pertanian tembakau
Beasiswa KNPK

Pak Medi dan Tembakau

Azan isya baru selesai dikumandangkan. Suaranya sayup terdengar tersamarkan oleh suara hujan deras yang mengguyur Kecamatan Parakan di Temanggung. Tepi jalan di Pasar Legi berubah menjadi selokan dadakan. Aliran air di jalan serupa selokan mengantri masuk ke selokan yang sesungguhnya. Penampang menuju selokan yang sempit, dimensi selokan yang kecil, dan hujan deras yang sudah lebih setengah jam turun, menjadi sebab tepi jalan berubah selokan.

Musim hujan sedang memasuki puncaknya. Menurut kernet bus yang mengantar saya ke Parakan, sudah lebih sepekan ketika sore tiba, hujan selalu menyertai. Kadang dengan intensitas yang sedang saja, lebih sering lebat, seperti malam itu ketika saya tiba di Parakan.

Di selasar toko-toko yang tutup, tikar tergelar. Lima buah meja kecil berjejer memanjang mengikuti selasar toko. Sebuah gerobak berukuran kira-kira dua kali satu meter berada di antara selasar toko dan jalan raya. Di atasnya tersaji bermacam jajan pasar, mulai dari yang digoreng hingga yang direbus tersedia. Konsepnya mirip angkringan di Yogya, namun tak ada nasi kucing dan tiga buah ceret seperti angkringan di Yogya. Tempat membuat minuman panas, sedikit terpisah dari gerobak utama. Seorang Ibu dan seorang anaknya dengan sigap membuatkan minuman hangat yang dipesan pembeli.

Dua orang tentara sedang berteduh. Mereka memesan teh panas, kemudian menikmati teh panas pesanannya sembari mengisap sebatang rokok. Kombinasi yang pas untuk teman berteduh dan pengusir dingin. Dua biji ketan manis dan tiga biji tahu bakso sudah saya tandaskan sebagai teman minum teh dan merokok. Di angkringan dekat Pasar Legi itu saya menunggu seseorang yang berjanji akan menjemput saya dan mengajak saya menginap di rumahnya. Saat akhirnya orang yang berjanji menjemput saya datang, saya lekas membayar makanan dan minuman yang sudah saya makan dan minum kemudian bergegas menuju mobilnya sembari menghalau hujan membasahi tubuh menggunakan tas.

Saya menyapanya Pak Medi. Usianya 44 tahun, tinggi badan antara 165 hingga 170 sentimeter, dan berkulit gelap, khas perawakan petani yang menghabiskan banyak waktunya di sawah dan ladang. Di tengah jalan dari Pasar Legi, Parakan menuju kediamannya, Pak Medi mengajak saya singgah sejenak ke toko swalayan untuk membeli popok untuk anak bungsunya yang berusia dua tahun.

Pak Medi memiliki nama panjang Sumedi. Menurutnya, Sumedi berasal dari kata Semedi. Nama itu diberikan oleh Bapaknya saat Ia melalui masa prihatin dan sulit. Untuk menghadapi masa itu, sang Bapak kerap menjalani laku bersemedi sebagai laku prihatin. Setelah tiga tahun menjalani, lahirlah anak pertamanya yang akhirnya diberi nama Sumedi.

Bertempat tinggal di Traji Kauman, Parakan, Temanggung, Pak Medi mendiami rumah –yang terletak persis di tepi jalan provinsi yang menghubungkan Temanggung dengan Kabupaten Kendal hingga jalur pantura—bersama seorang istrinya yang bekerja sebagai petugas kesehatan di Puskesmas dan tiga orang anak, dua perempuan dan satu laki-laki. Anak pertamanya duduk di kelas dua SMA dan anak keduanya duduk di kelas lima SD.

Masuk dalam wilayah Kabupaten Temanggung, Kecamatan Parakan juga menjadi sentra pertanian dan jual beli tembakau. Dahulu, di masa awal tembakau mulai diperjualbelikan di Kabupaten Temanggung, kecamatan Parakan menjadi sentra penjualan tembakau. Pak Medi, orang tuanya, juga kakek serta leluhurnya, terbiasa mengelola perkebunan tembakau. Dari orang tuanya pula Pak Medi belajar bertani tembakau.

Menurut penuturannya, seingat Pak Medi, Ia mulai serius bertani tembakau ketika usianya menginjak antara 20 dan 21 tahun. Sebagai anak pertama, Pak Medi diandalkan kedua orang tuanya melanjutkan usaha di bidang tembakau. Dari sana, Ia kemudian merintis usaha selain sebagai petani tembakau, juga sebagai pemasok tembakau untuk pabrikan-pabrikan besar yang membutuhkan bahan baku tembakau. Sudah lima tahun belakangan Pak Medi menjalin kemitraan dengan pabrikan P.T. Djarum.

Saat tidak sedang musim tembakau, Pak Medi menjajal peruntungan dengan merantau ke luar pulau Jawa. Ia pernah enam bulan di Timika, pernah juga ke Lombok dan Bali. Ketika musim tanam tembakau kembali tiba, Ia kembali ke Temanggung untuk menanam tembakau.

Terkait kemitraannya dengan P.T. Djarum, sejauh ini sudah ada sekitar 130 petani yang Ia bina untuk memenuhi permintaan pabrikan terkait bahan baku yang mereka butuhkan berupa tembakau yang dihasilkan oleh para petani. Sejauh ini, bahan baku yang dihasilkan Pak Medi dan para petani binaannya selalu terserap oleh pabrikan. Bahkan ketika kondisi buruk pada tahun 2016, tembakau dari petani binaan Pak Medi terserap semua oleh pabrikan.

Ketika saya tanyakan tentang maraknya gerakan antirokok dan antitembakau di berbagai tempat kini, Pak Medi menanggapinya dengan santai saja. “Kalau itu bagi saya nggak terlalu berpengaruh, Mas, bagi petani tembakau juga. Kita punya prinsip asal pabrikan masih giling tembakau artinya mereka masih butuh bahan baku. Jadi kami akan tanam tembakau terus. Ya ini bentuk perlawanan kami, Mas, melawan dengan tetap menanam tembakau.”

Saat ini, selain bertani tembakau, membina para petani tembakau kemitraan, membesarkan ketiga orang anaknya, Pak Medi punya kesibukan tambahan. Sejak setahun yang lalu, Ia bersama belasan orang petani tembakau lainnya dipercaya membantu mengurus beasiswa yang diperuntukkan bagi anak-anak petani dan buruh di perkebunan tembakau di wilayah Temanggung. Baginya, bukan sebuah perkara yang mustahil meraih kejayaan dengan tembakau.

Tinggalkan Balasan