logo boleh merokok putih 2

Catatan Kritis Seorang Perokok kepada Todung Mulya Lubis

Seorang warga bernama Rohayani melayangkan somasi kepada dua perusahaan rokok nasional, PT Gudang Garam Tbk dan PT Djarum pada Jumat (9/3/2018). Saya tidak terlalu kaget sebenarnya dengan beredarnya kabar tersebut lantaran saya sudah sangat sering bersinggungan dengan manuver-manuver yang dilakukan oleh kelompok antirokok. Apalagi selain nama Rohayani, terdapat nama Azas Nainggolan (dedengkot antirokok) dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia.

Azas Nainggolan sendiri didaulat sebagai pengacara bagi Rohayani guna memuluskan langkahnya. Yang membuat saya kaget adalah munculnya nama pengacara senior Todung Mulya Lubis. Meskipun publik juga sudah tahu kalau Todung Mulya Lubis beberapa tahun terakhir masuk dalam barisan kelompok antirokok, tapi perkara Todung mendampingi Rohayani melayangkan somasi kepada perusahaan rokok tentu menjadi heboh.

Pengacara kondang sekelas Todung Mulya Lubis yang sekarang menjadi Dubes RI di Norwegia kok mau ya mendampingi kasus somasi ini? Melihat kesibukan beliau yang seabrek sebagai Dubes ditambah kesibukannya di kantor, Lubis Santosa and Maulana Law Offices, rasanya kurang keren aja gitu. Tapi bukan hanya persoalan kurang keren itu yang mengganjal pikiran saya, melainkan lebih kepada persoalan kasus somasi Rohayani yang didampinginya.

Untuk kasus tersebut saya mempunyai beberapa catatan kritis, dan tentu saja catatan kritis ini untuk Todung, kalau untuk Azas Nainggolan sih sudah sama-sama tahu kalau dia memang cari makan dengan pekerjaan antirokok-nya.

Catatan kritis pertama, kenapa somasi yang dilakukan hanya kepada dua perusahaan rokok saja? Kenapa perusahaan lain tidak? Kenapa pemerintah juga tidak disomasi? Padahal yang dapat keuntungan bukan cuma perusahaan rokok, tapi juga pemerintah, buktinya ratusan triliun cukai dan pajak rokok masuk ke kas pemerintah.

Saat jumpa pers di Equity Tower, Jakarta Jumat (9/3), Todung mengatakan “Kami mengajukan somasi kepada PT Djarum Tbk dan PT Gudang Garam Tbk selaku pelaku usaha yang memproduksi dan mengedarkan rokok yang dikonsumsi klien kami dari 1975 sampai 2000 sehingga ia mengalami kecanduan dan penurunan kualitas tingkat hidup,” ujarnya.

Sebagai mantan perokok berat, Todung harusnya tahu, bahwa perokok yang mengonsumsi dua produk rokok juga berpotensi mengonsumsi rokok pabrikan lainnya. Artinya Rohayani selama menjadi perokok dari 1975 sampai 2000 harus benar-benar jujur bahwa benarkah dalam rentang waktu tersebut dia hanya mengonsumsi dua produk pabrikan saja?

Saya termasuk perokok berat, dalam rentang waktu 5 tahun saja saya sudah mengonsumsi berbagai produk pabrikan rokok. Sebut saja yang besar-besar seperti Sampoerna, Bentoel, Djarum, Gudang Garam, dan produk pabrikan rokok lainnya. Dan itu juga terjadi pada mayoritas teman-teman saya yang juga perokok.

Jadi menurut saya sangat tidak logis dengan hanya menyerang dua perusahaan rokok saja, kenapa tidak sekalian saja semua perusahaan rokok yang ada di Indonesia disomasi, juga pemerintah yang memungut keuntungan dari perusahaan rokok dan konsumen melalui pajaknya.

Jangan tanggung-tanggung dengan sekadar melayangkan somasi kepada dua perusahaan untuk membayar miliaran rupiah kepada Rohayani, sekalian saja kita ilegalkan tembakau dan produk hasil tembakau di Indonesia. Begitu baru keren, perjuangannya maksimal, kalau hanya melayangkan somasi dengan tuntutan membayar miliaran rupiah disertai ancaman membawa ke ranah hukum, maaf, bagi saya ini terlihat seperti pemerasan. Loh iya, karena kalau dua perusahaan tersebut sudah bayar, selesai perkara kan?

Catatan kritis kedua, bagaimana cara menghitung kerugian Rohayani yang dituntut kepada dua perusahaan rokok yang disomasi? Apakah benar Rohayani mengalami penurunan kualitas hidup hanya dari persoalan konsumsi rokok-nya di masa lalu?

Menurut Todung, kepada PT Gudang Garam, Rohayani menuntut ganti rugi sebesar Rp 178.074.000 sebagai ganti rugi uang yang dihabiskan Rohayani untuk membeli produk rokok ini, dan santunan senilai Rp 500 miliar. Sementara, PT Djarum Tbk dituntut membayar ganti rugi Rp 293.068.000, ditambah santunan senilai Rp 500 miliar. Jika ditotal, tuntutan mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Ini belum termasuk biaya kesehatan yang menurut Todung masih akan dihitung terlebih dahulu.

Todung harusnya menjelaskan secara rinci komponen ganti rugi yang dihabiskan Rohayani untuk membeli dua produk rokok yang dikonsumsinya. Seperti berapa bungkus sehari,  perhitungan nominal rupiah yang digunakan di tahun 1975 sampai 2000, ada berapa hari-minggu-bulan waktu konsumsi Rohayani sepanjang rentang tahun tersebut. Jelaskan kepada publik dengan rinci agar publik tidak mencurigai bahwa kasus ini hanyalah kasus “minta duit” kepada perusahaan rokok.

Persoalan ganti rugi ini sebaiknya Todung juga harus memperhatikan bahwa dibalik seseorang yang menuntut ganti rugi, terdapat juga jutaan orang yang dihidupi dari Industri Hasil Tembakau. Biar fair ini harus diperhitungkan dalam persoalan tersebut.

Lalu, khusus untuk point penurunan kualitas hidup Rohayani, Todung seharusnya jangan hanya berasumsi saja. Buktikan dengan rekam medis, pemeriksaan ulang medis dengan dokter independen yang tidak konflik kepentingan dengan disaksikan oleh kedua belah pihak, dalam hal ini Rohayani dan perusahaan rokok yang disomasi.

Kalau hal tersebut benar-benar dilakukan, maka somasi yang dilayangkan bukan hanya berangkat berdasarkan asumsi dan kepentingan pengendalian tembakau, tapi memang benar-benar berdasarkan data dan fakta bahwa tembakau dan produk tembakau adalah barang konsumsi yang berbahaya.

Dan kalau sudah dilakukan, hasilnya adalah rokok benar adanya sebagai produk konsumsi yang berbahaya seperti data dan fakta yang disajikan, secara terang-terangan saya akan ikut berjuang memberangus tembakau dan produk tembakau agar hilang dari muka bumi ini (ingat ya hilang sama sekali, bukan sekedar pengendalian).

Catatan kritis yang terakhir adalah benarkah Todung Mulya Lubis mendampingi Rohayani menggugat dua perusahaan rokok murni karena kepeduliannya terhadap kesehatan publik? Dan apakah pendampingan somasi ini bebas dari konflik kepentingan seorang Todung Mulya Lubis?

Kalau Azas Nainggolan gak usah ditanya, karena kepentingan dia adalah pengendalian tembakau, dan lembaga yang dibentuknya seperti FAKTA dan SAPTA jelas-jelas menerima aliran dana dari Bloomberg.

Menurut saya pendampingan yang dilakukan Todung kepada Rohayani bukanlah murni membela kepentingan kesehatan publik. Karena kalau memang murni membela kesehatan publik, Todung harusnya mendampingi juga kasus gizi buruk, kasus kematian akibat penolakan Rumah Sakit, polusi kendaraan bermotor (belum ada orang yang menggugat perusahaan kendaraan bermotor karena telah menurunkan kualitas hidup), dan masih banyak kasus kesehatan lainnya.

Kita harus kritis kepada Todung dengan bertanya “Kenapa Hanya Rokok Yang Disasar?”.

Dan kalau boleh dibilang, Todung bukanlah pengacara bebas dari konflik kepentingan. Publik mungkin masih ingat pengacara senior, Todung Mulya Lubis, diberhentikan secara tetap sebagai advokat melalui keputusan majelis kehormatan daerah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) DKI Jakarta. Keputusan Peradi tersebut keluar lantaran Todung dinilai melanggar kode etik advokat yaitu tentang benturan kepentingan dalam menangani kasus keluarga Salim Group.

Untuk kasus mendampingi Rohayani menggugat dua perusahaan rokok dengan tuntutan ganti rugi miliaran bahkan triliunan rupiah, ada kemungkinan konflik kepentingan di dalamnya.

Perlu dicatat bahwa Todung termasuk  Pengacara Bisnis sebagai pengacara terkemuka. Dia biasa menghandle kasus-kasus korporasi, dan sering ikut dalam penyelesaian sengketa di Indonesia (The International Who’s Who of Business Lawyers as a leading lawyer in dispute resolution in Indonesia). Dan Todung memiliki track record sebagai Pengacara Korporasi Asing. Dengan track record tersebut, bukankah publik, termasuk saya akan bertanya-tanya “Apa benar kasus somasi ini tidak memiliki konflik kepentingan membela bisnis korporasi rokok asing?”.

Karena lagi-lagi saya harus mengatakan bahwa yang digugat hanyalah dua perusahaan rokok yang notabene adalah perusahaan besar nasional.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan Hotman Paris Hutapea saat merefer perseteruannya dengan Todung Mulya Lubis, yang merupakan aktivis HAM, pengkritik Soeharto, pemegang gelar master dari Harvard dan Barkeley, dan Direktur Lembaga Transparency International.

Perkataan ini keluar ketika Todung menangani kasus yang dianggap sarat konflik kepentingan dengan menjadi menjadi pengacara untuk konglomerat Salim Group.

“Jika saya katakan, saya ini pengacara bersih, berarti saya munafik. Dan, jika pengacara lainnya mengklaim sebagai pengacara bersih, mereka bohong, mereka akan masuk penjara dan neraka. Baginya, tidak ada dosa yang lebih besar daripada kemunafikan,” ujar Hotman.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Azami

Azami

Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek