PERTANIAN

Nasib Industri Kecil Pengolahan Tembakau

Industri pengolahan tembakau skala mikro tercatat mengalami penurunan hingga 20,45%. Data tersebut disampaikan oleh Kepala BPS (Badan Pusat Statistik) Suhariyanto. Kabar ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam perkembangan kondisi Industri Hasil Tembakau. Sudah sejak lama industri pengolahan tembakau skala mikro nasibnya sedang berada di ujung tanduk. Tapi ya mana ada yang mau peduli dengan hal itu, kalau penerimaan negara dari hasil tembakau turun, barulah semua pihak akan kebakaran jenggot.

Di Malang misalnya, selama delapan tahun terakhir, Industri hasil tembakau di Kota Malang, Jawa Timur, terus bertumbangan. Sebanyak  115 pabrik rokok gulung tikar dalam kurun waktu delapan tahun. Menurut Kepala Dinas Perindustrian Kota Malang, Subhan, jumlah pabrik rokok pada 2009 ada sebanyak 150 pabrik rokok, tapi memasuki 2016 tinggal 37 pabrik, dan hingga semester 1 2017 hanya tinggal 35 pabrik rokok. Dan perlu dicatat yang tumbang ini adalah industri skala mikro.

Mirisnya, sumbangan sektor hasil tembakau terhadap pendapatan daerah Malang hanya dari DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau) saja, yang besarannya hingga Rp 62,5 miliar. Belum dihitung dengan pajak rokok dan pajak daerah retribusi daerah yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah. Uangnya dinikmati, tapi apakah industrinya diberikan perhatian khusus?

Lalu apa dampak dari penurunan jumlah industri hasil tembakau di Malang? Tentu saja akan berimbas kepada banyak hal, salah satunya adalah ketenagakerjaan. Bahkan, hanya pada periode Januari sampai November 2015 lalu, sebanyak 2.000 tenaga kerja yang bekerja di wilayah Kota Malang kehilangan pekerjaannya.

Padahal jika merunut lima tahun lalu, tenaga kerja yang terserap dari pabrik rokok mencapai 200 ribu tenaga kerja. Namun, dikarenakan banyaknya pabrik rokok yang gulung tikar, jumlah tenaga kerja di pabrik rokok di Kota Malang kini hanya berkisar 20 ribu saja.

Itu baru Malang, bagaimana dengan nasib industri pengolahan tembakau di daerah lain? Jawabannya, ya sama saja, tidak jauh berbeda. Di Kudus, sebagai Kota Kretek dahulu terdapat banyak sekali usaha industri pengolahan tembakau skala mikro. Rumah-rumah warga banyak disulap menjadi pabrik sederhana yang diperuntukkan mengolah tembakau. Kami sering menyebutnya sebagai usaha-usaha rumahan.

Namun, keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 200 tahun 2010 soal batas luas bangunan pabrik rokok minimal 200 meter persegi. Industri kecil menengah yang tadinya beroperasi di rumah-rumah sebagai tempat produksi, kini terpaksa harus memiliki pabrik sendiri sesuai dengan Permenkeu tersebut.

Karena membutuhkan biaya yang besar untuk menyewa tempat atau gudang sebagai pabrik, akhirnya banyak unit industri pengolahan tembakau rumahan yang mati. Meskipun pada tahun 2010 LIK (Lingkungan Industri Kecil) sektor rokok didirikan, hanya ada sebanyak 11 unit pabrik yang disediakan, dan kini hanya tersisa 7 pabrik rokok unit kecil menengah yang masih bertahan di LIK Kudus.

Dan coba tebak berapa pendapatan daerah Kudus hanya dari DBHCHT? Jumlahnya mencapai Rp155,15 miliar. Sumbangan dari hasil tembakau yang fantastis jumlahnya ini sayangnya tidak diikuti dengan perhatian terhadap nasib industrinya, terutama industri pengolahan tembakau skala mikro.

Dua daerah di atas hanyalah contoh, sebab dua daerah tersebut merupakan daerah yang terkenal dengan industri pengolahan tembakau di Indonesia. Melihat apa yang terjadi pada kondisi industri pengolahan tembakau skala mikro di dua daerah di atas, barang tentu kita akan sepakat bahwa industri pengolahan tembakau memang sedang mengalami penurunan. Dan diprediksi tak akan mengalami pertumbuhan yang signifikan di tahun-tahun berikutnya.

Namun di satu sisi, Kepala BPS keliru dalam melihat fenomena ini. Ia mengatakan bahwa penurunan industri pengolahan tembakau bisa terjadi karena salah satu  faktor, yaitu musim panen tembakau yang sedang mengalami penurunan produksi.

Padahal, banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi. Ada dampak dari kenaikan tarif cukai yang eksesif dari tahun ke tahun, sistem ijon dalam pembayaran pita cukai, hingga persoalan stigmatisasi pihak kesehatan terhadap produk hasil tembakau.

Dalam persaingan usaha pun, industri pengolahan tembakau skala mikro ini tak mampu bersaing, terlebih ketika harus berhadapan dengan persaingan industri pengolahan tembakau yang memiliki modal besar.

Seharusnya hal-hal seperti ini juga harus disampaikan oleh Kepala BPS, karena paling tidak dapat menjadi masukan bagi pemerintah agar bisa mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menggenjot produktivitas industri pengolahan tembakau agar selamat dari lonceng kematian.

Bukannya malah hanya melihat dari satu sisi yakni, panen tembakau sedang kurang baik. Selain tidak dapat merubah apapun, nantinya juga akan menyalahkan faktor-faktor eksternal, yang mana setiap komoditas pertanian lainnya juga mengalami nasib setimpal.

Maka, isu ini harus dianggap penting oleh semua kalangan, baik itu pemerintah maupun stakeholder pertembakauan dari hulu ke hilir. Jangan sampai nasib industri pengolahan tembakau skala mikro ini bernasib sama dengan industri kecil lainnya, menjadi buah bibir oleh banyak pihak, sementara mereka terus bertumbangan.

Tinggalkan Balasan