rokok
CUKAI

Rokok dan Pemberontakan Pennsylvania

Whisky, Cerutu dan Rokok (kretek) adalah komoditi yang bersifat paradok. Di satu sisi, merupakan salah satu komoditi yang memberi manfaat ekonomi yang cukup signifikan baik bagi  negara maupun masyarakat. Namun pada sisi lain, juga  menjadi komoditi yang dianggap mengakibatkan gangguan  kesehatan bagi konsumennya.

Sekalipun demikian, whisky, cerutu dan rokok (kretek)  adalah  produk yang khas dari negara tertentu karena tidak semua negara mampu membuat atau menirunya. Kalaupun bisa meniru, namun tidak bisa menggantikan karena trade marknya sudah melekat pada negara pertama yang membuatnya.  Dengan posisi seperti ini, ketiga komoditi ini  dapat  berkembang terus selama ratusan tahun, sekalipun dihantam dengan berbagai bentuk kampanye yang bersifat pembatasan dan pelarangan. Bahkan  kemunculan berbagai produk alternative  seperti ; minuman beralkohol rendah, rokok putih dan belakangan dengan rokok elektronik (VAPE) ternyata tidak mampu  menggantikan pasar dari komoditi ini.

Pasar dari komoditi ini dalam perkembangannya bukannya tambah surut melainkan semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk.  Industri whisky di Inggris misal, meski menguasai 30% dari pasar dunia, namun  secara kuantitatif meningkat ekspornya setiap tahun.  Dalam rilisnyanya,  The Scotch Whisky Association (SWA) menyebutkan,  tahun 2010 ekspor  whisky mencapai £3.45 milyar  (Rp 51,75 triliun)  dibandingkan tahun 2009 sebesar £3.13 milyar  (Rp. 46,95 triliun). Bahkan SWA Chief Executive, Gavin Hewitt  mengatakan bahwa  whisky memainkan peranan penting dalam proses pemulihan ekonomi Inggris.  Karena itu, seluruh partai politik mengakui dan mendukung  perkembangan industry whisky[1].

Demikian pula dengan cerutu, menurut  Euromonitor, pasar  global  dari rokok cerutu pada tahun 2006 sekitar 18 juta batang dengan tingkat pertumbuhan 10%.  Pasar terbesar dari cerutu adalah Amerika Serikat dan Jerman, meski beberapa Negara lain sangat potensial seperti ; India, Taiwan, China and Japan, Di Amerika Utara, konsumsi cerutu perkapita  sekitar 19  potong, sementara di Eropa Barat   17.7 potong.  Tingkat konsumsi cerutu ini berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya.  Di Negara Eropa Timur, konsumsi cerutu  hanya 0.4 dan Negara-negara di Amerika Latin dan Asia  berkisar 0.9 dan 0.1 perkapita.  Komoditi cerutu terutama dari Kuba, nilai eksportnya tahun 2009 sebesar  US$ 218 juta (Rp. 1,96 triliun ) dibandingkan tahun 2007 yang hanya US$ 123 juta ( Rp. 1,10 triliun )[2].

Berbeda dengan rokok kretek, sekalipun tingkat  eksportnya rendah namun konsumsi di tingkat  domestik (nasional) sangat besar.  Bahkan dalam perkembangannya semakin meningkat dari tahun ke tahun.  Tahun 2015, penerimaan cukai hasil tembakau  sebesar Rp. 139,5 trilun  dan mengalami peningkatan pada tahun 2017, menjadi Rp 149,8 triliun atau naik 6,7 persen.  Dalam waktu bersamaan, produksi rokok secara nasional juga terus mengalami penurunan yaitu  dari 342 miliar batang, menjadi 321,9 miliar batang pada tahun 2017[3]. Penurunan ini salah satunya karena peningkatan biaya cukai.

Ambivalensi Kebijakan

Nampak ada kesan bahwa pemerintah cenderung ambivalen dalam mengatur masalah tembakau dan rokok. Kenaikan cukai dengan tujuan menekan pertumbuhan produksi memang terlihat positif meski tidak signifikan.  Padahal di sisi lain, produksi tembakau rakyat berkurang dan rokok illegal menjadi meningkat.  Padahal pemerintah menyadari sumbangan tembakau dan cukai rokok masih sangat penting bagi ekonomi nasional.

Rencana kebijakan pemerintah yang menaikan cukai sebesar 10,04 % jelas akan mengakibatkan semakin menurunnya jumlah industry rokok.  Mengingat dalam 10 tahun terakhir jumlah industri rokok sudah berkurang terutama menengah-kecil. Sampai tahun 2016, jumlah pabrik rokok tinggal sekitar 754 unit dengan jumlah pekerja mencapai 401.989 orang. Dimana 291.824 orang merupakan pekerja sigaret kretek tangan. Jika ditambah dengan pekerja di hulu, maka ada 2,3 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600 ribu buruh tembakau, dan 1 juta pedagang eceran. Dengan demikian, penurunan kegiatan industry rokok akan berpengaruh terhadap 5,8 juta kehidupan warga.

Mengkaji keberadaan industry rokok (khususnya rokok kretek), seharusnya Pemerintah dapat mengambil kebijakan yang hati-hati. Peraturan perundangan yang diambil  tidak bertujuan untuk menyurutkan, apalagi sampai mematikan keberadaan industry rokok. Kebijakan yang mengarah pada terhentinya industry rokok dikuatirkan  dapat menimbulkan dampak social, ekonomi dan politik yang akut.  Dampak ekonomi sudah pasti baik di tingkat petani ataupun hilangnya mata pencaharian jutaan masyarakat baik yang langsung ataupun tidak langsung terkait dengan perdagangan rokok.

Yang dikuatirkan adalah pengaruh social dan politik yang berbahaya dari terhenti atau berkurangnya produksi industry rokok karena adanya perlawanan petani tembakau. Dengan jumlah petani sebanyak 2,3 juta orang dan total produksi nasional tembakau 302 ribu ton (2016) bukanlah perkara mudah beralih profesi maupun tanaman. Apakah jika tembakau dibatasi dan dilarang, pemerintah langsung memberikan alternative pekerjaan, apakah pemerintah menyediakan sarana produksi bagi petani yang beralih tanaman, apakah pemerintah bersedia menanggung risiko jika tanaman baru gagal dan lainnya.  Pendek kata, pemerintah terkesan hanya mau enaknya tanpa memperhatikan risiko yang kelak diderita petani.

Perlawanan petani akibat menurunnya pendapatan hingga kehilangan sumber kehidupannya  sangat mungkin terjadi. Hal ini pernah terjadi  sebagaimana pada kasus Pemberontakan Pennsylvannia (USA) atau yang dikenal dengan pemberontakan whisky (whisky rebellion) tahun 1794 yang melibatkan ribuan petani. Pemberontakan ini dipicu dan dilatarbelakangi oleh kenaikan pajak atas penjualan whisky. Sehingga memaksa Presiden George Washington untuk mengerahkan 15.000 pasukan federal dalam memadamkan pemberontakan ini.

Dimensi Keadilan

Komoditi rokok khususnya kretek merupakan produk yang menjadi ciri Indonesia karena tidak dibuat oleh Negara lain, seperti batik, jamu dan lainnya. Dewasa ini terdapat sekitar 256 perusahaan yang memproduksi rokok dan 498 industry rumahan. Menurut Ditjen Bea Cukai, jumlah produksi rokok nasional sekitar 348 milyard batang (2015) dan turun menjadi 342 milyard batang (2016).  Dimana sekitar  93 % yang dipasarkan di dalam negeri dan hanya 7% yang dieksport ke beberapa Negara. Nilai ekspor  rokok meningkat dalam 5 tahun terakhir dan tahun 2014 mencapai angka US$ 1 milyard (AMTI, 2015).  Namun tahun 2015, nilai ekspor menurun menjadi sekitar US$ 980 juta karena pengaruh kebijakan kemasan polos dari Australia

Upaya mengeliminasi rokok, terutama kretek nampaknya cukup massif dilakukan. Kampanye pembatasan merokok yang dilakukan berbagai pihak sejauh ini bersifat anti rokok. Hal ini diindikasikan dengan metode pendekatan dan materi kampanye yang pada umumnya mengeliminasi keberadaan rokok. Salah satunya adalah melalui pemanfaatan lembaga agama untuk mengeluarkan fatwa haram untuk rokok.  Melalui dukungan internasional, upaya pembatasan, pengendalian dan bahkan pemusnahan tembakau, dilakukan hingga pada  mempengaruhi kebijakan pemerintah. Upaya ini dapat ditafsirkan sebagai masuknya intevensi asing dalam proses perundangan meski dengan dalil kepentingan publik untuk kesehatan masyarakat miskin. Terlepas dari itu, nampaknya berbagai kampanye yang ada selama ini terlihat kurang effektif dalam membatasi konsumsi rokok. Bahkan prevalensi perokok usia di bawah 18 tahun meningkat dari 7,2 persen (2014) menjadi 8,8 persen (2015).

Pengendalian produk tembakau (rokok) memang disadari dibutuhkan terutama untuk mengurangi populasi perokok anak-remaja dan meningkatkan etika perokok. Namun pengendalian tidak bersifat membabi buta dengan mengabaikan hak perokok dan kehidupan social ekonomi masyarakat yang tergantung pada industry rokok. Termasuk memperhatikan kehidupan sosial-ekonomi petani tembakau. Karena itu, pengaturan pengendalian produk tembakau perlu mempertimbangkan seluruh aspek yang terkait. Pengaturan yang berlebihan, sepihak, tidak adil dan diterapkan dalam waktu yang bersamaan dikuatirkan justru kontra produktif.  Tanpa keadilan dan semata-mata melihat perspektif kesehatan, maka dikuatirkan pemerintah yang memicu dampak social-politik yang timbul  terutama potensi perlawanan masyarakat/petani tembakau.  Semoga ini hanya mimpi.

—–

[1]  Scotman.com, 31 Maret 2011 dan The Scotch Whisky Association release, 15 April 2010

[2] Hasret Gülmez, Cigar market,  A push into the US cigar market , 04 Jan 2008.

[3] Ditjen Bea Cukai, Kementerian Keuangan, 2017.

Tinggalkan Balasan