PERTANIAN

Relaksasi dan Rekreasi dengan Rokok

Di tepi sawah di utara Yogya, sawah yang terkepung pemukiman baru dengan rupa bangunan seragam, berdiri sebuah pondokan beralas susunan kayu dan beratap genteng. Empat buah tiang menjadi penopang di tiap sudutnya. Bangunan tersebut tak berdinding, berukuran lima kali tiga meter. Tarjo seorang diri duduk di tepi pondokan, menghadap sawah membelakangi jalan, Ia bersandar ke salah satu tiang penegak pondokan.

Azan zuhur baru selesai berkumandang. Langit cerah, terik mentari mengepung sekeliling bangunan. Tarjo mengambil jeda untuk rehat setelah sebelumnya membajak sawah. Musim tanam padi kembali tiba.

Seorang wanita paruh baya berjalan menyusuri pematang sawah menuju pondokan tempat Tarjo rehat. Tangan kanan menenteng sebuah wadah berisi nasi, tumis kangkung, tempe goreng dan ikan kembung goreng. Tangan kirinya menenteng sebuah termos berisi kopi panas.

Sesampainya wanita itu di pondokan, Tarjo langsung menyambar termos berisi kopi, menuang kopi ke dalam sebuah gelas, menyeruputnya sedikit, kemudian Ia mengeluarkan sebatang rokok dari dalam kotak rokok yang Ia simpan di saku celana sebelah kiri. Tarjo menyulut rokok, mengisap dalam-dalam, kemudian menghembuskan asap rokok keluar dari mulut dengan khidmat.

Usai menghabiskan sebatang rokok, Tarjo menyantap makan siangnya. Sebatang rokok kembali Ia sulut setelah sepiring menu makan siang Ia tandaskan. Setelah rehat makan siang dan menghabiskan beberapa batang rokok lagi, Tarjo kembali melanjutkan pekerjaannya, kali ini istrinya ikut membantu menggarap sawah.

Tepat di tengah-tengah Pulau Sumatera, di rerimbunan kebun karet berusia 10 tahun, asap dari obat nyamuk bakar yang dibawa Penguwar cukup membantu mengusir nyamuk yang memang banyak hidup di kebun karet. Dengan sedikit improvisasi menggunakan kaleng bekas cat dan tali, obat nyamuk bakar terikat di pinggang Penguwar.

Pisau yang sudah dimodifikasi menjadi alat utama yang Ia gunakan untuk menyadap getah karet. Dalam sehari, Ia bisa menyadap 100 hingga 150 batang karet. Saat menyadap karet, atau ketika rehat menyadap antara satu batang dengan batang lainnya, dan saat rehat makan siang, Ia kerap merokok. Selain untuk teman dalam bekerja dan istirahat, asap yang keluar dari rokok yang dibakar kemudian diisap, sangat membantu dalam mengusir nyamuk di kebun yang begitu menggila.

Seno adalah seorang penulis produktif. Tulisannya perihal kuliner dan terutama sepakbola, kerap nongol di banyak situsweb nasional. Usai menerima pekerjaan baru sebagai redaktur olahraga di sebuah situsweb mentereng berbasis di Yogya, tulisan-tulisan karya Seno setiap hari akan muncul menghiasi lini massa. Selain sebotol air mineral, secangkir kopi, dan berbungkus-bungkus camilan, sebungkus rokok keretek selalu menemaninya dalam berkarya. Pada rehat ketika menulis, di waktu istirahat antara menulis satu tuisan dengan tulisan lainnya, Seno menikmati rokok kereteknya.

Hampir setiap tahun, ketika Badan Pusat Statistik (BPS) lewat Survei Susenas-nya selesai melakukan survey, rokok selalu menjadi kambing hitam yang dianggap penyebab kemiskinan di negeri ini. Belanja rokok hanya kalah dari belanja beras sebagai penyebab kemiskinan. Begitu melulu rilis yang dikeluarkan BPS.

Pada pertengahan tahun 2017, di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) melakukan survei dengan maksud mencari opini dan pandangan lain terkait aktivitas merokok. Berdasarkan laporan BPS, wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan termiskin di Pulau Jawa. Angka kemiskinan D.I. Yogyakarta, menurut BPS 2016 mencapai 13.20 persen, lebih tinggi dari daerah lain, seperti: Jawa Tengah hanya 13.15 persen, Jawa Timur 12 persen, Jawa Barat 9,50 persen, Banten 7 persen, DKI Jakarta 3,5 persen.

Terdapat sembilan kecamatan dalam kategori miskin di daerah Gunung Kidul dari 18 kecamatan yang tercatat dalam laporan Maman Suherman, Kepala Bidang Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapedda) DIY, yaitu Kecamatan Wonosari, Karangmojo, Playen, Semin, Ngawen, Patuk, Saptosari, Ponjong dan Nglipar. Sampling pada survei yang dilakukan KNPK ditetapkan pada tiga kecamatan Wonosari, Karangmojo, Playen, berdasarkan tiga wilayah dengan jumlah penduduknya terbesar dibanding kecamatan lain.

Jumlah populasi dari tiga kecamatan adalah 704.026 jiwa, dengan margin error 5%, dan confidence level 95%, maka ditemukan sampling dari tiga kecamatan tersebut berjumlah 400 jiwa. Dari 400 jiwa, dibagi untuk pemerataan sebaran responden pada tiap-tiap desa di wilayah tiga kecamatan dan tiap desa/kelurahan diambil responden sebanyak 11-12 rumah tangga, dengan beberapa syarat, diantaranya:

  1. Penerima BLT atau Raskin
  2. Perokok
  3. Usia di atas 18 tahun
  4. Kepala keluarga, dan atau tumpuan ekonomi dalam rumah tangga.

Berdasarkan hasil survei tersebut, 98 persen responden menganggap merokok sebagai bentuk dari aktivitas relaksasi dan rekreasi. Hanya 2 persen yang tidak menganggap merokok sebagai aktivitas relaksasi dan rekreasi. Masyarakat khususnya rumah tangga miskin memiliki cara pandang yang berbeda tentang rokok, yakni memandang rokok sebagai kebutuhan relaktatif dan rekreatif; dengan merasakan merokok untuk menemukan ketenangan, menghilangkan stres, untuk fokus pada pekerjaan, dan lain sebagainya.

Mereka yang menganggap merokok sebagai aktivitas relaksasi dan rekreasi juga keberatan jika harus mengganti dengan aktivitas lainnya dengan tujuan sama. Alasan utamanya karena merokok dianggap lebih murah dibanding aktivitas lain untuk relaksasi dan rekreasi seperti jajan makanan ringan, menonton bioskop, pergi ke lokasi wisata, dan lainnya.

Tentu saja faktor ini tidak menjadi pertimbangan sama sekali ketika BPS melakukan survei dan mengeluarkan hasil surveinya. Akumulasi pemasukan, kemudian penghitungan yang melulu berbasis materi berupa uang menjadi faktor utama yang mereka hitung. Manfaat lain yang bisa didapat dari aktivitas merokok bisa dibilang diabaikan. Bagi mereka yang bekerja, dan menjadikan aktivitas merokok sebagai sarana relaksasi dan rekreasi untuk jeda dari bekerja, mengambil banyak manfaat dari merokok yang sayangnya tidak dijadikan pertimbangan lain oleh BPS ketika melakukan survei. Bukan kali ini dan untuk kasus ini saja terjadi hal demikian. Di banyak kasus lain, simplifikasi dalam penentuan variabel survei, membuat hal-hal non-materi jadi terabaikan dalam menganalisis data di lapangan.

Tinggalkan Balasan