rokok elektrik
CUKAI

Rokok Elektrik Mengancam Eksistensi Kretek

Pertentangan rokok putih versus kretek dahulu sempat mengalami perdebatan sengit. Kretek sebagai entitas khas Indonesia, eksistensinya diancam oleh ekspansi rokok putih yang bisnisnya dikuasai oleh perusahaan multinasional raksasa. Setelah sedikit mereda, kini kretek menghadapi ancaman baru selain daripada rokok putih. Ancaman tersebut adalah keberadaan produk alternatif tembakau yang bernama rokok elektrik.

Apa Itu Rokok Elektrik

Terlebih dahulu mari kita menguliti lebih dalam mengenai rokok elektrik. Apa itu rokok elektrik? Rokok elektrik atau vape menurut KBBI adalah rokok bertenaga baterai, berisi cairan yang menghasilkan aerosol.

Sementara menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, rokok elektrik adalah sebuah inhaler (alat hirup) berbasis baterai yang memberikan nikotin. WHO menyebutnya sebagai sistem pengiriman elektronik nikotin. Rokok ini menggunakan listrik dari tenaga baterai untuk memberikan nikotin dalam bentuk uap sehingga dikenal dengan sebutan Electronic Nicotine Delivery System (ENDS).

Dirangkum dari berbagai sumber, rokok elektrik pertama kali ditemukan oleh Herbert A. Gilbert pada tahun 1963 di Beaver Falls, Pennsylvania. Dengan teknologi seadanya, Herbert melakukan observasi terhadap baterai yang dapat menjadi sumber panas sehingga bisa menciptakan rokok elektrik.

Namun sampai akhir hayatnya penemuan Herbert mengenai rokok elektrik tidak sampai ke tahap produksi. Gagasan Herbert selalu mendapat penolakan dari perusahaan kimia, farmasi hingga hasil tembakau.

Berkat seorang pemuda di Cina bernama Hon Lik, rokok elektrik berhasil kembali dikembangkan untuk diproduksi. Tepatnya pada tahun 2003 setelah bertahun-tahun Hon Lik melakukan observasi, ide Hon Lik membuat perangkat rokok ini terealisasi dan mendapatkan paten. Di tahun  yang sama rokok elektronik pertama diproduksi di Beijing, Cina, dan hak patennya sudah terdaftar di lebih dari 40 negara.

Produksi rokok elektrik generasi pertama masih menggunakan teknologi ultrasonik untuk penguapannya. Kemudian pengembangannya menggunakan elemen pemanas bertenaga baterai seperti yang sekarang ini banyak beredar.

Persebaran Rokok Bukan Konvensional

Demam rokok elektrik dengan cepat menyebar ke berbagai negara. Rokok ini mulai mendapatkan tempat sebagai produk konsumsi masyarakat. Di Amerika Serikat, pengguna rokok bukan konvensional merupakan sebagian besar orang-orang muda dan dewasa. Perkembangannya yang cepat membuat bisnis industri rokok ini pada tahun 2014 sudah terdapat 466 merek dengan penjualan global sebesar $ 7 milyar.

Tetapi di balik perkembangan bisnis yang melesat, cara yang digunakan dalam menggenjot penjualan rokok elektrik sangatlah menyebalkan. Bisnis ini mendompleng isu pengendalian tembakau dengan slogan bahaya merokok dan upaya untuk berhenti merokok. Dari isu tersebut, rokok ini masuk dengan citra produk alternatif tembakau. Bahkan mereka tak segan menilai bahwa rokok ini lebih aman ketimbang rokok konvensional. Kretek salah satunya.

Dalil tersebut sangatlah memuakkan, karena banyak hasil riset yang menunjukan bahwa rokok bukan konvensional juga memiliki faktor resiko. Bahkan dalam beberapa keadaan tertentu sangat berbahaya bagi kesehatan.

The New England Journal of Medicine misalnya, pernah mempublikasikan bahwa rokok elektronik melepaskan formaldehida. Zat tersebut bisa menjadi penyebab kanker (karsinogen) ketika dipanaskan dengan baterai yang diatur pada tegangan tinggi.

Di AS, Departemen Kesehatan Masyarakat California malah sudah merilis sebuah laporan yang menyatakan rokok elektronik merupakan ancaman bagi kesehatan dan menyerukan regulasi terhadapnya. Begitupun dengan banyak negara lainnya yang mulai meragukan keamanan konsumsi rokok ini. Berdasarkan informasi yang terbaru, pemerintah Singapura tempo hari melarang penuh penjualan dan konsumsi di negaranya.

Lika-Liku Bisnis Rokok Elektrik di Indonesia

Ketika banyak negara yang melarang penjualan dan konsumsi rokok elektrik di negaranya, di Indonesia rokok bukan konvensional justru dibukakan pintu masuk untuk mengembangkan bisnisnya. Rokok ini sendiri mulai masuk ke Indonesia sejak tahun 2010. Saat itu, kampanye pengendalian tembakau sedang agresif. Kelompok antirokok berhasil menghantam produk hasil tembakau di Indonesia melalui undang-undang kesehatan nomor 36 tahun 2009.

Kretek sebagai produk hasil tembakau khas Indonesia mulai mendapatkan banyak tekanan. Selain dihantam dari sisi regulasi, kretek juga dihantam dengan kampanye antirokok yang terus-menerus menstigmakan kretek sebagai produk yang berbahaya, tentu dengan dalil kesehatan. Di sisi lain, rokok putih yang ditunggangi oleh perusahaan multinasional kian hari kian langgeng berbisnis di Indonesia dan berusaha merebut pasar konsumen kretek. Di sinilah diam-diam rokok bukan konvensional turut masuk membuka ekspansi bisnisnya.

Pada saat ramai-ramai rokok elektrik di banyak negara dilarang penjualannya karena terdapat fakta bahwa rokok elektrik bermasalah dari sisi kesehatan, di Indonesia justru rokok bukan konvensional “dilindungi” oleh organisasi kesehatan (salah satunya Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik). Mereka getol menyuarakan kampanye rokok ini aman untuk dikonsumsi.

Selain dari sisi kesehatan, sebenarnya di Indonesia juga memiliki pertimbangan lain dalam melarang peredaran rokok elektrik, yaitu dari sisi ekonomi. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pernah mengatakan rokok ini tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia, karena tidak memberikan dampak kesejahteraan bagi petani tembakau.

Hal tersebut benar adanya, karena jika kita melihat rokok elektrik vis a vis kretek tentu sangat jauh perbandingannya. Kretek sebagai komoditas strategis, faktanya telah memberikan penghidupan bagi 6 juta masyarakat Indonesia, serta menjadi tulang punggung negara dengan sumbangan ratusan triliun setiap tahunnya.

Tapi polemik tersebut pada akhirnya berujung kepada kebijakan rokok elektrik berbisnis di Indonesia. Caranya, dengan pengenaan cukai sebesar 57 persen dan harus melalui rekomendasi Kementerian Kesehatan.

Beking Perusahaan Rokok Multinasional dalam Bisnis Rokok Bukan Konvensional

Satu hal yang harus kita pahami dari karakteristik perusahaan multinasional : Apa pun akan dilakukan demi terjaganya bisnis mereka dalam meraup keuntungan. Dengan karakter yang hampir pasti seperti itu, perusahaan rokok multinasional, dalam menyikapi persoalan peredaran rokok elektrik yang mana mengancam eksistensi bisnis, mereka dengan tak mau ambil pusing. Ambil alih bisnis mereka dengan membeli saham produsen rokok elektrik atau turut mengembangkan rokok ini dengan memproduksinya sendiri.

Philip Morris International (PMI), perusahaan tembakau terbesar di dunia baru-baru ini sedang fokus mengembangkan produk  yang bernama IQOS. Investasinya pun tak tanggung-tanggung, PMI menggelontorkan dana sebesar US $ 3 miliar untuk penelitian selama satu dekade. Kini, produknya sudah dijual di Jepang, Swiss dan Italia.

Lagi-lagi PMI memuluskan bisnis IQOS-nya dengan metode yang digunakan oleh produsen rokok elektrik terdahulu. Mereka mendompleng isu bahaya merokok dan mengatakan bahwa rokok ini adalah solusi untuk mengganti konsumsi rokok konvensional.

Rencanya IQOS akan diedarkan di 20 negara sebagai pasar penjualannya, dan sebanyak 35 pada tahun ini. Inggris akan menjadi uji coba pasar IQOS. Sebab, pasar rokok ini di negara tersebut dianggap lebih menjanjikan dari pasar negara-negara lainnya. Produk IQOS di Inggris akan terkena biaya sebesar 45 pounds (US $ 56,14), dengan isi paket 20 tongkat tembakau, yang bernama HEETS.

Selain PMI, ada pemain perusahaan multinasional tembakau lainnya, yakni British American Tobacco (BAT) dan Japan Tobacco. Mereka juga akan mengembangkan rokok bukan konvensional sebagai lini bisnisnya.

Apakah perusahaan rokok multinasional di atas akan ekspansi bisnis rokok elektriknya di Indonesia? Jawabannya, kemungkinan besar iya. Jika melihat sikap pemerintah yang mengizinkan rokok elektrik beredar di Indonesia, tentunya PMI dan perusahaan rokok multinasional lainnya tidak akan menyia-nyiakan peluang bisnis yang sangat terbuka lebar tersebut.

Waspada Kehadiran Rokok Elektrik

Dengan kekuatan modal yang besar tentu bukan hal yang sulit dilakukan. Kita masih ingat bagaimana cara kerja mereka dalam mengekspansi bisnis rokok putih di Indonesia. Dengan modal besar perlahan mereka masuk dengan mengakuisisi saham perusahaan kretek di Indonesia. Mereka paham bahwa perusahaan kretek sedang terlunta-lunta karena regulasi dan serangan kelompok antirokok yang kian hari kian agresif.

Semua pihak harus jeli dalam melihat geliat bisnis menyebalkan rokok ini. Terlebih jika kita masih perduli terhadap eksistensi kretek sebagai produk khas Indonesia yang juga merupakan warisan budaya masyarakat. Kalau tidak, sudah dapat ditebak hasilnya : Kretek perlahan-lahan akan hilang dalam konsumsi dan arus kebudayaan masyarakat kita. Semoga itu tidak terjadi.

Tinggalkan Balasan