Salah satu kenakalan masa kanak-kanak yang pernah saya lakukan dan masih saya ingat hingga kini adalah pencurian yang saya lakukan bersama beberapa orang teman saya. Kami rutin mencuri rokok kawung milik imam musala di kampung kami. Hanya daunnya saja yang kami gulung kemudian kami bakar untuk dihembuskan asapnya. Di dalam daun tidak kami isi dengan tembakau kering karena ketika kami coba, rasanya begitu menusuk tenggorokan. Kelak beberapa waktu kemudian saya baru paham daun kawung yang digunakan untuk melinting rokok itu adalah daun aren.
Rokok Kawung
Rokok kawung adalah satu dari banyak jenis kearifan lokal yang ada di negeri ini dalam menikmati tembakau. Setiap daerah memiliki variasi khusus dalam hal campuran untuk tembakau ketika hendak merokok. Yang umum hingga akhirnya menjadi produk industri, tembakau dicampur dengan cengkeh hingga menghasilkan produk kretek. Ada pula yang dicampur dengan kemenyan, dan bermacam rempah-rempah lainnya yang banyak ditemukan di Indonesia.
Selain dari campuran yang digunakan untuk merokok, jenis daun atau kertas yang digunakan untuk melinting tembakau dan campurannya juga bervariasi. Variasi jenis kertas ini memberikan karakteristik tertentu terhadap rasa rokok, dan juga terhadap penamaan rokok. Selain rokok kawung, ada banyak lagi jenisnya. Ada klobot. Penamaan tersebut karena daun yang berfungsi untuk melinting adalah daun jagung kering. Rokok cerutu menggunakan daun tembakau utuh sebagai daun pembungkus.
Rokok Bidis
Selanjutnya ada rokok bidis. Produk ini terkenal di wilayah Kamboja, Pakistan, Bangladesh dan India. Rokok bidis adalah rokok yang diracik dari serpihan dan abu tembakau hitam, tanpa campuran cengkeh dan pembungkusnya dari daun tembumi kering yang dilinting lalu diikat dengan seutas benang. Terkadang para penikmat rokok bidis mencampurkan berbagai saus rasa buah-buahan agar lebih nikmat dihisap.
Ada pula rokok nipah. Isinya sama saja dengan rokok pada umumnya, tembakau kering yang telah diiris, kadang dicampur cengkeh dan juga kemenyan sesuai dengan selera para perokoknya. Yang membedakan adalah daun yang digunakan untuk melinting adalah daun nipah. Rokok nipah populer di wilayah Sumatera, mulai dari Aceh di utara hingga Lampung di selatan. Ini terjadi karena daun nipah mudah tumbuh di wilayah-wilayah bergambut di Sumatera. Selain di Sumatera, di Kalimantan orang-orang juga umum merokok menggunakan daun nipah.
Asal Mula Rokok Nipah
Berdasarkan penuturan Anwar Beck, seorang budayawan asal Sumatera Selatan, masyarakat Palembang sejak dahulu sudah terbiasa merokok. Leluhur menjadikan rokok sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sejak dahulu pula mereka menjadikan daun nipah sebagai alat yang digunakan untuk melinting produk ini. Mulai dari anak muda hingga orang tua biasa menggunakan daun nipah untuk merokok.
Kebiasaan menggunakan daun nipah untuk melinting tembakau membuka peluang bisnis. Banyak pengrajin rumah tangga bermunculan memproduksi daun nipah kering yang digunakan untuk melinting tembakau. Selain memproduksi daun untuk merokok, batang daun yang ada digunakan sebagai bahan baku membuat kerajinan tangan. Jadi selain mendapat penghasilan dari menjual daun nipah, kerajinan tangan dari batang daun bisa memberikan penghasilan tambahan bagi para pengrajin.
Pohon nipah (Nypa pruticans) seperti juga pohon-pohon lain yang satu famili dengannya, memiliki banyak kegunaan. Selain untuk bahan merokok, daun nipah juga umum digunakan untuk membuat atap rumah. Buahnya bisa dimakan begitu saja atau dibuat manisan semacam kolang-kaling, manisan yang biasa dikonsumsi saat buka puasa di bulan Ramadan.
Ekspor hingga ke Thailand
Selain dikonsumsi di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan, daun nipah yang digunakan untuk merokok juga diekspor ke Thailand, Malaysia dan Singapura. Adalah Jang Muis, seorang warga Desa Pulau Cawan, Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau yang memiliki usaha mengekspor daun nipah ke Thailand. Dalam sebulan, Ia mengirim daun nipah ke Thailand hingga 15 ton.
Di Jalan Faqih Usman Lorong Prajurit Nangyu RT 4 Kelurahan 3 Ulu Palembang, Sumatera Selatan, Pasangan Siti Hawa (59 tahun) dan Hamim Abdullah adalah juga pengrajin daun nipah untuk kebutuhan merokok. Awalnya mereka menjual daun nipah ke wilayah Prabumulih di Sumatera Selatan. Berbekal iklan gratis di internet yang dibuat oleh anak mereka, keduanya kini rutin mengirim daun nipah untuk merokok ke Thailand sebanyak 2,5 ton setiap bulannya.
Dalam satu bulan, Siti dan suaminya setidaknya mendapat keuntungan bersih dari usaha daun nipah ini mencapai Rp30 juta. Dari usahanya itu Ia berhasil menyekolahkan anaknya hingga mendapat gelar sarjana.
Obat Tradisional
Selain memberikan keuntungan yang besar bagi para pengusahanya, rokok daun nipah ini juga digunakan sebagai obat tradisional di Sumatera Selatan. Menurut H Mukhtar (55), salah seorang tokoh masyarakat, dahulu berdasarkan pengetahuannya yang diperoleh dari orang tuanya, daun rokok pucuk ini digunakan sebagai obat terhadap beberapa penyakit. Dahulu kalau ada anak-anak kecil yang sakit demam panas dan bibirnya pecah-pecah, maka disuruh orangtuanya mengisap daun rokok pucuk ini, maka tak lama kemudian akan sembuh.
Masih menurut H Mukhtar, daun rokok nipah ini diketahui juga sebagai obat untuk penderita semacam penyakit polip hidung atau di kalangan masyarakat Melayu pesisir dikenal dengan nama penyakit “restong”. Maka asap dari rokok daun nipah ini, dianggap mampu menyembuhkan penyakit semacam ini.
Produk yang terus menerus dikampanyekan buruk dan buruk, hanya buruk saja seakan tidak ada manfaatnya sama sekali, di tangan masyarakat melayu pesisir di wilayah Sumatera, bisa dijadikan obat. Lebih dari itu, rokok daun nipah juga memberikan keuntungan yang tidak sedikit bagi beberapa orang warga yang membuka usaha menjadi pengrajin daun nipah untuk merokok.