Tumenggung Wiraguna tetap berkehendak mempersuntingnya. Segala cara dilakukan, termasuk membuat suatu pagelaran perang di Sitihinggil. Dengan harapan, bila Mendut melihatnya tangkas menunggang kuda dengan menggunakan pakaian perang kebesarannya, maka Mendut akan luluh. Namun bukan Mendut namanya bila luluh oleh segala hal yang menurutnya berbau pamer. Ternyata mendut lebih memilih untuk pergi bermain di sungai dengan dayang sekaligus sahabatnya yang bernama Gendhuk Duku.Ketidakhadiran Mendut pada ajang itu menimbulkan murka dihati Wiraguna. Harga dirinya sebagai Tumenggung sekaligus Panglima besar kerajaan Mataram dilucuti. Melalui istri perdananya, Nyai Ajeng, Wiraguna katakan, bahwa mulai hari itu, Mendut harus membayar sebanyak lima tael kepadanya, setiap hari. Titah Wiraguna sangat mencengangkan Istri dan keempat selirnya. Karena hal tersebut sangatlah sulit dipenuhi bagi Mendut.
Mengetahui hal tersebut, tentu saja menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Mendut. Namun, sebuah ilham didapatinya ketika tanpa sengaja, dirinya melihat beberapa prajurit dan abdi dalem istana, yang berbagi sebatang rokok. Dari mulut satu ke mulut lainnya. Pikirannya teringat pada daerah asalnya yang hanya seorang nelayan, saking miskinya , disanapun sebatang rokok harus rela dinikmati bersama-sama. Dari sinilah, ide seorang Mendut muncul.
Jauh dilubuk hatinya, Mendut sangat tersiksa karena harus menjalani sebuah kehidupan yang mewah, namun hak kebebasannya dirampas. Penolakan-penolakan yang dilakukannya tidak membuat Tumenggung Wiraguna bergeming. Lebih-lebih Mendut pun harus terpisah dengan Pranacitra.
Hingga akhirnya Mendut harus menjalani pekerjaan sebagai penjual rokok. Tentunya atas seijin Tumenggung Wiraguna. Tapi itulah nasib seorang rakyat, yang tidak mempunyai kebebasan untuk berkata tidak atas apa yang diperintahkan oleh istana. Terlebih lagi Mendut adalah wanita Jawa, yang senantiasa dituntut untuk tetap tampak halus, lembut, berperan baik sebaik seorang ibu maupun istri.
Dengan menjalani profesi sebagai penjual dan penikmat rokok, disinilah letak perlawanan seorang Mendut. Yang berjuang melawan seorang Tumenggung sekaligus Panglima kerajaan Mataram. Hal tersebut merupakan strategi seorang wanita Jawa yang berjuang memperoleh kembali otoritas hidupnya. Dengan memakai strategi yang bersikap “diam” serta memakai cara-cara halus untuk menyusun perlawanan. Hal yang sangat disadari Mendut, karena dia bukanlah wanita yang mempunyai ilmu kanuragan.
Hanya dengan menjadi penikmat rokok, Mendut menunjukan sikapnya untuk menentang pihak oposisi yang mengurangi kebebasan dalam menentukan jalan hidup. Termasuk sikapnya yang melawan adanya sistem putri boyongan, atau putri rampasan. Baginya bila suatu daerah mengalami kekalahan, maka bukan berarti bahwa seluruh kaum wanita menjadi milik si penguasa / pemenang.
Belajar dari seorang Mendut, saya belajar menghargai para teman wanita saya, yang kebetulan seorang perokok. Dan menarik beberapa kesimpulan, bahwa merokok bisa jadi merupakan kekuatan mereka dalam memperjuangkan sesuatu. Bahkan, bagi saya, seorang wanita perokok adalah seseorang yang pemberani, karena merupakan suatu sikap yang mendobrak beberapa sistem yang tidak menguntungkan kaum wanita.
Dan poin yang terpenting dari seorang Mendut, adalah walaupun dia seorang penikmat dan penjual rokok, namun Mendut sangat bisa menjaga sikapnya. Hal ini bisa dilihat dari hidupnya yang tidak berorientasi pada seks bebas. Walaupun dia mencintai kekasihnya, Pranacitra, dan mengasihinya, namun Mendut menolak saat diajak bersenggama
Kalaupun masih ada beberapa orang yang mengidentikan miring soal wanita perokok, hal tersebut merupakan hak prerogative yang melihat. Namun sebagai seseorang yang memiliki beberapa teman perokok, apa yang terlihat tidak sepatutnya dijadikan patokan untuk menilai. Jika merokok kadang dikaitkan dengan gaya hidup bebas, saya akan patahkan pendapat itu. Karena teman-teman saya merokok namun gaya hidupnya tidak seperti yang terlihat. Merokok bukanlah pelampiasan atas masalah yang sedang terjadi, namun merokok terkadang menjadi salah satu jalan dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Jadi, selalulah berpikir positif dalam menilai sesuatu. Karena apa yang nampak diluar, belum tentu sama dengan yang terjadi didalam.